Rss

Kamis, 24 Juli 2014

My New Life Story Chapter 3

Saat berada di mobil dalam perjalanan, Fia tak henti-henti bersikap gelisah. Memainkan kedua tangannya yang terasa dingin saat Diana memegang tangan itu. Lalu, tak jarang Fia membetulkan kembali letak kerudungnya yang sebenarnya Sama sekali tidak berubah dari awal setelah Ia memakai kerudung warna peach nya. Juga menghela nafasnya dengan cukup keras seakan dengan melakukan hal itu, dapat mengurangi perasaannya yang cukup berantakan sejak masuk kedalam mobil. bukan karena Ia tak siap untuk mendapatkan tambahan pewarna hidupnya. Tapi Ia takut mereka tidak bisa menerimanya. Walau sebenarnya sejak sebulan yang lalu saat Fia mengutarakan keinginannya tak ada Sama sekali penolakan dari mereka. Tapi juga tak ada bentuk penerimaan. Mereka hanya terdiam dan sekali-kali merespon apa yang Fia lakukan. Seakan mereka hanya pasrah terhadap apa yang dilakukan Fia.


Tak hanya sekali dua kali Abang Alvi menenangkan Fia dengan memegang tangan Fia, ataupun mengelus pelan puncak kepala Fia tanpa berusaha untuk merusak tatanan kerudung Fia yang sudah rapi, saat mereka terhenti oleh traffic light yang menunjukan warna merah. Atau hanya dengan mengatakan 'Jangan Khawatir Fia. Just calm down. Because everything will be okay. Okay?'. Hanya satu kalimat namun ternyata tak dapat menenangkan perasaan Fia yang memang tengah dilanda ketakutan yang tak cukup logis atau mungkin lebih tepat disebut dengan perasaan 'nervous'?.

"Sebentar lagi, kita sampai Fia." kalimata Abang Alvi berhasil membuat Fia terlonjak dan menatap Abang Alvi garang. Seakan tidak percaya bahwa perjalanan sebentar lagi usai.

Diana yang melihat reaksi Fia, hanya bisa melayangkan pandangan simpatinya.

"Fi, dengar Abang." suara Abang Alvi cukup membuat Fia kembali menatap Abang Alvi. "Kamu hanya cukup tenang. Semua ini akan baik-baik saja jika kamu baik-baik saja. Berbeda jika kamu cemas begini. Semua tidak akan baik-baik saja."

Abang Alvi menghentikan mobil tepat di depan sebuah gedung yang cukup besar. Dengan melihat bentuknya, gedung ini dapat disebut rumah bertingkat 2. Mobil benar-benar berhenti di depan rumah ini, tanpa masuk gerbang. Atau mungkin belum masuk gerbang.

"Sekarang. Lihat Abang." Abang Alvi mencoba untuk menatap dengan lebih dalam mata Fia sambil memegang kedua bahu Fia. "Coba Fia tarik nafas yang dalam," bimbing Abang Alvi agar Fia menjadi lebih rileks. "Buang perlahan nafasnya." Fia mengikuti instruksi Abang Alvi dengan membuang nafasnya denga perlahan. "Katakan pada diri Fia sendiri kalo semua akan baik-baik saja. Tidak akan terjadi apa-apa. Okay? Abang percaya Fia bisa lebih tenang." setelah memastikan Fia lebih tenang, Abang Alvi melepaskan pegangannya pada kedua bahu Fia. Dan mengelus lembut kepala Fia yang tertutup kerudung sebelum kembali ke posisinya yang tadi berada tepat di depan stir.

Fia mulai merasakan bahwa perasaannya lebih tenang daripada tadi. Ia tersenyum sambil mengatakan kepada hatinya bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi.

"Makasih ya Bang Alvi,," dengan tulus Fia mengatakan hal tersebut sambil tersenyum tenang. Diana yang melihat kejadian tadi, akhirnya bisa bernafas dengan lega.

"Yasudah, ayo kita bertemu dengan mereka." cetus Abang Alvi. Lalu menghidupkan mobil kemudian menjalankannya kembali. Memasuki halaman rumah dua tingkat itu. Memarkirkannya dengan tidak terlalu jauh agar nanti ketika pulang tidak merasa repot berjalan.

Abang Alvi melepaskan safebeltnya kemudian menengokkan wajahnya untuk  memastikan kalau Fia melakukan hal yang sama. Untungnya apa yang Ia pikirkan tidak terjadi bahwa Fia masih duduk dengan nervousnya yang menemani. Tapi Fia bahkan sudah membuka pintu mobil. Setelah sebelumnya Ia mengatakan pada Diana dan dirinya bahwa Fia akan lebih dulu masuk. Abang Alvi hanya bisa tersenyum senang melihatnya karena Fia telah kembali ke karakternya yang asli.

Fia melangkah dengan mantap menuju pintu rumah yang ternyata tidak tertutup. Dengan diiringi Diana dan Abang Alvi dibelakangnya, Fia mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum.."

"Wa'alaikumsalam.." tak lama terdengar suara jawab salam dengan disertai dengan suara langkah kaki yang cukup buru-buru. Fia tersenyum melihat siapa yang menjawab salamnya.

