Rss

Jumat, 05 September 2014

Part 10: Angry Brother and The Choosen

Di sore hari yang cukup terik menurutku. Aku melangkah keluar dengan perasaan cukup senang. Mengingat aku baru saja keluar dari derita yang tak kutahu kapan akan hilang. Mungkin bisa kalian anggap derita itu sebagai ‘malu’. Karena jika perdebatan barusan diteruskan dan berhasil membuatku harus malu tak terkirakan. Dan aku tidak tahu kapan rasa malu itu akan hilang. Tapi aku berjanji pada diriku bahwa aku akan menceritakan bagian tersebut nanti setelah masalah yang ini selesai. Maksudku, selesai dalam artian entah selesai karena aku akhirnya bersama dengan Fian atau akhirnya aku sama sekali tidak bersama dengan Fian. Dua pilihan yang tidak akan bisa membuatku lega dengan yang namanya masalah.


Namun ternyata, masalah akan selalu datang padaku. Karena setelah masalah yang harus kuhindari dari Kak Ross bersama ketiga malaikat kepo yang selalu berada disampingnya itu selesai, masalah kedua datang menerjangku dalam sosok Abang Dhillah. Dengan tambahan wajahnya yang cukup menyeramkan. Haruskah aku ceritakan detailnya bagaimana menyeramkannya wajah Abangku yang satu ini jika sedang marah? Sepertinya tidak perlu. Yang jelas kata ‘seram’ cukup mewakili  perasaanku saat ini.

Aku masih terpaku didepan pintu masuk warung nasi padang ini. Bukan karena aku membatalkan diri untuk makan disana. Mengingat aku memang bukan berniat makan disana. Tapi karena aku ragu bahkan takut untuk menemui Abang Dhillah yang cukup menyeramkan sekarang ini. Dan anehnya kakiku tetap saja berjalan mendekati meja yang didepannya sudah duduk Abang Dhillah. Saat itu juga Abang Dhillah menyadari kedatanganku. Raut wajah menyeramkan itu hilang seketika saat ia tahu aku sudah datang bahkan sekarang sudah duduk didepannya. Apa yang sebenarnya telah terjadi??

“Udah makan?” Tanya Abang. Sedangkan aku masih saja terdiam memikirkan penyebab yang membuat Abang tiba-tiba berubah sikap seperti ini.

“Utet, udah makan belum?” Tanya Abang Dhillah dengan tidak sabar ia tahu aku tidak juga membalas pertanyaannya walaupun waktu sudah berjalan dengan cukup cepat. Aku yang baru tersadar hanya bisa mengangguk. Tunggu. Tapi kan aku belum makan siang. Maka  aku mengganti anggukanku dengan gelengan yang cukup tiba-tiba.

“Huh?” kulihat wajah Abang Dhillah yang terdiam. Lalu tak lama, wajahnya sudah berubah ekspresi dengan wajahnya yang cukup kukenal. Wajah menyebalkan versi Abang Dhillah.

“Udah deh. Ga usah ketawa. Kenapa sih?” hilang sudah ketakutanku saat akhirnya aku melihat wajah menyebalkan Abang Dhillah yang bisa membuatku kesal setengah mati. Dan walaupun Aku kesal karena telah ditertawakan olehnya, Aku tetap akan tertawa mengikuti Abang Dhillah akhirnya. Menertawakan kebodohanku yang sangat menyebalkan menurutku.

Aku masih tertawa saat Abang Dhillah mulai menyudahi tawanya yang ternyata cukup membuat pelanggan lain terganggu dengan aktivitas tertawa kami tadi. Secara perlahan, Aku menghilangkan suara tawaku dan lalu benar-benar menghilangkan tawaku.

"Udah Ih, mati hati lhoo nanti." Aku tertegun mendengar teguran Abang Dhillah, mengingatkan Aku pada teguran yang benar-benar sama dengan yang Aku lakukan pada Abang Amal. Kenapa tiba-tiba Aku jadi kangen Abang Amal ya?

"Yaudah sana, pesen makan dulu. Nanti kita ngobrol dulu abis makan." begitu kata Abang Dhillah yang setelah itu memanggil mbak-mbak yang selalu membawa nampan. Mungkin jika di cafe-cafe elite begitu atau tempat yang sejenis itu, merek disebut sebagai waitress atau pelayan. Tapi Aku tidak tahu jika di tempat yang seperti ini. Yang jelas Aku lebih suka manggil mereka dengan sebutan mbak-mbak gitu. Yasudahlah.
Setelah memesan makan, Aku kembali memperhatikan wajah Abang Dhillah yang menatapku namun fokusnya tak padaku. Apa yang sebenarnya yang Abang Dhillah pikirkan. Tadi wajahnya begitu seram bagai iblis yang siapa memasukkan manusia ke neraka. Dan sekarang seperti orang yang kebingungan arah atau lebih tepatnya depresi akan sesuatu?

