Rss

Senin, 21 Juli 2014

Part 9: Angry Brother

Ya, dengan semua yang telah kulakukan. Mulai shalat istikharah, Nasehat yang kudapat secara tiba-tiba dari Kak Ross, persetujuan dari dua Abang-Abang tercintaku walau Abang Dhillah tidak memberikan izin itu sama sekali, juga dengan perang melawan hatiku yang paling keras. Aku memantapkan diri untuk menerima Fian. Apalagi setelah mendengar penuturan panjangnya. Semua perempuan juga akan meleleh jika mendengar kata-kata itu. Dan perempuan itu termasuk Aku.
Mungkin jika penuturannya hanya gombal basi seperti gombalan laki-laki sewajarnya, Aku tidak akan meleleh ataupun memantapkan niatku untuk menerima Fian. Juga rasanya Aku tahu, Fian bukan tipe laki-laki yang suka menggombal. Bisa dilihat dari perilakunya selama ini. Fian bukan menggombal tapi melindungi. Bahkan kata-katanya yang Aku dengar kemarin juga adalah kata-kata yang melindungi. Jadi, kenapa tidak Aku terima aja dulu? Lagipula keputusan mutlak tetap ada di tangan Ayah bukan? 

Aku jadi teringat peristiwa minggu kemarin. setelah mengatakan bahwa Aku menerimanya, Aku pergi begitu saja tanpa memikirkan apa yang dipikirkan Fian. Apalagi setelah melihat senyumnya. Rasanya mataku silau melihatnya. Jadi Aku harus buru-buru meninggalkan tempat kejadian perkara. Aku takut Fian akan bertanya mengapa demikian dan mengapa demikian. Ah Utet, dasar tukang onar. Bukan onar yang suka mengganggu orang secara fisik ato psikologis. Tapi Aku hanya pembuat onar yang mencoba menghancurkan setiap mental Fian. Kurasa menghancurkan psikologi Fian dan menghancurkan setiap mental Fian itu berarti sama. 

Ah ya, sekarang ini Aku sedang berada di kelas menghadiri salah satu kelas yang paling Aku malas untuk datang. Retorika. Dosen akan datang ke kelas hanya untuk berceramah panjang seakan membiarkan mahasiswa mencerna semua isi ceramahnya hingga mengangguk-angguk seru. Seperti saat ini. Kulihat beberapa teman sekelasku ada dengan PD-nya dia tidur didalam kelas tanpa mempedulikan dosen. Lalu, ada juga yang menghabiskan waktu ceramah dosen dengan bergosip ria seperti keempat teman-teman yang duduk tepat disampingku. Berbaris membentuk horizontal. Mereka tidak seperti Aku yang sedang menahan kantuk sambil bernostalgia ria dengan hatiku. Beberapa kali Aku menggangguk kaget karena sempat tertidur. Anehnya, mataku tertidur, tapi kepalaku terus saja berjalan membayangkan semua peristiwa minggu kemarin beserta perilaku tiba-tibaku yang meinggalkannya begitu saja setelah menggungkapkan pendapatku. 

Oh. Aku tidak mau membahas itu lagi. Lagipula mataku begitu berat untuk terus kubuka seperti ini. Apalagi ceramah panjang dosen yang tak hentinya itu benar-benar tidak bisa kucerna dengan baik walaupun suaranya terdengar jelas. 

Dan Aku masih ingat bahwa Aku ada janji untuk bertemu dengan Abang Dhillah sore ini tepat di warung nasi padang yang dulu pernah menjadi tempat bersejarah dalam hidupku. 

Lebih baik Aku tidur. 

############## 

Mulutku masih menguap setelah keluar dari kelas Retorika. Aku masih mengantuk. Apa karena semalam Aku sempat bergadang untuk mengerjakan tugas? Makanya Aku bisa merasakan kantuk yang berlebihan ini? Tapi, saat shalat shubuh Aku tidak merasakan kantuk ini. Sungguh. 

