Rss

Minggu, 27 November 2016

Part 11: His Name is Fian



Aku terbangun dengan tidak cantik saat mendengar ketukan juga suara Ayah yang membangunkanku untuk shalat shubuh. Bagaimana tidak cantik, aku terbangun dengan terkaget-kaget hingga terduduk dari tidurku dan dengan tidak sengaja melemparkan guling yang sejak semalam kupeluk erat sembarangan. Apalagi semalam aku sempat begadang untuk membaca buku yang kupinjam dari Ayah karena tidak bisa tidur. Aku benar-benar bisa tidur tepat setelah menyelesaikan setengah buku dari buku yang kubaca. Untungnya juga aku masih sempat membaca do'a sebelum tidur dan memeluk bantal guling. Dan sekarang, salahku juga tidak mengabarkan Ayah semalam kalau aku tengah halangan semenjak kemarin shubuh.
Aku beranjak dari kasur dan membuka pintu masih dengan wajah ngantuk yang sesekali menguapkan aroma ngantukku.
"Kak, shalat dulu." Suara Ayah kembali lagi.
"Ayah, Utet lagi halangan. Maaf baru bilang. Dan semalam Utet tidur terlalu malam." Kataku setelah membuka pintu. Ayah masih rapi dengan baju koko dan sarung kotak-kotak hijaunya.
"Yasudah. Sana lanjut tidurnya. Maafin Ayah ya jadi malah ganggu tidur kamu, Kak." Ayah mengacak-acak rambutku yang memang sudah acak-acakan karena tidak kuikat. Aku hanya menunduk merasakan usapan sayang dari tangan Ayah. Kenapa tidak Abang Amal, tidak Ayah, laki-laki di keluargaku sepertinya suka sekali mengusap kepalaku.
"Bukan salah Ayah kok. Ngapain Ayah minta maaf,,"
"Iya deh. Iya. Sana lanjutin tidurnya kalau gitu. Kamu baru nyampe tadi malam, Kak. Pasti capek banget." Ayah mendorong pelan kedua pundakku untuk kembali masuk kamar dan kembali tidur. Hah, Ayahku ini. Biasanya kalau bukan karena aku baru sampai di rumah tadi malam. Jam setengah 6, Ayah pasti udah memastikan aku tidak kembali tertidur dengan alasan apapun. Kata Ayah, tidak baik seorang anak perempuan kembali tidur setelah shalat shubuh dan tidak membantu ibu nya di dapur. Aku hanya bisa tersenyum jika sudah mendengarkan kata-kata itu.
Ayah yang menutup kembali pintu kamarku. Sedangkan aku, masih berdiri di depan pintu. Mengingat-ingat bahwa aku memang semalam baru sampai di rumah. Jadi lebih baik aku kembali berbaring di atas kasur dan kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh badanku.

**********

Aku terbangun dari tidurku yang ternyata cukup indah oleh cahaya-cahaya terang. Menggeliatkan badan mencari posisi-posisi ternyaman untuk merenggangkan tubuh. Rasanya begitu enak dan menyenangkan. Aku begitu menikmati acara perenggangan tubuhku. Lalu membuka mata, dan hal pertama yang kulihat adalah cahaya terang yang ternyata masuk lewat jendela kamarku yang tirainya sudah digeser dan disangkutkan. Siapa lagi yang berani memasuki kamarku dan membuka jendelaku hingga udara pagi masuk memenuhi kamar kalau bukan Mama. Lagipula pintu memang sengaja tidak kukunci.
