Di sore hari yang cukup terik menurutku. Aku melangkah
keluar dengan perasaan cukup senang. Mengingat aku baru saja keluar dari derita
yang tak kutahu kapan akan hilang. Mungkin bisa kalian anggap derita itu
sebagai ‘malu’. Karena jika perdebatan barusan diteruskan dan berhasil
membuatku harus malu tak terkirakan. Dan aku tidak tahu kapan rasa malu itu
akan hilang. Tapi aku berjanji pada diriku bahwa aku akan menceritakan bagian
tersebut nanti setelah masalah yang ini selesai. Maksudku, selesai dalam artian
entah selesai karena aku akhirnya bersama dengan Fian atau akhirnya aku sama
sekali tidak bersama dengan Fian. Dua pilihan yang tidak akan bisa membuatku
lega dengan yang namanya masalah.
Namun ternyata, masalah akan selalu datang padaku.
Karena setelah masalah yang harus kuhindari dari Kak Ross bersama ketiga
malaikat kepo yang selalu berada disampingnya itu selesai, masalah kedua datang
menerjangku dalam sosok Abang Dhillah. Dengan tambahan wajahnya yang cukup
menyeramkan. Haruskah aku ceritakan detailnya bagaimana menyeramkannya wajah
Abangku yang satu ini jika sedang marah? Sepertinya tidak perlu. Yang jelas
kata ‘seram’ cukup mewakili perasaanku
saat ini.
Aku masih terpaku didepan pintu masuk warung nasi
padang ini. Bukan karena aku membatalkan diri untuk makan disana. Mengingat aku
memang bukan berniat makan disana. Tapi karena aku ragu bahkan takut untuk
menemui Abang Dhillah yang cukup menyeramkan sekarang ini. Dan anehnya kakiku
tetap saja berjalan mendekati meja yang didepannya sudah duduk Abang Dhillah.
Saat itu juga Abang Dhillah menyadari kedatanganku. Raut wajah menyeramkan itu
hilang seketika saat ia tahu aku sudah datang bahkan sekarang sudah duduk
didepannya. Apa yang sebenarnya telah terjadi??
“Udah makan?” Tanya Abang. Sedangkan aku masih saja
terdiam memikirkan penyebab yang membuat Abang tiba-tiba berubah sikap seperti
ini.
“Utet, udah makan belum?” Tanya Abang Dhillah dengan
tidak sabar ia tahu aku tidak juga membalas pertanyaannya walaupun waktu sudah
berjalan dengan cukup cepat. Aku yang baru tersadar hanya bisa mengangguk.
Tunggu. Tapi kan aku belum makan siang. Maka
aku mengganti anggukanku dengan gelengan yang cukup tiba-tiba.
“Huh?” kulihat wajah Abang Dhillah yang terdiam. Lalu
tak lama, wajahnya sudah berubah ekspresi dengan wajahnya yang cukup kukenal.
Wajah menyebalkan versi Abang Dhillah.
“Udah deh. Ga usah ketawa. Kenapa sih?” hilang sudah
ketakutanku saat akhirnya aku melihat wajah menyebalkan Abang Dhillah yang bisa
membuatku kesal setengah mati. Dan walaupun Aku kesal karena telah ditertawakan
olehnya, Aku tetap akan tertawa mengikuti Abang Dhillah akhirnya. Menertawakan
kebodohanku yang sangat menyebalkan menurutku.
Aku masih tertawa saat Abang Dhillah mulai menyudahi
tawanya yang ternyata cukup membuat pelanggan lain terganggu dengan aktivitas
tertawa kami tadi. Secara
perlahan, Aku menghilangkan suara tawaku dan lalu benar-benar menghilangkan
tawaku.
"Udah Ih, mati hati lhoo nanti." Aku
tertegun mendengar teguran Abang Dhillah, mengingatkan Aku pada teguran yang
benar-benar sama dengan yang Aku lakukan pada Abang Amal. Kenapa tiba-tiba Aku
jadi kangen Abang Amal ya?
"Yaudah sana, pesen makan dulu. Nanti kita
ngobrol dulu abis makan." begitu kata Abang Dhillah yang setelah itu
memanggil mbak-mbak yang selalu membawa nampan. Mungkin jika di cafe-cafe elite
begitu atau tempat yang sejenis itu, merek disebut sebagai waitress atau
pelayan. Tapi Aku tidak tahu jika di tempat yang seperti ini. Yang jelas Aku
lebih suka manggil mereka dengan sebutan mbak-mbak gitu. Yasudahlah.