Saat ini, setelah keluar kelas Retorika, Aku bersama keempat sahabat-sahabatku berjalan menuju gerbang kampus. Aku untuk menemui Abangku. Dan mereka untuk pulang. Karena sudah habis kelas dan tidak ada kelas tambahan ataupun kelas yang tiba-tiba dipindah jadwalnya. Kuharap pun tidak akan ada perpindahan jadwal untuk hari ini. Aku begitu ingin cepat sampai di kosan lalu merebahkan badanku yang diperintah otakku untuk tidur. 

"Oya, Utet. Gimana keputusan kamu yang waktu itu?" kudengar suara Kak Ross menyelipkan namaku sebelum mengeluarkan pertanyaannya. 

Aku menoleh menatap wajah Kak Ross. Aku ingin menjawabnya langsung, tapi mulutku mengatakan untuk menunggunya setelah Aku menguap lebar. Aku merasa ujung kedua mataku basah oleh air dari mata. Mungkin akibat Aku mengantuk hebat. Dan Aku tidak tahu alasan yang lebih teoritisnya mengenai menguap bisa mengeluarkan air matanya. 

"Hushh!!! Ditutup atuh Tet kalo nguap tuh." 

Refleks Aku menutup mulutku saat Senja mengingatkanku. Aku lupa menutupnya saat menguap. Aduh, kemana sopan santunku yang kubanggakan?? Ya Allah, kenapa Aku tiba-tiba bisa melupakan-Mu seperti ini? Astaghfirullahaladziim. 

"Iya Ih. Udah mah nguapnya depan muka Kak Ross banget lagi. Ga sopan." Oh. Si Widi mulai lagi. Tapi maaf Widi, Aku sedang tidak mood untuk memulai pertengkaran kecil denganmu. 

"Ya, Ya, Ya. Maaf. Aku lupa tadi." kataku dengan nada yang kurasa lesu. Mengingat Aku masih merasa mengantuk dengan sangat. Dan Aku hanya meng-iyakan segala apa yang dikatakan Widi. 

Hari ini Aku benar-benar ingin secepatnya sampai di kosan lalu terjun langsung ke dunia kasur. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus berjalan untuk menuju tujuan yang kuinginkan. Semuanya butuh proses bukan? 

Kulanjutkan langkahku yang sempat terhenti karena insiden menguap sembaranganku. Saat itu pula kudengar dengusan keras juga helaan nafas yang cukup lemah namun tetap dapat kudengar. Aku menoleh. 

Kulihat yang mendengus keras itu ternyata Widi. Dan yang menghela nafas itu ternyata Kak Ross. Muncul pertanyaan dalam kepalaku. Apa yang membuat mereka melakukan hal tadi? 

"Kenapa?" kuabaikan wajah malas Senja yang berdiri disamping Shiro yang berdiri tepat disamping Widi dan tepat didepan antara Widi dan Shiro berdiri Kak Ross. 

Empat pasang mata itu menatapku dengan tajam. Dan membuatku bertanya, apakah Aku ada salah dengan mereka? Tapi seingatku, Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Lagipula keinginanku sekarang ini hanya satu. Ya, tidur itu. Aku ingin segera terlelap diatas kasur tercintaku. Jadi, Aku sama sekali tidak ada rencana untuk membuat mereka kesal. Jadi (lagi), apa salahku? 

"Bisa kamu bangun, Tet?" Senja yang bertanya aneh padaku. Bangun kenapa? Aku kan tidak jatuh sama sekali? Bahkan Ia melihat jelas bahwa Aku masih berdiri tegap walaupun sekali-kali mulutku menguap bebas. Juga setelah itu, mengusap ujung kedua mataku. Aku benar-benar mengantuk sore ini. 

"Aku ga jatoh kok Nja." jawabku dengan jujur. 

"Maksud Aku, bisa ga kamu bangun dari tidur kamu?" 