Hari ini adalah hari pertama aku setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan juga melelahkan dari Bandung di kampung asalku. Tempat aku di lahirkan. Tempat berkembang menjadi remaja. Malingping.  Karena aku beranjak dewasa di kota orang hingga sekarang ini. Hanya sesekali aku bisa menginap di rumah asal. Dan semuanya hanya di waktu-waktu sekolah tengah libur. Bukan di waktu-waktu seperti ini. Ah, aku baru ingat. Bahwa ini pertama kalinya aku pulang ke rumah bukan di waktu libur. Itupun tidak dengan alasan karena aku memang ingin pulang. Alasanku saat ini yang paling tepat adalah karena aku diminta pulang oleh Ayah. Ada sesuatu penting yang perlu dibicarakan denganku. Dan sampai saat ini pun setelah aku sampai di rumah sekitar jam 11 malam, Ayah belum mengatakan apa-apa mengenai hal penting tersebut. Tapi, yasudahlah biar Ayah yang nanti mengawali tak perlu aku yang bertanya lebih dulu.
Sepertinya ini adalah waktu yang paling tepat untukku meninggalkan kasur tercinta yang kutemui semalam. Mencari tali tambut yang tadi malam aku ingat, kuletakkan di atas meja belajar tak jauh dari ranjang. Ah, aku menemukannya tepat diatas tas kecil berisi peralatan khusus milikku sebagai perempuan. Mengikat tinggi-tinggi rambut agar tak terlalu mengganggu aktifitas yang akan aku lakukan dengan cara menggelungnya. Lalu keluar kamar tanpa mengubah penampilanku yang lain. Karena memang seperti ini keadaan biasa milikku saat di rumah.
Aku berlalu begitu saja melenggang melewati ruang tengah yang memang biasanya sepi. Apalagi jika mengingat yang tinggal di rumah ini hanya Ayah dan Mama bersama adik terakhir yang umurnya sangat jauh dariku. Sekitar beda 10 tahun denganku. Seingatku adikku yang terakhir masih di kelas 2 SD dan di pertengah tahun ini akan memasuki kelas 3 SD. Sepertinya juga aku belum mengatakan ini, bahwa sebenarnya aku masih memiliki 3 adik perempuan setelahku. Jangan tanyakan padaku mengapa Mama dan Ayah senang memiliki anak banyak. Oh, sepertinya dulu aku pernah bertanya pada Mama, dan sepertinya juga jawabannya masih aku ingat. Tunggu, aku berpikir dulu.
Jika tidak salah dulu Mama bilang, kalau Mama tidak suka dengan memakai KB atau apalah itu namanya. Karena untuk Mama, memiliki banyak anak adalah anugerah yang tidak bisa setiap orang miliki. Aku juga sepertinya belum pernah bercerita, bahwa semua anak Mama kecuali adik paling kecil semua tidak berada di rumah. Tidak bersekolah di sekitar rumah. Semua anak Mama melanjutkan hidupnya di dunia perantauan saat lulus SD. Makanya kedua adik setelahku yang sekarang sudah kelas 1 SMA atau biasanya disebut MA, dan kelas 2 SMP atau biasanya disebut MTs, itu masih ada di pesantrennya untuk menjalani kehidupan yang dulu juga kualami. Begitulah garis kehidupan keluargaku. Hampir semua anak Mama harus bisa di jalan yang sama. Bahkan harus semuanya.
Tapi, kenapa aku belum juga melihat wajah Syidah ya? Adik paling kecil itu kemana ya?
Aku melongokkan kepalaku ke dapur. Dan kulihat Mama yang membelakangiku sepertinya sibuk dengan acara memasaknya.
"Mama,,," panggilku dengan nada manja. Kudekati Mama dan kupeluk lengan kanan Mama. Kangen deh sama Mama.
"Aduh? Anak Mama yang ini kenapa? Bangun-bangun langsung meluk lengan Mama begini?" Mama menatap dengan senyum keibuannya kepadaku yang masih memeluk lengan Mama.
"Syidah mana, Ma?" Tanyaku sambil melihat apa isi panci yang diatas kompor. Oh. Sayur sop ayam. Karena kulihat beberapa potongan dari badan ayam yang menyembul dari tumpukan sayur.
"Ke sekolah dong." Mama memasukkan garam kedalamnya dan tak lupa sedikit penyedap. Karena Mama tidak terlalu suka jika makanannya sedap karena penyedap begitu saja.