"Ibu Felly, gimana kabarnya?" Tanya Fia sambil mengulurkan tangannya untuk mencium tangan ibu berumur 50 tahunan didepannya.

Uluran tangan Fia disambut Ibu Felly. Setelah itu, Ibu Felly membawa badan Fia untuk direngkuhnya.

"Ibu, baik-baik aja, Fi. Fia sendiri gimana kabarnya? Ini tangannya kok dingin begini, Fi?" pertanyaan Ibu Felly sempat membuat Abang Alvi dan Diana yang berdiri dibelakang Fia kaget mendengarnya. Ternyata nervous itu tak bisa hilang begitu saja.

"Fia baik kok Bu. Maaf, Fia agak nervous buat ketemu mereka. Mereka sehat kan Bu?" Tanya Fia mengingat sudah beberapa hari ini, Ia tidak menjenguk mereka.

"Kamu ini, ada-ada aja. Masa mau jemput mereka pake acara nervous segala? Kemarin-kemarin aja pas ketemu, ga kenapa-napa kok. Mereka sehat kok Fi. Tuh lagi didalem, lagi pada main." ibu Felly menepuk pelan bahu Fia. Yang disambut Fia dengan senyuman malunya karena bisa-bisanya Ia nervous disaat yang seharusnya sudah biasa ini.

"Yuk kedalem." ajak Ibu Felly sambil mendorong punggung Fia untuk masuk dan melihat keadaan didalam.

Abang Alvi dan Diana mengikuti langkah Fia setelah bersalaman dengan Ibu Felly. Tentu saja, Abang Alvi tidak akan mungkin bersalaman dengan bersentuhan tangan dengan Ibu Felly. Mengingat Ibu Felly bukan keluarganya.

Fia tertegun melihat pemandangan di sofa yang dekat dengan dinding. Seorang batita sedang bermain dengan bayi berumur 7 bulan yang kini tengah bertawa senang dengan apa yang dilakukan batita itu.

"Tuh liat, Iza lagi maen sama Ain. Begitu aja tiap hari. Mainnya Sama Aiiin aja. Ga main sama yang lain. Dia bakal ngomong sama yang lain kalo lagi butuh aja. Kayak misalnya pas Ainnya hampir mau nangis atau nangis pengen minum gara-gara haus, nanti Iza bakal panggil Ibu sambil bilang, Ain haus. Singkat banget kalimatnya. Kadang bikin gemes sendiri. Padahal Iza ga senyum sama sekali lho, Fi." Bu Felly bercerita singkat dengan apa yang dia rasakan beberapa waktu ini. Tapi cerita itu, Fia sudah tahu. Karena kadang Ia sendiri yang melihatnya secara langsung. Namun rasanya apappun yang dilakukan Iza tidak pernah bisa untuk tidak diceritakan.

Fia menghampiri dua anak balita yang beradik kakak tersebut. Matanya memanas ingin menangis. Ia senang. Senang luar biasa memikirkan bahwa sebentar lagi dua balita itu akan bersamanya hingga nanti-nanti.

"Hallo Kak Iza." sapa Fia. Tak lama sapaan Fia bersambut dengan menolehnya Iza menatap Fia tanpa ekspresi apapun. Yang ada wajah polosnya. Membuat Fia tak sabar untuk membahagiakan Iza dan memunculkan senyuman senang Iza.

"Hallo, Bibi." setelah membalas sapaan singkat Fia, Iza kembali bermain senang dengan Ain yang hanya bisa tertawa melihat Iza yang memainkan tangannya.

Walau hanya sapaan singkat, tapi Fia merasa senang dengan itu. Maka tak menghabiskan waktu untuk Fia duduk disamping Iza, lalu menatap Ain yang masih tertawa akibat perlakukan kakaknya.

"Lagi main apa sih Kak Iza? Dede Ainnya diapain?"

"Mainin tangan Dede. Soalnya Dede suka kalo Aku mainin tangannya." jawabnya tetap dengan memainkan tangan Ain.

Tiba-tiba Ain melepaskan tangan Iza yang sedari tadi memegang tangannya.

"Huaaaaa!!!!" Ain menangis. "Dadadadadadada,," teriaknya sambil mengangkat kedua tangannya. Iza yang melihat itu, langsung bangkit dan berjalan menuju Ibu Felly yang masih berdiri di dekat pintu penghubung ruang tamu dan ruang keluarga.

"Ain haus." katanya sambil menarik ujung celana bahas yang dipakai Ibu Felly. Ibu Felly mengelus lembut kepala Iza tanpa berjalan dari tempatnya.

Sedangkan Fia masih tepat disisi Ain yang masih menangis dengan nada suaranya yang seperti memanggil orang. Tangannya masih terangkat dengan sempurna seakan meminta seseorang untuk menggendongnya.

"Ain? Ain kenapa?" Tanya Fia lembut sambil meraih kedua tangan Ain.

"Dadadadadaada,, huaaaa!!!" Ain tetap meneruskan teriakannya.

