Aku terbangun
dengan tidak cantik saat mendengar ketukan juga suara Ayah yang membangunkanku
untuk shalat shubuh. Bagaimana tidak cantik, aku terbangun dengan
terkaget-kaget hingga terduduk dari tidurku dan dengan tidak sengaja
melemparkan guling yang sejak semalam kupeluk erat sembarangan. Apalagi semalam
aku sempat begadang untuk membaca buku yang kupinjam dari Ayah karena tidak
bisa tidur. Aku benar-benar bisa tidur tepat setelah menyelesaikan setengah
buku dari buku yang kubaca. Untungnya juga aku masih sempat membaca do'a
sebelum tidur dan memeluk bantal guling. Dan sekarang, salahku juga tidak
mengabarkan Ayah semalam kalau aku tengah halangan semenjak kemarin shubuh.
Aku beranjak
dari kasur dan membuka pintu masih dengan wajah ngantuk yang sesekali menguapkan
aroma ngantukku.
"Kak,
shalat dulu." Suara Ayah kembali lagi.
"Ayah,
Utet lagi halangan. Maaf baru bilang. Dan semalam Utet tidur terlalu
malam." Kataku setelah membuka pintu. Ayah masih rapi dengan baju koko dan
sarung kotak-kotak hijaunya.
"Yasudah.
Sana lanjut tidurnya. Maafin Ayah ya jadi malah ganggu tidur kamu, Kak."
Ayah mengacak-acak rambutku yang memang sudah acak-acakan karena tidak kuikat.
Aku hanya menunduk merasakan usapan sayang dari tangan Ayah. Kenapa tidak Abang
Amal, tidak Ayah, laki-laki di keluargaku sepertinya suka sekali mengusap
kepalaku.
"Bukan
salah Ayah kok. Ngapain Ayah minta maaf,,"
"Iya deh.
Iya. Sana lanjutin tidurnya kalau gitu. Kamu baru nyampe tadi malam, Kak. Pasti
capek banget." Ayah mendorong pelan kedua pundakku untuk kembali masuk
kamar dan kembali tidur. Hah, Ayahku ini. Biasanya kalau bukan karena aku baru
sampai di rumah tadi malam. Jam setengah 6, Ayah pasti udah memastikan aku
tidak kembali tertidur dengan alasan apapun. Kata Ayah, tidak baik seorang anak
perempuan kembali tidur setelah shalat shubuh dan tidak membantu ibu nya di
dapur. Aku hanya bisa tersenyum jika sudah mendengarkan kata-kata itu.
Ayah yang
menutup kembali pintu kamarku. Sedangkan aku, masih berdiri di depan pintu.
Mengingat-ingat bahwa aku memang semalam baru sampai di rumah. Jadi lebih baik
aku kembali berbaring di atas kasur dan kembali menarik selimut hingga menutupi
seluruh badanku.
**********
Aku terbangun
dari tidurku yang ternyata cukup indah oleh cahaya-cahaya terang. Menggeliatkan
badan mencari posisi-posisi ternyaman untuk merenggangkan tubuh. Rasanya begitu
enak dan menyenangkan. Aku begitu menikmati acara perenggangan tubuhku. Lalu
membuka mata, dan hal pertama yang kulihat adalah cahaya terang yang ternyata
masuk lewat jendela kamarku yang tirainya sudah digeser dan disangkutkan. Siapa
lagi yang berani memasuki kamarku dan membuka jendelaku hingga udara pagi masuk
memenuhi kamar kalau bukan Mama. Lagipula pintu memang sengaja tidak kukunci.
Hari ini
adalah hari pertama aku setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan juga
melelahkan dari Bandung di kampung asalku. Tempat aku di lahirkan. Tempat
berkembang menjadi remaja. Malingping.
Karena aku beranjak dewasa di kota orang hingga sekarang ini. Hanya
sesekali aku bisa menginap di rumah asal. Dan semuanya hanya di waktu-waktu
sekolah tengah libur. Bukan di waktu-waktu seperti ini. Ah, aku baru ingat.