"Ke sekolah? Emang sekarang jam berapa?" Kuperhatikan Mama yang mengaduk sop ayamnya. Lalu tak lama mengambil sendok kecil untuk mencicipi masakannya apa rasa masakannya pas atau belum.
"Hmm,, jam 8 lewat kalo ga salah." Mama berpikir sebentar. Karena kulihat pandangan Mama yang sedikit menerawang merasakan apa yang kurang. Tak lama, Mama memasukkan sedikit lagi garam. Mengaduknya lagi, kemudian mencicipinya lagi sebelum menutup panci.
"Jam 8 lewat ya Ma?" Aku masih memperhatikan apa yang dilakukan Mama.
Tunggu.
Aku terdiam. Kulepaskan pelukanku di lengan Mama.
Apa tadi?
Jam 8 lewat?

Eeehhh????
"Bukan jam setengah 7 ya Ma?" Tanyaku dengan sedikit teriakan.
"Bukan." Mama berjalan sedikit untuk mengambil adonan yang sepertinya untuk perkedel jagung.
"Kok? Kok bisa?" Kataku dan Mama sama sekali tidak merasa terganggu dengan suaraku yang tadi sempat melebihi oktaf standarnya.
"Ya bisalah. Kamu pules gitu tidurnya. Tadi juga alarm kamu bunyinya berisik gitu, kamu ga bangun juga." Apa? Pantas tadi aku merasa heran dengan alarm dari Handphone-ku yang tidak bunyi juga saat aku telah bangun. "Tumben banget kamu jadi lebih susah bangunnya hari ini, Utet. Anak Mama yang ini berubah jadi kayak Abang Dhillah sekarang ya?" Mama menuangkan minyak goreng kedalam wajan yang tadi sudah dipanaskan sebentar.
"Yaudah. Aku bantu masak ya Ma?"
"Boleh. Biasanya juga ga nanya dulu."
"Hehehe. Tapi aku ke kamar mandi dulu. Belum gosok gigi sama cuci muka soalnya.”
"Ish. Joroknya anak gadis Mama yang ini." Sekarang Mama menatapku dengan tatapan yang seakan Mama jijik saat tahu aku belum ke kamar mandi semenjak keluar dari kamar. Tapi tetap saja Mama akan tersenyum diujungnya sambil mendorongku pergi ke kamar mandi.
Setelah mencuci muka seasal dan sebagaimana biasanya aku. Lalu menggosok gigi, aku langsung beranjak meninggalkan kamar mandi untuk membantu Mama.
Meraih adonan perkedel jagung yang sekarang sudah mulai Mama masukkan kedalam wajan. Sedangkan Mama setelah menyerahkan adonan perkedel jagung padaku, langsung mengambil bahan-bahan yang sudah Mama ulek dengan ulekan. Tanpa blender atau apapun itu. Kata Mama jika diulek langsung oleh tangan, rasanya jadi lebih mantap. Jadi, walaupun ada blender yang bisa dipakai untuk menghancurkan bahan-bahan, Mama tetap konsisten dengan ulekannya yang sudah lama bertahan dari jerat usia.
"Lho? Mama mau bikin apa emang?"
"Itu,," Mama menunjuk ke tumpukan kentang goreng yang dipotong dadu. "Dan itu,," lalu menunjuk ke daging sapi yang juga dipotong dadu. Ah, balado kentang dan daging sapi. Mama tahu saja apa yang enak untuk dimakan. Apalagi untuk perut anak-anaknya.