Setelah memesan makan, Aku kembali memperhatikan wajah
Abang Dhillah yang menatapku namun fokusnya tak padaku. Apa yang sebenarnya
yang Abang Dhillah pikirkan. Tadi wajahnya begitu seram bagai iblis yang siapa
memasukkan manusia ke neraka. Dan sekarang seperti orang yang kebingungan arah
atau lebih tepatnya depresi akan sesuatu?
Awalnya Aku biasa saja sambil menatap balik tatapan
Abang Dhillah yang kosong. Tapi lama kelamaan merasa risih juga sebenarnya.
Takut ternyata Abangku yang ini mengidap penyakit sosial seperti sister
complex? Naudzubillah, jika itu terjadi.
"Abang kenapa sih?"
Kulihat Abang kembali ke dunia nyata dan
memperhatikanku keseluruhan. Tidak lagi dengan pandangan kosong. Tak lama,
matanya menatap meja makan yang ada gelas dari teh hangat dengan isi tinggal
setengahnya.
"Abang,,,
Helaan nafas yang cukup berat terdengar olehku.
Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya hingga helaan nafasnya saja begitu
berat untuk Ia keluarkan. Dan sekarang, Aku hanya bisa terdiam berharap Abang
Dhillah mau berbagi denganku. Mengingat Abang Dhillah yang memintaku untuk
bertemu.
Mataku masih menatap wajah Abang yang sedikit
tertunduk hingga satu pertanyaan keluar dari mulut Abang Dhillah.
"Kenapa Utet harus nerima Fian?"
Satu pertanyaan sederhana namun cukup mengintimidasi
terdengar dari nada suaranya. Dan cukup dapat membuatku kaget
dengan pertanyaan itu. Kenapa harus satu pertanyaan ini yang keluar lebih dulu?
Kenapa? Kenapa Aku harus menerima lamaran Fian?
Karena,,,
Aku kagum dengan caranya yang memikat hatiku dengan
kata-katanya. Ini tidak berlebihan. Hanya saja memang itu kenyataannya. Tidak
bisa Aku pungkiri bahwa Aku memang terkagum-kagum karena kalimatnya yang cukup
menggiurkan untuk Aku raih. Kurasa tidak ada wanita Muslim yang tidak akan
tergiur dengan impian itu. Menjadi bidadari suami sendiri di syurga. Allah
begitu baik kan? Hingga mau mengumpulkan kembali keluarga yang terpisah lebih
dulu karena menghilang di beda masa. Dan Aku ingin menjadi salah satu calon
istri yang beruntung itu. Sungguh. Aku ingin. Karena itu membuktikan bahwa
keluarga itu sukses menjadikan rumahnya dipenuhi dengan iman. Aku menginginkan
hal itu. Sangat bahkan. Tapi, apa Aku cukup siap untuk memulai bahtera rumah
tangga? Hanya itu yang menjadi pertanyaanku yang baru muncul sekarang ini.
Padahal Aku telah mengumumkan kesediaanku pada Fian.
"Kamu sama sekali tidak bisa menjawab itu atau
bagaimana, Utet?" kembali, Aku akhirnya kembali mendengar suara Abang
Dhillah yang sempat tenggelam setelah mengungkapkan pertanyaan tadi. Juga tenggelam karena lamunanku saat hatiku menjawab
pertanyaan Abang Dhillah tanpa suara.
"Kalau memang kamu beneran udah siapa buat nikah,
kenapa ga minta sama Abang Amal buat cariin calon buat kamu. Calon yang siap
secara mental dan material. Siap untuk menjadi seorang imam yang harus memiliki
rasa tanggung jawab yang tinggi. Dan itu tidak bisa kamu temukan di diri Fian
yang masih labil, Utet." panjang dan cukup lebar penjelasan Abang
tadi. Aku hanya terdiam mendengarkan sambil menatap manik mata Abang. Kulihat
perasaan cemas didalamnya.
Aku tahu. Abang cemas. Cemas, takut Aku mengalami hal
yang sama dengan apa yang terjadi dengan Abang dan planningnya dua tahun yang
lalu. Abang yang dua tahun lalu masih labil dan memutuskan untuk segera
menikahi perempuan yang sudah 3 tahun cukup dekat dengannya. Abang tidak
pacaran. Aku tahu itu. Tapi saat mendengar kabar dari Mama bahwa Abang ingin
melamar seorang perempuan, cukup mengejutkan menurutku. Dan kabar itu membuat
Ayah cukup murka. Awalnya Ayah hanya tidak setuju dengan keinginannya. Ayah hanya
ingin anak-anaknya lulus kuliah dan sukses dengan apa yang mereka inginkan.
Setelah itu, terserah mereka mau langsung menikah atau bagaimana. Hanya itu.