Bahwa ini pertama kalinya aku pulang ke rumah bukan di waktu libur. Itupun
tidak dengan alasan karena aku memang ingin pulang. Alasanku saat ini yang
paling tepat adalah karena aku diminta pulang oleh Ayah. Ada sesuatu penting
yang perlu dibicarakan denganku. Dan sampai saat ini pun setelah aku sampai di
rumah sekitar jam 11 malam, Ayah belum mengatakan apa-apa mengenai hal penting
tersebut. Tapi, yasudahlah biar Ayah yang nanti mengawali tak perlu aku yang
bertanya lebih dulu.
Sepertinya ini
adalah waktu yang paling tepat untukku meninggalkan kasur tercinta yang kutemui
semalam. Mencari tali tambut yang tadi malam aku ingat, kuletakkan di atas meja
belajar tak jauh dari ranjang. Ah, aku menemukannya tepat diatas tas kecil
berisi peralatan khusus milikku sebagai perempuan. Mengikat tinggi-tinggi
rambut agar tak terlalu mengganggu aktifitas yang akan aku lakukan dengan cara
menggelungnya. Lalu keluar kamar tanpa mengubah penampilanku yang lain. Karena
memang seperti ini keadaan biasa milikku saat di rumah.
Aku berlalu
begitu saja melenggang melewati ruang tengah yang memang biasanya sepi. Apalagi
jika mengingat yang tinggal di rumah ini hanya Ayah dan Mama bersama adik
terakhir yang umurnya sangat jauh dariku. Sekitar beda 10 tahun denganku.
Seingatku adikku yang terakhir masih di kelas 2 SD dan di pertengah tahun ini
akan memasuki kelas 3 SD. Sepertinya juga aku belum mengatakan ini, bahwa
sebenarnya aku masih memiliki 3 adik perempuan setelahku. Jangan tanyakan
padaku mengapa Mama dan Ayah senang memiliki anak banyak. Oh, sepertinya dulu
aku pernah bertanya pada Mama, dan sepertinya juga jawabannya masih aku ingat.
Tunggu, aku berpikir dulu.
Jika tidak
salah dulu Mama bilang, kalau Mama tidak suka dengan memakai KB atau apalah itu
namanya. Karena untuk Mama, memiliki banyak anak adalah anugerah yang tidak
bisa setiap orang miliki. Aku juga sepertinya belum pernah bercerita, bahwa
semua anak Mama kecuali adik paling kecil semua tidak berada di rumah. Tidak
bersekolah di sekitar rumah. Semua anak Mama melanjutkan hidupnya di dunia
perantauan saat lulus SD. Makanya kedua adik setelahku yang sekarang sudah
kelas 1 SMA atau biasanya disebut MA, dan kelas 2 SMP atau biasanya disebut
MTs, itu masih ada di pesantrennya untuk menjalani kehidupan yang dulu juga
kualami. Begitulah garis kehidupan keluargaku. Hampir semua anak Mama harus
bisa di jalan yang sama. Bahkan harus semuanya.
Tapi, kenapa
aku belum juga melihat wajah Syidah ya? Adik paling kecil itu kemana ya?
Aku
melongokkan kepalaku ke dapur. Dan kulihat Mama yang membelakangiku sepertinya
sibuk dengan acara memasaknya.
"Mama,,,"
panggilku dengan nada manja. Kudekati Mama dan kupeluk lengan kanan Mama.
Kangen deh sama Mama.
"Aduh?
Anak Mama yang ini kenapa? Bangun-bangun langsung meluk lengan Mama
begini?" Mama menatap dengan senyum keibuannya kepadaku yang masih memeluk
lengan Mama.
"Syidah
mana, Ma?" Tanyaku sambil melihat apa isi panci yang diatas kompor. Oh.
Sayur sop ayam. Karena kulihat beberapa potongan dari badan ayam yang menyembul
dari tumpukan sayur.
"Ke
sekolah dong." Mama memasukkan garam kedalamnya dan tak lupa sedikit
penyedap. Karena Mama tidak terlalu suka jika makanannya sedap karena penyedap
begitu saja.