Aku memang anak manja. Anak manja dengan sewajarnya kepada ibunya sendiri. Aku kadang selalu bergelayut di lengan Mama tanpa tujuan dengan modus lain. Hanya ingin dekat dengan Mama. Walau kenyataannya aku memang dekat dengan Mama. Sering saling bercerita apapun tema dan judulnya. Aku bercerita ke Mama. Dan Mama bercerita kepadaku. Entah itu tentang Ayah yang suka ngambek tiba-tiba dan menurut Mama itu lucu. Karena ngambeknya Ayah itu adalah saat Ayah diam tanpa suara. Semua dilakukannya sendiri. Hanya saja ada beberapa hal yang memang hanya Mama yang bisa melakukannya. Semisal dengan porsi masakan. Hanya Mama yang tahu masakan yang seperti apa dengan bahan apa yang Ayah boleh makan. Jadi, bagaimanapun Ayah harus berkomunikasi dengan Mama. Dan Mama pasti akan mengatakan bahwa Ayah itu memang aslinya seperti itu sekarang-sekarang ini. Menjadi lebih manja semenjak Ayah terkena penyempitan jantung. Namun, Mama sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Aku bersyukur memiliki Mama yang hatinya begitu sabar kepada siapapun khususnya kepada yang sifatnya memang tempramental. Tapi, memang aku peduli? Yang terpenting adalah Ayah tetap Ayahku bukan Ayah yang lain.
Apakah jika aku menikah, semua ini akan menghilang? Hal ini baru terpikirkan olehku. Hal penting ini. Bagaimana jika semua itu akan menghilang setelah aku menikah?
"Ma," panggilku pada Mama saat hening tercipta hanya suara percikan kecil minyak yang terdengar dari wajan.
"Ya?" Mama menengok sebentar sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada kegiatan mengaduk masakan balado kentang dan daging sapinya. Tengokan Mama yang hanya sebentar itu adalah bahwa Mama mendengarkan apa yang akan kukatakan.
"Apa yang sebenarnya mau Ayah omongin?" Tanyaku dengan nada ragu. "Kata Ayah, ini berita penting. Emang apa? Sampai Ayah ngotot nyuruh Utet pulang?" Aku berhasil menghilangkan nada ragu dari kalimat pembuka untuk kalimat utamaku. \
Gerakan mengaduk Mama sempat terhenti saat mendengar pertanyaanku. Tapi setelah itu, Mama kembali melanjutkan adukannya tanpa berniat untuk menengok sama sekali padaku yang masih menatap Mama, hingga aku teringat aku masih memasak perkedel jagung. Aku kembali memfokuskan diriku pada perkedel jagung yang sepertinya sudah cukup matang dengan warna kecoklatan muda.
Lama tak ada jawaban dari Mama. Karena ini adalah ketiga kalinya aku memasak perkedel jagung secara bergilir. Ini pertanyaanku yang salah atau waktunya yang kurang tepat?
Aku berniat untuk bertanya lagi. Sepertinya tadi Mama kurang menangkap maksud pertanyaanku. Tapi,,
"Kamu beneran mau nikah, Kak?" Mama menjawab pertanyaanku. Tapi dengan pertanyaan? Dan apa?
Aku menatap keberadaan Mama yang tidak jauh berdiri dari aku. Ia masih fokus pada adukan baladonya yang sepertinya sudah teraduk dengan rata. Atau Mama hanya pura-pura fokus karena adukannya juga tidak seperti mengaduk biasanya.
"Ya, Ma?" Aku bertanya. Mempertanyakan pertanyaan Mama yang terasa janggal untukku.
"Kamu seriusan mau nikah?" Sekarang Mama mematikan kompornya. Lalu meninggalkan baladonya begitu saja dengan memfokuskan pandangannya padaku.
Lho? Apa salahnya kalau aku mau menikah? Lagipula cepat atau lambat aku harus mengarungi bahtera kehidupanku yang selanjutnya bukan?
Mama tetap meneruskan kegiatan mengaduk balado kentang dan daging sapinya. Walaupun sebenarnya bumbu balado sudah secara keseluruhan merata dengan kentang juga dagingnya. Lalu tak lama Mama menghentikan gerak tangannyam bahkan meletakkan spatulanya. Mematikan kompor lagi. Setelahnya mengambil tempat untuk menyimpan baladonya yang diletakkan tak jauh dari kompor. Memindahkannya perlahan sedikit demi sedikit seakan berusaha untuk memperlama waktu untuk berjalan. Semua apa yang Mama lakukan tak lepas dari pengamatanku.