Tapi hingga suatu hari Abang Dhillah yang memaksakan kehendak dengan mengajak
perempuan itu datang ke Bandung dengan segala urusan transportasi dan biaya
hidup di Bandung, Abang Dhillah yang menanggung. Karena Abang ingin memberitahu
pada Ayah dan
Mama bahwa dia tidak akan salah pilih. Tapi ayah murka mengetahuinya. Cukup
membuat Abang Dhillah keluar dari rumah dan berjanji bahwa Ia tidak akan pernah
pulang. Dramatis? Ya, Aku rasa itu cukup dramatis. Namun itulah kenyataan yang
ada. Tanpa harus Aku coba lebih-lebihkan.
Tapi semua itu tidak lagi berlaku semenjak penyakit
jantung yang tak kuketahui itu semakin parah. Setengah tahun kemudian, Abang
pulang saat mendengar kabar tersebut. Dan hilanglah sudah semua ketegangan itu.
Abang menurut untuk menunda rencananya hingga kuliahnya selesai. Dan puncaknya
Idul Fitri tahun kemarin. Saat Ayah tidak bisa ikut shalat I'd bersama di
masjid karena kondisi Ayah yang tiba-tiba jatuh. Dan berakhir di meja operasi
seminggu kemudian untuk pemasangan ring di jantungnya. Aku tidak pernah
membayangkan Ayah harus menjalani operasi by pass sebelumnya.
Kejadian itu membuat Abang kembali memantapkan diri untuk
menunda niat awalnya menikah sehabis lulus kuliah dengan tekad menjaga Ayah dan
mengurus adiknya terlebih dahulu. Aku sungguh bersyukur saat mengetahui itu dan terbukti benar. Salah satunya protektif padaku yang
menerima pinangan Fian. Entah Aku harus bersyukur atau bagaimana. Tapi yang
jelas, ini cukup menyebalkan untukku. Aku menghembuskan nafas
pelan dari mulutku untuk menenangkan pikiranku yang saat ini sebenarnya ingin
mengatakan protes tak jelas pada Abang Dhillah dengan tidak sopan.
Aku
mengangkat kepala dan menatap wajah Abang dengan santai. Masalah ini, harus
kuredamkan.
"Abang
Dhillah, boleh Utet tanya?"
Kulihat
Abang Dhillah terdiam sambil menatapku. Menandakan bahwa ia tidak melarangku
untuk bertanya.
"Apa
Utet saat ini terlihat seperti perempuan yang benar-benar ingin cepat
menikah?" Kuloloskan satu pertanyaan yang ingin meyakinkan diriku sendiri
apakah Abang meragukan pendirianku.
"Apakah
selama ini, Utet selalu bilang sama Abang kalo Utet pengen cepet nikah? Kalo
emang pernah, bisa Abang kasih tau Utet, kapan itu terjadi?"
"Utet
emang belum pernah ngomong sama Abang kalo Utet pengen nikah, tapi dengan
menerima lamaran Fian, bukankah itu bukti kalo Utet emang ingin secepatnya
menikah?"
"Apakah
Utet terlihat seperti seorang perempuan yang tidak pernah memperhitungkan
keputusannya Bang?" Aku abaikan jawabannya Abang Dhillah yang berujung
pertanyaan singkat itu. Aku ingin sedikit mengungkapkan satu persatu kecemasan
Abang Dhillah dengan menguraikan satu persatu keraguan Abang Dhillah. Agar
Abang mengerti bahwa aku menerima semua itu dengan satu alasan.
"Kalo
itu, Abang ga tau sih. "
"Huh!
Katanya Abangnya Utet. Tapi sifat Utet aja Abang ga apal. Gimana sih?"
"Ya,
maaf. Abang kan ga apal sifat kamu kalo kamu udah segede gini. Kalo sifat kamu
waktu kecil sih Abang apal." Katanya, lalu sedikit menerawang menatap arah
yg tak tentu. "Utet yang cengeng, kalo digangguin sama Abangnya langsung
nangis, tapi keras kepala kalo udah minta ikutan maen perang-perangan sama
Abang di rumah. Tapi kalo pas dimarahin mama gara-gara ngeberantakin rumah,
kamu ga mau disalahin. Terus, Utet waktu kecil itu, kalo pulang sekolah, kamu
suka minta mama beliin ayam bakarnya Haji Sewi, tapi karena pedes, kadang malah
ga dimakan padahal udah dibeliin. Apalagi ya??" Mata Abang Dhillah masih
menerawang membayangkan semua sifatku waktu masih kecil. Aku yang mendengar
hanya bisa tersenyum sinis menunggu waktu untuk berbalas dendam. "Oh ya,
terus pernah Abang liat, kamu keluar rumah sambil bawa sapu padahal diluar lagi
ujan gerimis, Abang ikutin, ternyata kamu malah lagi ngancem 2 temen perempuan
kamu pake sapu sambil pegang kerah bajunya dia. Temen kamu itu sampe nangis
kamu marah-marahin. Terus Abang juga ga lama liat, Ibu temen kamu si Ina itu,
dateng sambil marahin kamu buat ga kayak gitu lagi. Tapi kamu malah marah balik
gara-gara Ina ga mau main bareng sama kamu." Tak lama kulihat Abang
mengakhiri terawangannya akan ingatan lama sambil terkekeh kecil. "Abang
ga nyangka kalo kamu sekeras kepela itu." Matanya kembali fokus padaku.