"Ke
sekolah? Emang sekarang jam berapa?" Kuperhatikan Mama yang mengaduk sop
ayamnya. Lalu tak lama mengambil sendok kecil untuk mencicipi masakannya apa
rasa masakannya pas atau belum.
"Hmm,,
jam 8 lewat kalo ga salah." Mama berpikir sebentar. Karena kulihat
pandangan Mama yang sedikit menerawang merasakan apa yang kurang. Tak lama,
Mama memasukkan sedikit lagi garam. Mengaduknya lagi, kemudian mencicipinya
lagi sebelum menutup panci.
"Jam 8
lewat ya Ma?" Aku masih memperhatikan apa yang dilakukan Mama.
Tunggu.
Aku terdiam.
Kulepaskan pelukanku di lengan Mama.
Apa tadi?
Jam 8 lewat?
Eeehhh????
"Bukan
jam setengah 7 ya Ma?" Tanyaku dengan sedikit teriakan.
"Bukan."
Mama berjalan sedikit untuk mengambil adonan yang sepertinya untuk perkedel
jagung.
"Kok? Kok
bisa?" Kataku dan Mama sama sekali tidak merasa terganggu dengan suaraku
yang tadi sempat melebihi oktaf standarnya.
"Ya
bisalah. Kamu pules gitu tidurnya. Tadi juga alarm kamu bunyinya berisik gitu,
kamu ga bangun juga." Apa? Pantas tadi aku merasa heran dengan alarm dari
Handphone-ku yang tidak bunyi juga saat aku telah bangun. "Tumben banget
kamu jadi lebih susah bangunnya hari ini, Utet. Anak Mama yang ini berubah jadi
kayak Abang Dhillah sekarang ya?" Mama menuangkan minyak goreng kedalam
wajan yang tadi sudah dipanaskan sebentar.
"Yaudah.
Aku bantu masak ya Ma?"
"Boleh.
Biasanya juga ga nanya dulu."
"Hehehe.
Tapi aku ke kamar mandi dulu. Belum gosok gigi sama cuci muka soalnya.”
"Ish.
Joroknya anak gadis Mama yang ini." Sekarang Mama menatapku dengan tatapan
yang seakan Mama jijik saat tahu aku belum ke kamar mandi semenjak keluar dari
kamar. Tapi tetap saja Mama akan tersenyum diujungnya sambil mendorongku pergi
ke kamar mandi.
Setelah
mencuci muka seasal dan sebagaimana biasanya aku. Lalu menggosok gigi, aku
langsung beranjak meninggalkan kamar mandi untuk membantu Mama.
Meraih adonan
perkedel jagung yang sekarang sudah mulai Mama masukkan kedalam wajan.
Sedangkan Mama setelah menyerahkan adonan perkedel jagung padaku, langsung
mengambil bahan-bahan yang sudah Mama ulek dengan ulekan. Tanpa blender atau
apapun itu. Kata Mama jika diulek langsung oleh tangan, rasanya jadi lebih
mantap. Jadi, walaupun ada blender yang bisa dipakai untuk menghancurkan bahan-bahan,
Mama tetap konsisten dengan ulekannya yang sudah lama bertahan dari jerat usia.
"Lho?
Mama mau bikin apa emang?"
"Itu,,"
Mama menunjuk ke tumpukan kentang goreng yang dipotong dadu. "Dan
itu,," lalu menunjuk ke daging sapi yang juga dipotong dadu. Ah, balado
kentang dan daging sapi. Mama tahu saja apa yang enak untuk dimakan. Apalagi
untuk perut anak-anaknya.
Aku memang
anak manja. Anak manja dengan sewajarnya kepada ibunya sendiri. Aku kadang
selalu bergelayut di lengan Mama tanpa tujuan dengan modus lain. Hanya ingin
dekat dengan Mama. Walau kenyataannya aku memang dekat dengan Mama. Sering
saling bercerita apapun tema dan judulnya. Aku bercerita ke Mama. Dan Mama
bercerita kepadaku. Entah itu tentang Ayah yang suka ngambek tiba-tiba dan
menurut Mama itu lucu. Karena ngambeknya Ayah itu adalah saat Ayah diam tanpa
suara. Semua dilakukannya sendiri. Hanya saja ada beberapa hal yang memang
hanya Mama yang bisa melakukannya. Semisal dengan porsi masakan. Hanya Mama
yang tahu masakan yang seperti apa dengan bahan apa yang Ayah boleh makan.