Aku mengangkat ronde terakhir dari acara memasak perkedel jagung setelahnya langsung mematikan kompor. Meniriskan perkedel jagungnya sebentar agar tidak meninggalkan banyak minyak di dalam perkedel jagungnya.
Menyelesaikan semua masakan dalam keadaan diam. Keadaan itu tetap bertahan hingga meletakkan semua masakan diatas meja. Meletakkan beberapa piring dengan alat-alat keperluannya disetiap samping piring yang sengaja ditelungkupkan diatas alas. Keadaan itu tetap berubah. Hingga Mama duduk disalah satu kursi tepat di depanku. Matanya sungguh fokus menatapku tapi sebenarnya tidak menatapku. Ada yang dipikirkan Mama dalam pandangannya itu.
Aku memposisikan diriku senyaman mungkin di kursi meja makan tepat didepan Mama. Berusaha untuk memahami Mama. Karena aku yakin, ada yang akan Mama katakan.
"Kak,,"
"Ya, Ma?"
Mama menatapku dengan pandangan sayu. Sebenarnya apa yang telah terjadi sebelum aku pulang? Kenapa jadi seperti ini?
"Yang suka bantuin Mama didapur itu, Kakak kan?"
"Iya." Aku mengangguk menjawab pertanyaan Mama.
"Yang suka jadi temen Mama cerita itu, Kakak juga kan ya" aku juga mengangguk merespon kalimat Mama barusan. Tapi rasanya kalimat Mama tadi bukan pertanyaan melainkan lebih merujuk pada pernyataan. Yang seharusnya tidak membutuhkan jawaban.
"Yang suka Mama minta buat ngejemput Syidah di sekolah juga Kakak kan ya. Yang suka Mama minta buat beli bahan-bahan buat masak di pasar juga Kakak kan? Yang suka Mama minta buat masak pas Mama ga bisa, itu juga Kakak kan? Yang suka Mama minta buat pulang pas lagi libur buat jaga Syidah di rumah, buat masakin Syidah, buat jaga rumah, waktu Mama harus nemenin Ayah check up ke Jakarta, juga Kak Utet kan ya?" Diam adalah pilihan terbagus saat ini yang kulakukan. Hanya memandang Mama berusaha untuk menangkap maksud Mama dengan mengatakan semua ini apa.
"Yang kadang suka ribetin Mama di dapur karena masih sering nanya mana merica mana ketumbar, Utet juga kan ya? Yang masih sering susah dimintain tolong buat nyetrika baju juga Utet kan ya? Yang suka bikin Mama khawatir karena Utet jarang bales sms Mama, itu juga Utet bukan? Utet kan paling males buat bales sms, walau itu dari Ayah atau Mama. Soalnya Utet lebih milih buat nelpon atau ditelpon daripada harus bales sms bukan?" Mama menatapku dengan pandangan yang cukup menuntut jawaban untuk meng-iyakan semuanya. Walaupun kenyataannya memang seperti itu. Dan Mama telah menghilangkan kata 'Kakak' dalam kalimatnya barusan. Apa maksudnya itu? "Utet juga kan yang pernah bikin Mama khawatir setengah mati karena pernah kabur dari pesantren dan ga bisa ditemuin 3 hari itu bukan?" Aku terhenyak. Mama benar-benar masih ingat kejadian itu. Kejadian yang membuatku berhenti untuk berpikit layaknya anak kecil yang seakan meminta perhatian lebih.
"Mama,,," aku memelas berusaha meminta Mama untuk menghentikan kata-katanya.
"Kalau nanti Utet nikah sama orang yang Ayah restuin. Terus Utet ga di rumah lagi. Nanti Mama gimana?" Inikah yang Mama pikirkan? Pikiran yang aku juga pikirkan?
"Ga ada lagi yang bakal nemenin Mama." Aku beranjak dari dudukku. Percakapan ini ternyata cukup sensitif bagi hatiku. Karena hatiku yang menjawab bahwa aku juga masih ingin bersama Mama lebih lama lagi tanpa harus dihalangi oleh bermeter-meter jarak.