"Aku ga tidur kok Nja. Kalo Aku tidur, ga mungkin Aku bisa selamat tidur sambil jalan sampe sini." Aku tidak mengerti kenapa si Senja berubah jadi seorang perempuan bodoh tak berotak. Bukannya Aku mau menghina Senja. Tapi, semua orang juga tahu, kalau tidur sambil jalan dengan jarak yang cukup jauh itu tidak akan selamat. Apalagi mengingat jalan setapak kampus itu banyak gorong-gorong. Ya, mirip seperti drainase yang ada di sekitaran jalan raya itu. Juga jalan setapak itu terdiri dari paving block yang dijejerkan dengan rapi. Apalagi mengingat masih ada celah dari susunan paving block itu pasti orang yang tidur sambil berjalan akan masuk kategori mustahil untuk tidak jatuh saat berjalan diatas jalan setapak dari paving block itu. 

"Emang ga tidur secara mata kamu yang merem. Tapi tidur secara keadaan mental kamu yang ngantuk pake banget itu. Jadi wajar dong kalo Aku minta kamu bangun." 

Kulihat tatapan tajam serta kesal yang Senja layangkan padaku. 

"Yasudahlah Aku minta maaf. Aku bangun ni,,"Ujarku diikuti dengan mulutku yang menguap seakan berkata 'cepatlah, Aku ngantuk berat'. 

"Tuh, tuh, tuh,, kamu masih aja ngantuk." 

"Ya wajar dong Nja,, udah deh. Aku pengen cepet nyampe kosan." 

"Tuuh kaaan,, dia malah mau balik cepet ke kosan." kudengar gerutuan yang sangat jelas di telingaku. Dan gerutuan itu berasal dari suara Shiro yang sedari tadi terdiam tanpa mau bersusah payah berkomentar melihat pertengkaran kecil antara Aku dan Senja. 

"Lho? Emang kenapa kalau Aku mau pulang ke kosan??" Aku tetap berusaha sabar dengan apa yang terjadi hari ini tepatnya saat ini. Apa yang salah jika Aku pulang ke kosan? Lagipula Aku tidak pulang ke kosan milik orang lain. Jadi seharusnya tidak masalah kan? 

Tapi tunggu, rasanya ada yang terlewatkan deh. 

"Pulang lagi. Jawab dulu pertanyaan Kak Ross!" suara ketus Widi mulai terdengar oleh telingaku. Aku heran dengan Widi ini. Ada apa yang terjadi dengannya sih sampai harus seketus itu saat berbicara padaku? 

Tunggu. Pertanyaan? 

"Pertanyaan apa?" Tanyaku tanpa salah. Lagipula Aku benar-benar tidak tahu pertanyaan apa yang ditanyakan Kak Ross tadi mungkin atau sebelum kami jalan pulang mungkin. 

"Huufft! Kamu. Sama. Fian. Gimana??" sepertinya Kak Ross benar-benar dalam keadaan yang tidak bagus. Buktinya tadi Kak Ross bertanya dengan menekan satu kata-satu kata kalimat pertanyaannya. 

Jadi, tadi Kak Ross bertanya mengenai kejadian minggu lalu? Aku mengerti. Aku menguap dulu sebelum menjawab pertanyaannya. Tanpa Aku lupa untuk menutup mulutku yang membuka lebar karena menguap. 

"Awas tuh, kalo lu lupa gara-gara abis nguap kayak tadi." Senja mengingatkan Aku akan pertengkaran kecil tadi yang dikarenakan Aku lupa menutup mulutku saat menguap. 

Aku memfokuskan pikiranku dan menatap mata mereka dengan santai. Aku sedang tidak ingin bercerita panjang. Mengingat mataku begitu mengantuk dan memaksaku untuk cepat sampai di kosan. 

"Aku nerima dia" 

Aku menguap kembali. Dan tak kudengar satupun respon dari jawabanku. Mungkin mereka sudah tahu jawabanku. Jadi tidak terlalu kaget saat mendengarkan jawabanku. Lebih baik, Aku kembali jalan. 

"Parah lu Tet. Ditungguin buat cerita selama seminggu ini, eh pas cerita cuma begitu? Emang parah ya lu." ujaran Senja yang begitu kesal membuatku langkah kaki yang baru saja hendak Aku langkahkan terhenti bahkan sebelum Aku melangkah. 

"Mau gimana lagi? Cuma gitu doang kok." 