Jadi, bagaimanapun Ayah harus berkomunikasi dengan Mama. Dan Mama pasti akan
mengatakan bahwa Ayah itu memang aslinya seperti itu sekarang-sekarang ini.
Menjadi lebih manja semenjak Ayah terkena penyempitan jantung. Namun, Mama sama
sekali tidak mempermasalahkan itu. Aku bersyukur memiliki Mama yang hatinya
begitu sabar kepada siapapun khususnya kepada yang sifatnya memang
tempramental. Tapi, memang aku peduli? Yang terpenting adalah Ayah tetap Ayahku
bukan Ayah yang lain.
Apakah jika
aku menikah, semua ini akan menghilang? Hal ini baru terpikirkan olehku. Hal
penting ini. Bagaimana jika semua itu akan menghilang setelah aku menikah?
"Ma,"
panggilku pada Mama saat hening tercipta hanya suara percikan kecil minyak yang
terdengar dari wajan.
"Ya?"
Mama menengok sebentar sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada kegiatan
mengaduk masakan balado kentang dan daging sapinya. Tengokan Mama yang hanya
sebentar itu adalah bahwa Mama mendengarkan apa yang akan kukatakan.
"Apa yang
sebenarnya mau Ayah omongin?" Tanyaku dengan nada ragu. "Kata Ayah,
ini berita penting. Emang apa? Sampai Ayah ngotot nyuruh Utet pulang?" Aku
berhasil menghilangkan nada ragu dari kalimat pembuka untuk kalimat utamaku. \
Gerakan
mengaduk Mama sempat terhenti saat mendengar pertanyaanku. Tapi setelah itu,
Mama kembali melanjutkan adukannya tanpa berniat untuk menengok sama sekali
padaku yang masih menatap Mama, hingga aku teringat aku masih memasak perkedel
jagung. Aku kembali memfokuskan diriku pada perkedel jagung yang sepertinya
sudah cukup matang dengan warna kecoklatan muda.
Lama tak ada
jawaban dari Mama. Karena ini adalah ketiga kalinya aku memasak perkedel jagung
secara bergilir. Ini pertanyaanku yang salah atau waktunya yang kurang tepat?
Aku berniat
untuk bertanya lagi. Sepertinya tadi Mama kurang menangkap maksud pertanyaanku.
Tapi,,
"Kamu
beneran mau nikah, Kak?" Mama menjawab pertanyaanku. Tapi dengan
pertanyaan? Dan apa?
Aku menatap
keberadaan Mama yang tidak jauh berdiri dari aku. Ia masih fokus pada adukan
baladonya yang sepertinya sudah teraduk dengan rata. Atau Mama hanya pura-pura
fokus karena adukannya juga tidak seperti mengaduk biasanya.
"Ya,
Ma?" Aku bertanya. Mempertanyakan pertanyaan Mama yang terasa janggal
untukku.
"Kamu
seriusan mau nikah?" Sekarang Mama mematikan kompornya. Lalu meninggalkan
baladonya begitu saja dengan memfokuskan pandangannya padaku.
Lho? Apa
salahnya kalau aku mau menikah? Lagipula cepat atau lambat aku harus mengarungi
bahtera kehidupanku yang selanjutnya bukan?
Mama tetap
meneruskan kegiatan mengaduk balado kentang dan daging sapinya. Walaupun
sebenarnya bumbu balado sudah secara keseluruhan merata dengan kentang juga
dagingnya. Lalu tak lama Mama menghentikan gerak tangannyam bahkan meletakkan
spatulanya. Mematikan kompor lagi. Setelahnya mengambil tempat untuk menyimpan
baladonya yang diletakkan tak jauh dari kompor. Memindahkannya perlahan sedikit
demi sedikit seakan berusaha untuk memperlama waktu untuk berjalan. Semua apa
yang Mama lakukan tak lepas dari pengamatanku.