Awalnya Aku biasa saja sambil menatap balik tatapan Abang Dhillah yang kosong. Tapi lama kelamaan merasa risih juga sebenarnya. Takut ternyata Abangku yang ini mengidap penyakit sosial seperti sister complex? Naudzubillah, jika itu terjadi.

"Abang kenapa sih?"
Kulihat Abang kembali ke dunia nyata dan memperhatikanku keseluruhan. Tidak lagi dengan pandangan kosong. Tak lama, matanya menatap meja makan yang ada gelas dari teh hangat dengan isi tinggal setengahnya.

"Abang,,,

Helaan nafas yang cukup berat terdengar olehku. Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya hingga helaan nafasnya saja begitu berat untuk Ia keluarkan. Dan sekarang, Aku hanya bisa terdiam berharap Abang Dhillah mau berbagi denganku. Mengingat Abang Dhillah yang memintaku untuk bertemu.

Mataku masih menatap wajah Abang yang sedikit tertunduk hingga satu pertanyaan keluar dari mulut Abang Dhillah.

"Kenapa Utet harus nerima Fian?"

Satu pertanyaan sederhana namun cukup mengintimidasi terdengar dari nada suaranya. Dan cukup dapat membuatku kaget dengan pertanyaan itu. Kenapa harus satu pertanyaan ini yang keluar lebih dulu?

Kenapa? Kenapa Aku harus menerima lamaran Fian?

Karena,,,

Aku kagum dengan caranya yang memikat hatiku dengan kata-katanya. Ini tidak berlebihan. Hanya saja memang itu kenyataannya. Tidak bisa Aku pungkiri bahwa Aku memang terkagum-kagum karena kalimatnya yang cukup menggiurkan untuk Aku raih. Kurasa tidak ada wanita Muslim yang tidak akan tergiur dengan impian itu. Menjadi bidadari suami sendiri di syurga. Allah begitu baik kan? Hingga mau mengumpulkan kembali keluarga yang terpisah lebih dulu karena menghilang di beda masa. Dan Aku ingin menjadi salah satu calon istri yang beruntung itu. Sungguh. Aku ingin. Karena itu membuktikan bahwa keluarga itu sukses menjadikan rumahnya dipenuhi dengan iman. Aku menginginkan hal itu. Sangat bahkan. Tapi, apa Aku cukup siap untuk memulai bahtera rumah tangga? Hanya itu yang menjadi pertanyaanku yang baru muncul sekarang ini. Padahal Aku telah mengumumkan kesediaanku pada Fian.

"Kamu sama sekali tidak bisa menjawab itu atau bagaimana, Utet?" kembali, Aku akhirnya kembali mendengar suara Abang Dhillah yang sempat tenggelam setelah mengungkapkan pertanyaan tadi. Juga tenggelam karena lamunanku saat hatiku menjawab pertanyaan Abang Dhillah tanpa suara.

"Kalau memang kamu beneran udah siapa buat nikah, kenapa ga minta sama Abang Amal buat cariin calon buat kamu. Calon yang siap secara mental dan material. Siap untuk menjadi seorang imam yang harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Dan itu tidak bisa kamu temukan di diri Fian yang masih labil, Utet." panjang dan cukup lebar penjelasan Abang tadi. Aku hanya terdiam mendengarkan sambil menatap manik mata Abang. Kulihat perasaan cemas didalamnya.

Aku tahu. Abang cemas. Cemas, takut Aku mengalami hal yang sama dengan apa yang terjadi dengan Abang dan planningnya dua tahun yang lalu. Abang yang dua tahun lalu masih labil dan memutuskan untuk segera menikahi perempuan yang sudah 3 tahun cukup dekat dengannya. Abang tidak pacaran. Aku tahu itu. Tapi saat mendengar kabar dari Mama bahwa Abang ingin melamar seorang perempuan, cukup mengejutkan menurutku. Dan kabar itu membuat Ayah cukup murka. Awalnya Ayah hanya tidak setuju dengan keinginannya. Ayah hanya ingin anak-anaknya lulus kuliah dan sukses dengan apa yang mereka inginkan. Setelah itu, terserah mereka mau langsung menikah atau bagaimana. Hanya itu. Tapi hingga suatu hari Abang Dhillah yang memaksakan kehendak dengan mengajak perempuan itu datang ke Bandung dengan segala urusan transportasi dan biaya hidup di Bandung, Abang Dhillah yang menanggung. Karena Abang ingin memberitahu pada Ayah dan Mama bahwa dia tidak akan salah pilih. Tapi ayah murka mengetahuinya. Cukup membuat Abang Dhillah keluar dari rumah dan berjanji bahwa Ia tidak akan pernah pulang. Dramatis? Ya, Aku rasa itu cukup dramatis. Namun itulah kenyataan yang ada. Tanpa harus Aku coba lebih-lebihkan.