Mendekati Mama dan duduk dikursi disamping Mama. Mendekatkan diri tepat disamping Mama.
Kupeluk lengan kanan Mama. Agar Mama tahu kalau aku juga merasakan hal yang sama.
"Mama,,," aku mengucapkannya sambil merasakan betapa hangatnya lengan Mama walaupun tertutup oleh ghamisnya. "Kan masih ada Bujing sama Shitoh. Mama bisa minta mereka nanti buat ngelakuin apa yang Mama pinta kalau Mama butuh. Mama juga bisa minta Bujing buat dengerin cerita Mama. Lagian kalaupun emang Utet nanti nikah,, eh, engga. Lagian kalau Utet nikah nanti, Utet pasti bakal sering-sering pulang kayak biasanya. Kayak waktu Utet masih kuliah."
"Beda, Utet. Beda."
"Kalau beda, kan Mama bisa telpon atau sms Utet. Bakal Utet usahain buat selalu bales sms Mama sama Ayah. Beneran deh." Kudongakkan kepalaku untuk menatap Mama yang ternyata juga tengah menatapku, berusaha menyakinkan Mama bahwa semua itu akan akau lakukan tanpa kebohongan. "Ya?" Tanyaku menyakinkan Mama.
Tidak. Sebenarnya semua itu adalah usahaku untuk meyakinkan diri sendiri jika memang seperti itu yang akan terjadi. Aku meyakinkan diri berusaha untuk tidak selalu mengandalkan Mama. Walau kenyataannya aku memang selalu mengandalkan Mama di saat-saat tertentu.
Benar kata Mama. Jika nanti aku sudah menikah, apa yang akan terjadi padaku selanjutnya? Untuk urusan memasak saja, aku masih sering bertanya pada Mama. Hanya untuk menanyakan kelengkapan bumbu atau apapun. Lalu, aku masih menanyakan, apakah bumbu itu harus aku iris atau harus aku ulek. Terus, sampai hari ini aku masih bingung membedakan mana yang ketumbar dan mana yang merica. Itu saja aku masih harus bertanya pada Mama. Karena bagiku Mama adalah seorang Chef terhebat yang kukenal.
Atau saat sakit, aku masih bertanya pada Mama, apa yang harus aku lakukan di saat seperti itu. Makanan apa yang harus aku hindari dan yang harus aku makan. Atau obat apa yang harus aku minum di saat aku flu ataupun di saat-saat aku sakit lainnya. Lalu, Mama akan menelpon dan menanyakan apa yang kurasakan, seperti apa rasanya, atau apapun dengan nada khawatirnya. Karena Mama bagiku adalah seorang Dokter. Bukan yang lain.
Terjadi juga pertama kali saat aku masih semester satu, masih butuh bimbingan bagaimana untuk membuat makalah yang baik, aku bertanya pada Mama. Dan Mama akan menjawabnya dengan baik. Atau juga saat aku tengah kesal pada Abang Dhillah, lalu aku akan bercerita panjang lebar kepada Mama, dengan diakhiri dengan cerita Mama yang hampir sama isinya. Seakan Mama berusaha untuk mengatakan, seharusnya aku tidak begitu. Jika aku memang mengalami masalah, seharusnya aku bisa menyelesaikannya. Atau apapun. Mama sudah menjadi sahabat, guru, dokter, chef, dan masih banyak lagi, bagiku.
Jika Mama, sudah hampir menjadi segalanya bagiku, bagaimana aku bisa menjalani kehidupan setelah menikah nanti? Walaupun aku tidak tahu kapan akan menikah.
Mungkin aku bisa melupakan sementara topik menikah, hingga usiaku benar-benar matang? Sekitar umur 23 atau 25 tahun mungkin? Atau setelah satu atau dua dari Abang-Abangku menikah mungkin? Setelah itu, baru aku yang menyusul mereka untuk menikah. Lagipula, kuliahku belum selesai. Minimal aku sudah menyelesaikan kuliahku. Sepertinya itu solusi terbaik yang kumiliki saat ini.