Aku mengangkat
ronde terakhir dari acara memasak perkedel jagung setelahnya langsung mematikan
kompor. Meniriskan perkedel jagungnya sebentar agar tidak meninggalkan banyak
minyak di dalam perkedel jagungnya.
Menyelesaikan
semua masakan dalam keadaan diam. Keadaan itu tetap bertahan hingga meletakkan
semua masakan diatas meja. Meletakkan beberapa piring dengan alat-alat
keperluannya disetiap samping piring yang sengaja ditelungkupkan diatas alas.
Keadaan itu tetap berubah. Hingga Mama duduk disalah satu kursi tepat di
depanku. Matanya sungguh fokus menatapku tapi sebenarnya tidak menatapku. Ada
yang dipikirkan Mama dalam pandangannya itu.
Aku
memposisikan diriku senyaman mungkin di kursi meja makan tepat didepan Mama.
Berusaha untuk memahami Mama. Karena aku yakin, ada yang akan Mama katakan.
"Kak,,"
"Ya,
Ma?"
Mama menatapku
dengan pandangan sayu. Sebenarnya apa yang telah terjadi sebelum aku pulang?
Kenapa jadi seperti ini?
"Yang
suka bantuin Mama didapur itu, Kakak kan?"
"Iya."
Aku mengangguk menjawab pertanyaan Mama.
"Yang
suka jadi temen Mama cerita itu, Kakak juga kan ya" aku juga mengangguk
merespon kalimat Mama barusan. Tapi rasanya kalimat Mama tadi bukan pertanyaan
melainkan lebih merujuk pada pernyataan. Yang seharusnya tidak membutuhkan
jawaban.
"Yang
suka Mama minta buat ngejemput Syidah di sekolah juga Kakak kan ya. Yang suka
Mama minta buat beli bahan-bahan buat masak di pasar juga Kakak kan? Yang suka
Mama minta buat masak pas Mama ga bisa, itu juga Kakak kan? Yang suka Mama
minta buat pulang pas lagi libur buat jaga Syidah di rumah, buat masakin
Syidah, buat jaga rumah, waktu Mama harus nemenin Ayah check up ke Jakarta,
juga Kak Utet kan ya?" Diam adalah pilihan terbagus saat ini yang
kulakukan. Hanya memandang Mama berusaha untuk menangkap maksud Mama dengan
mengatakan semua ini apa.
"Yang
kadang suka ribetin Mama di dapur karena masih sering nanya mana merica mana
ketumbar, Utet juga kan ya? Yang masih sering susah dimintain tolong buat
nyetrika baju juga Utet kan ya? Yang suka bikin Mama khawatir karena Utet
jarang bales sms Mama, itu juga Utet bukan? Utet kan paling males buat bales
sms, walau itu dari Ayah atau Mama. Soalnya Utet lebih milih buat nelpon atau
ditelpon
daripada harus bales sms bukan?" Mama menatapku dengan pandangan yang
cukup menuntut jawaban untuk meng-iyakan semuanya. Walaupun kenyataannya memang
seperti itu. Dan Mama telah menghilangkan kata 'Kakak' dalam kalimatnya
barusan. Apa maksudnya itu? "Utet juga kan yang pernah bikin Mama khawatir
setengah mati karena pernah kabur dari pesantren dan ga bisa ditemuin 3 hari
itu bukan?" Aku terhenyak. Mama benar-benar masih ingat kejadian itu.
Kejadian yang membuatku berhenti untuk berpikit layaknya anak kecil yang seakan
meminta perhatian lebih.
"Mama,,,"
aku memelas berusaha meminta Mama untuk menghentikan kata-katanya.
"Kalau
nanti Utet nikah sama orang yang Ayah restuin. Terus Utet ga di rumah lagi.
Nanti Mama gimana?" Inikah yang Mama pikirkan? Pikiran yang aku juga
pikirkan?
"Ga ada
lagi yang bakal nemenin Mama." Aku beranjak dari dudukku. Percakapan ini
ternyata cukup sensitif bagi hatiku. Karena hatiku yang menjawab bahwa aku juga
masih ingin bersama Mama lebih lama lagi tanpa harus dihalangi oleh
bermeter-meter jarak.