Tapi semua itu tidak lagi berlaku semenjak penyakit jantung yang tak kuketahui itu semakin parah. Setengah tahun kemudian, Abang pulang saat mendengar kabar tersebut. Dan hilanglah sudah semua ketegangan itu. Abang menurut untuk menunda rencananya hingga kuliahnya selesai. Dan puncaknya Idul Fitri tahun kemarin. Saat Ayah tidak bisa ikut shalat I'd bersama di masjid karena kondisi Ayah yang tiba-tiba jatuh. Dan berakhir di meja operasi seminggu kemudian untuk pemasangan ring di jantungnya. Aku tidak pernah membayangkan Ayah harus menjalani operasi by pass sebelumnya.

Kejadian itu membuat Abang kembali memantapkan diri untuk menunda niat awalnya menikah sehabis lulus kuliah dengan tekad menjaga Ayah dan mengurus adiknya terlebih dahulu. Aku sungguh bersyukur saat mengetahui itu dan terbukti benar. Salah satunya protektif padaku yang menerima pinangan Fian. Entah Aku harus bersyukur atau bagaimana. Tapi yang jelas, ini cukup menyebalkan untukku. Aku menghembuskan nafas pelan dari mulutku untuk menenangkan pikiranku yang saat ini sebenarnya ingin mengatakan protes tak jelas pada Abang Dhillah dengan tidak sopan.

Aku mengangkat kepala dan menatap wajah Abang dengan santai. Masalah ini, harus kuredamkan.

"Abang Dhillah, boleh Utet tanya?"

Kulihat Abang Dhillah terdiam sambil menatapku. Menandakan bahwa ia tidak melarangku untuk bertanya.

"Apa Utet saat ini terlihat seperti perempuan yang benar-benar ingin cepat menikah?" Kuloloskan satu pertanyaan yang ingin meyakinkan diriku sendiri apakah Abang meragukan pendirianku.

"Apakah selama ini, Utet selalu bilang sama Abang kalo Utet pengen cepet nikah? Kalo emang pernah, bisa Abang kasih tau Utet, kapan itu terjadi?"

"Utet emang belum pernah ngomong sama Abang kalo Utet pengen nikah, tapi dengan menerima lamaran Fian, bukankah itu bukti kalo Utet emang ingin secepatnya menikah?"

"Apakah Utet terlihat seperti seorang perempuan yang tidak pernah memperhitungkan keputusannya Bang?" Aku abaikan jawabannya Abang Dhillah yang berujung pertanyaan singkat itu. Aku ingin sedikit mengungkapkan satu persatu kecemasan Abang Dhillah dengan menguraikan satu persatu keraguan Abang Dhillah. Agar Abang mengerti bahwa aku menerima semua itu dengan satu alasan.

"Kalo itu, Abang ga tau sih. "

"Huh! Katanya Abangnya Utet. Tapi sifat Utet aja Abang ga apal. Gimana sih?"

"Ya, maaf. Abang kan ga apal sifat kamu kalo kamu udah segede gini. Kalo sifat kamu waktu kecil sih Abang apal." Katanya, lalu sedikit menerawang menatap arah yg tak tentu. "Utet yang cengeng, kalo digangguin sama Abangnya langsung nangis, tapi keras kepala kalo udah minta ikutan maen perang-perangan sama Abang di rumah. Tapi kalo pas dimarahin mama gara-gara ngeberantakin rumah, kamu ga mau disalahin. Terus, Utet waktu kecil itu, kalo pulang sekolah, kamu suka minta mama beliin ayam bakarnya Haji Sewi, tapi karena pedes, kadang malah ga dimakan padahal udah dibeliin. Apalagi ya??" Mata Abang Dhillah masih menerawang membayangkan semua sifatku waktu masih kecil. Aku yang mendengar hanya bisa tersenyum sinis menunggu waktu untuk berbalas dendam. "Oh ya, terus pernah Abang liat, kamu keluar rumah sambil bawa sapu padahal diluar lagi ujan gerimis, Abang ikutin, ternyata kamu malah lagi ngancem 2 temen perempuan kamu pake sapu sambil pegang kerah bajunya dia. Temen kamu itu sampe nangis kamu marah-marahin. Terus Abang juga ga lama liat, Ibu temen kamu si Ina itu, dateng sambil marahin kamu buat ga kayak gitu lagi. Tapi kamu malah marah balik gara-gara Ina ga mau main bareng sama kamu." Tak lama kulihat Abang mengakhiri terawangannya akan ingatan lama sambil terkekeh kecil. "Abang ga nyangka kalo kamu sekeras kepela itu." Matanya kembali fokus padaku. Tapi kulihat kekehan kecilnya kini hilang berganti dengan wajah tanpa rasa bersalah yang sangat kuhapal diluar memoriku.