Tapi kulihat kekehan kecilnya kini hilang berganti dengan wajah tanpa rasa
bersalah yang sangat kuhapal diluar memoriku.
"Iya
Bang? Aku sekeras kepala itu ya?" Kataku dengan menyertakan senyuman manis
milikku.
"Iya.
Kamu dulu itu keras kepalanyaaa minta ampun. Terus berani banget deh ngelawan
orang. Bahkan dulu, dahi kamu itu pernah bocor gara-gara kena lempar sepupunya
si Ridwan yang lagi berantem sama kamu. Cuma karena kamu ga boleh main sama
mereka? Ya Allah, Abang bener-bener ga nyangka. Abang bahkan masih inget,
ekspresi kamu waktu dahi kamu yang bocornya parah itu lagi mama kasih alkohol
buat ngebersihin lukanya takut infeksi. Itu ekspresi kamu itu dataaarrr banget.
Kayak ga ngerasain sakitnya gitu." OH, MY. Allah, aku masih ingat kejadian
itu. Kejadian yang cukup memalukan. Tapi setidaknya, tidak usah dibahas di
percakapan serius kami juga kali ya?
Abang
Dhillah ini ternyata benar-benar,,
Dan
kenapa isi pembicaraan kali ini begitu melenceng dari tema sebelumnya? Tapi
yasudahlah, jika memang dengan begini bisa membuat pikiran Abang Dhillah lupa
dengan masalah sebelumnya, kenapa tidak? Walau aku tahu, Abang pasti akan
kembali ingat tujuannya. Jadi, haruskah kupersingkat acara nostalgia aneh ini?
Kutatap
wajah Abang yang masih memasang senyuman geli juga terdengar kekehan kecil yang
tak jua berhenti. Sebenarnya aku lebih senang melihat Abang Dhillah yang tengah
mem-bully-ku seperti ini daripada mengintrogasiku dengan serius.
Tidakkah
Abang Dhillah akan mengerti dengan keputusanku ini? Karena entah bagaimanapun,
aku ingin berbagi kenyamanan dan kebahagiaanku nanti. Walau aku tidak tahu akan
seperti apa kelanjutannya. Tapi aku ingin benar-benar menyiapkan semuanya
dengan baik. Semua abang-abang yang mendukung kehidupan kedepanku. Semua
abang-abangku yang tetap melindungiku seperti kemarin-kemarin hingga hari ini.
Aku ingin itu semua tetap ada tanpa harus ada yang berkurang kedepannya. Karena
dengan adanya mereka jugalah aku bisa mendapatkan diriku yang sekarang.
"Jadi?
Rasanya Abang tahu, kalo kamu bukan termasuk perempuan yang asal mengambil
keputusan. Tapi setidaknya kasih Abang satu alasan agar Abang bisa mengerti
semua itu. Agar Abang bisa tetap dukung Utet dibelakang." Aku menatap
Abang Dhillah yang sekarang telah kembali ke situasi kesadaran semula. Serius.
Dan kurasakan nada suara yang begitu sarat kecemasan dalam kata-katanya.
Aku
tahu itu. Aku sungguh tahu itu. Baiklah. Sepertinya aku benar-benar harus
mengatakannya sekarang apapuin yang akan terjadi.
"Karena
hatinya mantap menikah hanya untuk ridha Allah, Abang. Utet gak akan bisa
nemuin hal ini dari laki-laki lain sepertinya. " Jawabku meyakinkan Abang
Dhillah dengan menyertakan senyumanku yang kuharap benar-benar bisa meyakinkan
Abang.
Tak
kudengar protes sekecil apapun dari Abang selama 10 menit ini. Abang hanya
terdiam menatapku tanpa ekspresi hingga, kulihat senyuman melegakan yang ia
munculkan. Aku cukup senang melihatnya.
Alhamdulillah.
Terima Kasih, Allah.
Dan
entah kenapa rasanya yakin sekali jika Ayah akan menerima pinangan Fian. Atau
itu hanya imajinasiku??
###############
0 komentar:
Posting Komentar