Mendekati Mama
dan duduk dikursi disamping Mama. Mendekatkan diri tepat disamping Mama.
Kupeluk lengan
kanan Mama. Agar Mama tahu kalau aku juga merasakan hal yang sama.
"Mama,,,"
aku mengucapkannya sambil merasakan betapa hangatnya lengan Mama walaupun
tertutup oleh ghamisnya. "Kan masih ada Bujing sama Shitoh. Mama bisa
minta mereka nanti buat ngelakuin apa yang Mama pinta kalau Mama butuh. Mama
juga bisa minta Bujing buat dengerin cerita Mama. Lagian kalaupun emang Utet
nanti nikah,, eh, engga. Lagian kalau Utet nikah nanti, Utet pasti bakal
sering-sering pulang kayak biasanya. Kayak waktu Utet masih kuliah."
"Beda,
Utet. Beda."
"Kalau beda,
kan Mama bisa telpon atau sms Utet. Bakal Utet usahain buat selalu bales sms
Mama sama Ayah. Beneran deh." Kudongakkan kepalaku untuk menatap Mama yang
ternyata juga tengah menatapku, berusaha menyakinkan Mama bahwa semua itu akan
akau lakukan tanpa kebohongan. "Ya?" Tanyaku menyakinkan Mama.
Tidak.
Sebenarnya semua itu adalah usahaku untuk meyakinkan diri sendiri jika memang
seperti itu yang akan terjadi. Aku meyakinkan diri berusaha untuk tidak selalu
mengandalkan Mama. Walau kenyataannya aku memang selalu mengandalkan Mama di
saat-saat tertentu.
Benar kata
Mama. Jika nanti aku sudah menikah, apa yang akan terjadi padaku selanjutnya?
Untuk urusan memasak saja, aku masih sering bertanya pada Mama. Hanya untuk
menanyakan kelengkapan bumbu atau apapun. Lalu, aku masih menanyakan, apakah
bumbu itu harus aku iris atau harus aku ulek. Terus, sampai hari ini aku masih
bingung membedakan mana yang ketumbar dan mana yang merica. Itu saja aku masih
harus bertanya pada Mama. Karena bagiku Mama adalah seorang Chef terhebat yang
kukenal.
Atau saat
sakit, aku masih bertanya pada Mama, apa yang harus aku lakukan di saat seperti
itu. Makanan apa yang harus aku hindari dan yang harus aku makan. Atau obat apa
yang harus aku minum di saat aku flu ataupun di saat-saat aku sakit lainnya.
Lalu, Mama akan menelpon dan menanyakan apa yang kurasakan, seperti apa
rasanya, atau apapun dengan nada khawatirnya. Karena Mama bagiku adalah seorang
Dokter. Bukan yang lain.
Terjadi juga
pertama kali saat aku masih semester satu, masih butuh bimbingan bagaimana
untuk membuat makalah yang baik, aku bertanya pada Mama. Dan Mama akan
menjawabnya dengan baik. Atau juga saat aku tengah kesal pada Abang Dhillah,
lalu aku akan bercerita panjang lebar kepada Mama, dengan diakhiri dengan cerita
Mama yang hampir sama isinya. Seakan Mama berusaha untuk mengatakan, seharusnya
aku tidak begitu. Jika aku memang mengalami masalah, seharusnya aku bisa
menyelesaikannya. Atau apapun. Mama sudah menjadi sahabat, guru, dokter, chef,
dan masih banyak lagi, bagiku.
Jika Mama,
sudah hampir menjadi segalanya bagiku, bagaimana aku bisa menjalani kehidupan
setelah menikah nanti? Walaupun aku tidak tahu kapan akan menikah.
Mungkin aku
bisa melupakan sementara topik menikah, hingga usiaku benar-benar matang? Sekitar
umur 23 atau 25 tahun mungkin? Atau setelah satu atau dua dari Abang-Abangku
menikah mungkin? Setelah itu, baru aku yang menyusul mereka untuk menikah.
Lagipula, kuliahku belum selesai. Minimal aku sudah menyelesaikan kuliahku.