"Lagipula ya Ma," Mama menatapku dengan pandangannya yang selalu meneduhkan itu. "Utet kan juga belum selesai kuliahnya. Masa mau nikah dulu? Abang Ihsan juga belum nikah."
"Mungkin Utet bakal nikah nanti setelah Abang Ihsan." Ucapku sambil memegang daguku seakan aku tengah berpikir. Aku memberikan senyum untuk Mama.
"Kamu ni, ada-ada aja Kak." Panggilan untukku telah kembali. Dan Mama tersenyum untukku.
"Ya? Utet nikahnya setelah Abang Ihsan nikah. Ya? Ya? Ya, Ma?" Aku menggerakkan kepalaku untuk melihat wajah Mama keseluruhan dengan senyum lebar menghiasi bibirku berusaha untuk membuat Mama tersenyum lebar juga. Mama membalas senyumku. Tapi tak lama.
"Kelamaan itu mah, Kak."
Suara Ayah.
Ayah masuk ke ruang makan lalu duduk tepat didepan aku dan Mama. Ditempat aku duduk sebelumnya. Dengan seragam lengkap yang sudah terpasang di badan Ayah.
Darimana Ayah datang? Memang Ayah tidak pergi ke sekolah ya?
Ah, iya. Aku lupa. Sekarang masih sekitar jam 9 sepertinya. Dan biasanya Ayah pergi ke sekolah sekitar jam setengah 10. Ya. Aku tahu. Ayah bukanlah seorang guru teladan yang seharusnya jam 7 udah harus di sekolah. Tapi, itulah Ayahku. Posisinya sebagai guru bahasa Indonesia juga sebagai seorang wali kelas, tidak bisa menghilangkan posisi lainnya bahwa Ayah adalah seorang PNS senior yang sudah mengajar disana lebih dari 25 tahun. Bahkan diumurnya yang sudah menginjak umur 53, tidak menyurutkan keinginannya untuk tetap mengajar tanpa mau pensiun lebih dini. Walaupun Ayah sakit, ia tetap ingin terus ke sekolah.
Ayah meminum gelas khusus milik Ayah yang sudah terisi air hangat dari dispenser. Aku hanya memperhatikan tetap dalam posisi yang lama. Memeluk lengan Mama.
"Masa mau nikah abis Abang Ihsan nikah. Itu sih masih lama. Sekarang aja Abang Ihsan ga mau pulang sebelum naik gaji. Apalagi nunggu Abang Ihsan nikah. Itu masih lama banget, Kak." Ayah kembali meletakkan gelasnya. Lalu meletakkan tas kerja yang biasa Ayah bawa ke sekolah di tempat duduk didekat Ayah.
"Tapi, Yah,,, Mama,,"
"Ma, Utet itu udah gede." Ayah menyela kalimat Mama yang belum selesai. "Sebentar lagi kuliahnya mau selesai. Lagipula, kalau jodohnya udah dateng, kenapa harus ditolak? Lagipula calon yang ini potensinya cukup menjamin. Insya Allah, yang ini bisa menjadi yang terbaik."
"Ayah, Utet itu umurnya baru 21 tahun. Kenapa ga tunggu dia 2 tahun atau 3 tahun lagi? Biar dia bisa lebih bertanggung jawab."
Tunggu. Sebenarnya ini tengah membahas apa? Aku ada disini tapi aku sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan ini.
"Ma, umur seseorang tidak bisa menjamin orang tersebut dapat bertanggung jawab atau tidak. Tapi bagaimana dia bisa menjalaninya. Dan menikah juga bukan siap atau tidak siap. Melainkan mengenai adakah kemauan untuk menjalani sesuatu karena Allah? Bukan begitu?"