"Ain haus, Bi," ujar Iza kembali sambil menarik celana bahan Ibu Felly dengan lebih sering. Berharap Ibu Felly mau memberikan susu untuk Ain yang masih menangis. Tapi lagi-lagi Ibu Felly hanya mengusap lembut kepala Iza tanpa mau beranjak dari tempatnya untuk membuat susu Ain dari dapur.

Tapi tarikannya berhenti saat Iza mendengar kata-kata Fia. Iza bahkan menatap dengan rasa penasaran bagaimana Fia menggendong Ain.

"Yuk, Bibi gendong yaa,," ucap Fia sambil mengangkat badan Ain yang cukup berisi untuk bayi berusia 7 bulan.

Setelah merasa gendongannya benar, Fia menepuk-nepuk punggung Ain dengan lembut agar tangisnya berhenti. Awalnya, Ain masih berseru walau agak pelan. Lama-lama Ia terdiam. Seruannya sudah hilang. Merasa aneh dengan diamnya Ain, Fia memastikan Ain. Saat Fia liat, Ain terdiam sambil mengemuk jempol tangan kanannya. Juga matanya yang menutup. Bibirnya yang penuh akibat jempolnya sendiri bergerak mengembung menandakan bahwa Ia menghisap jempol itu seakan itu yang Ia
inginkan.

Mata Fia berkaca-kaca saat melihat bagaimana nyamannya Ain dalam gendongannya. Tak pernah Ia merasa sebahagia ini setelah perginya kedua orangtuanya. Selama ini, tidak pernah. Bahkan tak lama, matanya menurunkan air sungainya dengan cukup deras menandakan bahwa Fia begitu bahagia sekarang ini. Apalagi saat melihat matanya yang berbinar bahagia dibalik genangan air di matanya. Jelas sekali rasa
bahagia itu ada bahkan dalam jumlah yang besar.

Fia mengeratkan gendongannya untuk merasakan bahwa ini nyata. Lalu Ia menenggelamkan wajahnya di badan Ain yang ada di gendongannya. Abang Alvi yang melihat tersenyum senang. Tak mungkin dia juga harus menurunkan tangis bahagianya, jika ujungnya dia akan dapat ejekan kecil dari adik perempuan sulungnya yang kini berubah status menjadi seorang ibu, dari 2 anak balita yang belum lama ini ditinggalkan orangtuanya.

Awal mula Abang Alvi mendengar permintaan adiknya itu, sungguh Ia pasti kaget. Apalagi selama ini, yang membiayai hidup mereka adalah Abang Ian, laki-laki tertua didalam keluarganya yang sekarang merangkap menjadi orangtua ketiga adiknya. Walaupun masih ada kakak dan adik Mama yang mau membantu, tapi Abang Ian dengan tenang Ia bilang bahwa selama Ia masih sanggup menanggung ketiga adiknya, maka Ia akan menanggungnya. Bantuan mungkin akan dibutuhkan untuk Fia yang waktu itu masih kelas 2 SMA. Jadi Abang Ian tidak menolak bantuan itu. Mengingat Fia waktu itu masih membutuhkan sosok ibu disisinya. Abang Ian membiarkan sosok Tante yang memang sudah cukup dekat dengan Fia untuk memberikan apapun pada Fia.

Tapi sekarang, saat dengan tiba-tiba Fia datang bahkan meminta Abang Ian datang ke bandung untuk meng-iyakan permintaannya yang cukup kurang masuk akal menurut ketiga abangnya. Bayangkan saja, Fia yang masih berumur 20 tahun, masih dalam masa tahun keempat pendidikan kuliahnya, meminta izin untuk mengadopsi anak. Dan tidak tanggung-tanggung dengan jumlah anak adopsinya. Bukan satu tapi bahkan dua. Dua anak yang masih dibawah umur balita. Batita bahkan dan seorang bayi yang waktu itu masih berusia 5 bulan. Tidakkah itu terdengar gila?.

Berulang kali ketiga Abangnya menolak permintaan itu. Tapi Fia tetap bertahan dengan keputusannya bahkan berhasil membuat luluh kedua Abang tertuanya. Walaupun harus meluluskan satu syarat dari Abang Ian bahwa hak asuh resmi dua balita itu memang Fia yang pegang. Tapi saat Fia sudah tanggup ataupun meras berat dengan bebannya, maka dua balita itu akan diasuh oleh Abang Ian sendiri. Begitu katanya. Padahal Abang Ian yang tahun ini memasuki usia 26 tahun, tapi belum juga menikah. Namun, Ia bersedia mengurus dua anak kecil yang Ia sendiripun tidak tahu
caranya mengurus mereka.

Satu yang menjadi masalahnya hingga saat ini ada pada Abang Kiki, Abang terbungsu yang Fia miliki. Juga yang paling Fia sayangi, namun tidak pernah memberikan izin untuk Fia mengadopsi dua anak yang masih dibawah lima tahun itu.

Tapi Fia tetap tidak akan menyerah untuk membuktikan pada Abang Kiki bahwa ia sudah cukup mampu untuk mengurus mereka.

"Kak Iza, ayo kita pulang."

##############

0 komentar:

Posting Komentar