Sepertinya itu solusi terbaik yang kumiliki saat ini.
"Lagipula
ya Ma," Mama menatapku dengan pandangannya yang selalu meneduhkan itu.
"Utet kan juga belum selesai kuliahnya. Masa mau nikah dulu? Abang Ihsan
juga belum nikah."
"Mungkin
Utet bakal nikah nanti setelah Abang Ihsan." Ucapku sambil memegang daguku
seakan aku tengah berpikir. Aku memberikan senyum untuk Mama.
"Kamu ni,
ada-ada aja Kak." Panggilan untukku telah kembali. Dan Mama tersenyum
untukku.
"Ya? Utet
nikahnya setelah Abang Ihsan nikah. Ya? Ya? Ya, Ma?" Aku menggerakkan
kepalaku untuk melihat wajah Mama keseluruhan dengan senyum lebar menghiasi
bibirku berusaha untuk membuat Mama tersenyum lebar juga. Mama membalas
senyumku. Tapi tak lama.
"Kelamaan
itu mah, Kak."
Suara Ayah.
Ayah masuk ke
ruang makan lalu duduk tepat didepan aku dan Mama. Ditempat aku duduk
sebelumnya. Dengan seragam lengkap yang sudah terpasang di badan Ayah.
Darimana Ayah
datang? Memang Ayah tidak pergi ke sekolah ya?
Ah, iya. Aku
lupa. Sekarang masih sekitar jam 9 sepertinya. Dan biasanya Ayah pergi ke
sekolah sekitar jam setengah 10. Ya. Aku tahu. Ayah bukanlah seorang guru
teladan yang seharusnya jam 7 udah harus di sekolah. Tapi, itulah Ayahku.
Posisinya sebagai guru bahasa Indonesia juga sebagai seorang wali kelas, tidak
bisa menghilangkan posisi lainnya bahwa Ayah adalah seorang PNS senior yang
sudah mengajar disana lebih dari 25 tahun. Bahkan diumurnya yang sudah
menginjak umur 53, tidak menyurutkan keinginannya untuk tetap mengajar tanpa
mau pensiun lebih dini. Walaupun Ayah sakit, ia tetap ingin terus ke sekolah.
Ayah meminum
gelas khusus milik Ayah yang sudah terisi air hangat dari dispenser. Aku hanya
memperhatikan tetap dalam posisi yang lama. Memeluk lengan Mama.
"Masa mau
nikah abis Abang Ihsan nikah. Itu sih masih lama. Sekarang aja Abang Ihsan ga
mau pulang sebelum naik gaji. Apalagi nunggu Abang Ihsan nikah. Itu masih lama
banget, Kak." Ayah kembali meletakkan gelasnya. Lalu meletakkan tas kerja
yang biasa Ayah bawa ke sekolah di tempat duduk didekat Ayah.
"Tapi,
Yah,,, Mama,,"
"Ma, Utet
itu udah gede." Ayah menyela kalimat Mama yang belum selesai.
"Sebentar lagi kuliahnya mau selesai. Lagipula, kalau jodohnya udah
dateng, kenapa harus ditolak? Lagipula calon yang ini potensinya cukup
menjamin. Insya Allah, yang ini bisa menjadi yang terbaik."
"Ayah,
Utet itu umurnya baru 21 tahun. Kenapa ga tunggu dia 2 tahun atau 3 tahun lagi?
Biar dia bisa lebih bertanggung jawab."
Tunggu.
Sebenarnya ini tengah membahas apa? Aku ada disini tapi aku sama sekali tidak
mengerti arah pembicaraan ini.
"Ma, umur
seseorang tidak bisa menjamin orang tersebut dapat bertanggung jawab atau
tidak. Tapi bagaimana dia bisa menjalaninya. Dan menikah juga bukan siap atau
tidak siap. Melainkan mengenai adakah kemauan untuk menjalani sesuatu karena
Allah? Bukan begitu?"