"Iya Bang? Aku sekeras kepala itu ya?" Kataku dengan menyertakan senyuman manis milikku.

"Iya. Kamu dulu itu keras kepalanyaaa minta ampun. Terus berani banget deh ngelawan orang. Bahkan dulu, dahi kamu itu pernah bocor gara-gara kena lempar sepupunya si Ridwan yang lagi berantem sama kamu. Cuma karena kamu ga boleh main sama mereka? Ya Allah, Abang bener-bener ga nyangka. Abang bahkan masih inget, ekspresi kamu waktu dahi kamu yang bocornya parah itu lagi mama kasih alkohol buat ngebersihin lukanya takut infeksi. Itu ekspresi kamu itu dataaarrr banget. Kayak ga ngerasain sakitnya gitu." OH, MY. Allah, aku masih ingat kejadian itu. Kejadian yang cukup memalukan. Tapi setidaknya, tidak usah dibahas di percakapan serius kami juga kali ya?

Abang Dhillah ini ternyata benar-benar,, 

Dan kenapa isi pembicaraan kali ini begitu melenceng dari tema sebelumnya? Tapi yasudahlah, jika memang dengan begini bisa membuat pikiran Abang Dhillah lupa dengan masalah sebelumnya, kenapa tidak? Walau aku tahu, Abang pasti akan kembali ingat tujuannya. Jadi, haruskah kupersingkat acara nostalgia aneh ini?

Kutatap wajah Abang yang masih memasang senyuman geli juga terdengar kekehan kecil yang tak jua berhenti. Sebenarnya aku lebih senang melihat Abang Dhillah yang tengah mem-bully-ku seperti ini daripada mengintrogasiku dengan serius.

Tidakkah Abang Dhillah akan mengerti dengan keputusanku ini? Karena entah bagaimanapun, aku ingin berbagi kenyamanan dan kebahagiaanku nanti. Walau aku tidak tahu akan seperti apa kelanjutannya. Tapi aku ingin benar-benar menyiapkan semuanya dengan baik. Semua abang-abang yang mendukung kehidupan kedepanku. Semua abang-abangku yang tetap melindungiku seperti kemarin-kemarin hingga hari ini. Aku ingin itu semua tetap ada tanpa harus ada yang berkurang kedepannya. Karena dengan adanya mereka jugalah aku bisa mendapatkan diriku yang sekarang.

"Jadi? Rasanya Abang tahu, kalo kamu bukan termasuk perempuan yang asal mengambil keputusan. Tapi setidaknya kasih Abang satu alasan agar Abang bisa mengerti semua itu. Agar Abang bisa tetap dukung Utet dibelakang." Aku menatap Abang Dhillah yang sekarang telah kembali ke situasi kesadaran semula. Serius. Dan kurasakan nada suara yang begitu sarat kecemasan dalam kata-katanya.

Aku tahu itu. Aku sungguh tahu itu. Baiklah. Sepertinya aku benar-benar harus mengatakannya sekarang apapuin yang akan terjadi.

"Karena hatinya mantap menikah hanya untuk ridha Allah, Abang. Utet gak akan bisa nemuin hal ini dari laki-laki lain sepertinya. " Jawabku meyakinkan Abang Dhillah dengan menyertakan senyumanku yang kuharap benar-benar bisa meyakinkan Abang.

Tak kudengar protes sekecil apapun dari Abang selama 10 menit ini. Abang hanya terdiam menatapku tanpa ekspresi hingga, kulihat senyuman melegakan yang ia munculkan. Aku cukup senang melihatnya.

Alhamdulillah. Terima Kasih, Allah.


Dan entah kenapa rasanya yakin sekali jika Ayah akan menerima pinangan Fian. Atau itu hanya imajinasiku??


###############

0 komentar:

Posting Komentar