"Ayah, laki-laki yang kemarin dateng itu umurnya aja lebih muda dari Utet. Terus juga kan katanya dia baru semester 4 kuliahnya. Bisa apa coba dia? Bisa ga dia nafkahin Utet nanti? Ngebimbing Utet nanti? Mama ga mau kalau ujungnya nanti Utet ga bisa ngejalanin ibadahnya." Nada suara Mama menaik satu oktaf. Aku bingung, apa sebenarnya yang tengah dibicarakan? Kenapa namaku dimasukkan kedalam pembicaraan ini? Bahkan dapat membuat naik darah seperti ini.
"Mama kemarin denger kan?" Walau Mama menaikkan nadanya satu oktaf, Ayah sama sekali tidak membalasnya. Bahkan nada suara Ayah tetap tenang seperti nada awal beliau berbicara. Aneh. Yang biasanya menaikkan nada suaranya itu adalah Ayah. Bukan Mama. "Kemarin Mama dengerkan kalau dia itu salah satu programmer di perusahaan telekomunikasi. Bahkan dari dia kelas 3 SMA. Dan untuk masalah dia bisa engga bimbing Utet, ga mungkin Amal minggu kemarin rekomendasiin dia buat jadi calon imamnya Utet."
"Tapi Ayah,, nanti Mama gimana?"
"Ma, Utet pasti ada waktunya sendiri buat ketemu Mama nanti. Udah waktunya Utet jalanin kehidupan barunya dia."
Ini,,
Ini apa-apaan?
Apa maksud ini semua??
"Tunggu, tunggu. Ma, Ayah. Ini sebenarnya lagi ngebahas apa ya?" Kerutan di keningku rasanya semakin tebal karena kebingungan yang dibuat oleh kedua orang tuaku sendiri.
Ayah menatapku sepenuhnya sekarang. Sedangkan Mama, kulihat Mama menundukkan kepalanya, menatap meja makan. Ada apa sebenarnya?
"Ini yang kemarin mau Ayah omongin sama kamu, Kak." Kenapa kalimat pembuka Ayah membuat jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Kenapa? Aku meneguk ludah. Gugup.
"Kemarin, ada laki-laki datang ke rumah buat ketemu Ayah. Dia bilang niatnya buat ngelamar kamu." Hah? Lamar?
"Terus jawaban Ayah apa?"
"Sebelumnya waktu hari minggu kemarin, Abang Amal nelpon Ayah. Katanya bakal ada yang datang ke rumah buat ngelamar kamu. Dan Abang Amal juga bilang kamu juga udah nerima. Jadi, yaaa, Ayah terima lamarannya. Makanya Ayah minta kamu buat pulang. Ayah mau mastiin, kamu punya waktu luang buat nikah kapan?" Mulutku menganga mendengar kata-kata Ayah.
Hah??
Waktu luang buat nikah??
Emang nikah segampang itu ya??
"Emang segampang itu ya, Ayah?" Hatiku benar-benar kacau. Tidak karuan. Aku baru ingat, bahwa sudah cukup lama aku tidak memikirkan mengenai lamaran Fian. Ya. Jika kata 'lamar' keluar, maka otakku seakan sudah respon untuk ingat pada Fian.
"Ya. Yang penting sah dulu dimata Agama, terus negara. Walimatul Ursy'nya bisa nyusul."
Kalimat tersimpel yang kudengar dari mulut Ayah cukup bisa membuat hatiku porak poranda. Masalah Fian itu, bukannya sudah selesai. Bahkan baru dimulai. Jadi kenapa sekarang ada masalah baru mengenai lamar-melamar?
Tunggu. Rekomendasi dari Abang Amal? Jangan-jangan?
"Ayah, nama calon itu,," aku ragu untuk meneruskan pertanyaanku. Tapi aku harus memastikannya. "Nama calon itu,, siapa ya Ayah?" Tanyaku dengan suara yang cukup kecil tapi mengandung rasa penasaran yang cukup besar juga.
"Kalau Ayah ga salah ya. Namanya Muhammad Alvian Qusyairi. Dipanggilnya pake nama 'Fian'."
Seharusnya dari awal aku tidak usah heran kalau itu rekomendasi dari Abang Amal.
#################

0 komentar:

Posting Komentar