"Ayah,
laki-laki yang kemarin dateng itu umurnya aja lebih muda dari Utet. Terus juga
kan katanya dia baru semester 4 kuliahnya. Bisa apa coba dia? Bisa ga dia
nafkahin Utet nanti? Ngebimbing Utet nanti? Mama ga mau kalau ujungnya nanti
Utet ga bisa ngejalanin ibadahnya." Nada suara Mama menaik satu oktaf. Aku
bingung, apa sebenarnya yang tengah dibicarakan? Kenapa namaku dimasukkan
kedalam pembicaraan ini? Bahkan dapat membuat naik darah seperti ini.
"Mama
kemarin denger kan?" Walau Mama menaikkan nadanya satu oktaf, Ayah sama
sekali tidak membalasnya. Bahkan nada suara Ayah tetap tenang seperti nada awal
beliau berbicara. Aneh. Yang biasanya menaikkan nada suaranya itu adalah Ayah.
Bukan Mama. "Kemarin Mama dengerkan kalau dia itu salah satu programmer di
perusahaan telekomunikasi. Bahkan dari dia kelas 3 SMA. Dan untuk masalah dia
bisa engga bimbing Utet, ga mungkin Amal minggu kemarin rekomendasiin dia buat
jadi calon imamnya Utet."
"Tapi
Ayah,, nanti Mama gimana?"
"Ma, Utet
pasti ada waktunya sendiri buat ketemu Mama nanti. Udah waktunya Utet jalanin
kehidupan barunya dia."
Ini,,
Ini apa-apaan?
Apa maksud ini
semua??
"Tunggu,
tunggu. Ma, Ayah. Ini sebenarnya lagi ngebahas apa ya?" Kerutan di keningku
rasanya semakin tebal karena kebingungan yang dibuat oleh kedua orang tuaku
sendiri.
Ayah menatapku
sepenuhnya sekarang. Sedangkan Mama, kulihat Mama menundukkan kepalanya,
menatap meja makan. Ada apa sebenarnya?
"Ini yang
kemarin mau Ayah omongin sama kamu, Kak." Kenapa kalimat pembuka Ayah
membuat jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Kenapa? Aku meneguk
ludah. Gugup.
"Kemarin,
ada laki-laki datang ke rumah buat ketemu Ayah. Dia bilang niatnya buat
ngelamar kamu." Hah? Lamar?
"Terus
jawaban Ayah apa?"
"Sebelumnya
waktu hari minggu kemarin, Abang Amal nelpon Ayah. Katanya bakal ada yang
datang ke rumah buat ngelamar kamu. Dan Abang Amal juga bilang kamu juga udah
nerima. Jadi, yaaa, Ayah terima lamarannya. Makanya Ayah minta kamu buat
pulang. Ayah mau mastiin, kamu punya waktu luang buat nikah kapan?"
Mulutku menganga mendengar kata-kata Ayah.
Hah??
Waktu luang
buat nikah??
Emang nikah
segampang itu ya??
"Emang
segampang itu ya, Ayah?" Hatiku benar-benar kacau. Tidak karuan. Aku baru
ingat, bahwa sudah cukup lama aku tidak memikirkan mengenai lamaran Fian. Ya.
Jika kata 'lamar' keluar, maka otakku seakan sudah respon untuk ingat pada
Fian.
"Ya. Yang
penting sah dulu dimata Agama, terus negara. Walimatul Ursy'nya bisa
nyusul."
Kalimat tersimpel
yang kudengar dari mulut Ayah cukup bisa membuat hatiku porak poranda. Masalah
Fian itu, bukannya sudah selesai. Bahkan baru dimulai. Jadi kenapa sekarang ada
masalah baru mengenai lamar-melamar?
Tunggu.
Rekomendasi dari Abang Amal? Jangan-jangan?
"Ayah,
nama calon itu,," aku ragu untuk meneruskan pertanyaanku. Tapi aku harus
memastikannya. "Nama calon itu,, siapa ya Ayah?" Tanyaku dengan suara
yang cukup kecil tapi mengandung rasa penasaran yang cukup besar juga.
"Kalau
Ayah ga salah ya. Namanya Muhammad Alvian Qusyairi. Dipanggilnya pake nama
'Fian'."
Seharusnya
dari awal aku tidak usah heran kalau itu rekomendasi dari Abang Amal.
#################
0 komentar:
Posting Komentar