"Maksudnya gitu Tet. Kita-kita ini udah nungguin semenjak seminggu terakhir waktu kamu ngomong sama Fian. Awalnya kita nunggu kamu aja yang cerita. Tapi udah semingguan, kamu ga cerita. Ya terpaksa kita yang maksa." ungkap Shiro. "Sorry, sorry aja kalo kamu males cerita. Tapi kita-kita ga bisa diam sebelum kamu cerita semuanya." 

Aku aneh. Maksudnya Aku merasa aneh. Tadi mereka memintaku bercerita. Saat Aku selesai bercerita, mereka mengeluh. 

"Tapi emang begitu ceritanya kok. Aku nerima dia. Udah." kataku lagi berusaha meyakinkan mereka bahwa memang seperti itu adanya. 

"Maksud kita-kita itu, kronologisnya seperti apa? Kamu kan cukup lama berdua ngobrol. Masa cuma gitu doang?" 

"Nja, Aku cuma ngomong itu doang. Udah. Selebihnya ya dia yang ngomong kalo dia itu bla bla bla,," ungkapku tanpa mau mempraktekkan perkataan Fian minggu kemarin. 

Apalagi kalimatnya yang panjang itu. 

"Niatku untuk menjadikan kamu sebagai istriku hanya satu. Membangun rumah tangga yang diridhai Allah. Karena Aku yakin, jika niatku benar-benar ikhlas untuk itu, Allah akan membimbing rumah tanggaku menuju rumah tangga yang sakinah, mawwadah, dan warahmah. Hanya itu. Tidak kuutamakan perasaan pribadi untuk memulai rumah tangga. Aku hanya butuh rasa saling bertanggung jawab dan rasa saling menghormati untuk memulainya. Juga berusaha untuk menjadikan keluargaku senyaman mungkin agar bisa menjadi rumah untuk pulang. Kalau kita saling hormat menghormati, saling menghargai, saling menyempurnakan, dan saling mengingatkan akan kesalahan yang kita buat, juga menjadikan rumah penuh cahaya iman, mungkin kita bisa berkumpul kembali di syurga. Aku ingin bidadariku di syurga nanti tetap istriku, bukan yang lain. Hanya itu." 
Ya. Kalimatnya yang itu. Kalimat yang berhasil membuatku benar-benar mantap untuk menerimanya. Karena Aku yakin. Tidak dibutuhkan 'cinta' untuk menerima satu lamaran. Yang dibutuhkan adalah kemantapan hati. Bahwa kita bisa menjalani kehidupan rumah tangga nanti hingga ke kehidupan yang selanjutnya. 

Yang dibutuhkan itu hanyalah ridho orang tua dan ridho Allah. Mengingat Dia adalah Tuhanku. Hanya itu. Tidak ada yang lain. Karena saat Allah tidak meridhoi sebuah pernikahan, walaupun hubungan itu dilimpahi cinta dan kasih dari keduanya, maka hubungan itu tidak akan berhasil. Cepat atau lambat, hubungan itu akan hancur. Karena Aku yakin, saat 'sakinah' tercapai olehku, maka 'mawaddah' dan 'warrahmah' akan menyertai. Aku percaya Allah akan memberikan yang terbaik untukku. 

"Yaaach,, ngelamun deh dia. Kayaknya emang beneran ada kejadian yang istimewa sampe si Utet jadi ngelamun sambil senyum begini,," celetukan asal kudengar setelah kurasakan tepukan ringan di pundak kananku. 

"Ngantuknya juga udah ilang tuh kayaknya, Nja." 

Kutatap tajam Widi yang mengatakan kalimat itu. 

Ah ya. Sepertinya rasa kantukku sudah hilang. Entah kemana hilangnya. Yang jelas ada rasa senang di hatiku saat tanpa sengaja Aku mengingat kembali peristiwa minggu kemarin. Dan Aku juga mengingat dengan jelas bagaimana sakitnya dadaku seperti ada yang memukulnya saat mendengar kalimat panjang Fian itu. Tapi Aku tak perlu memikirkan hal itu untuk sekarang ini. 

"Tuh, dia ga denger lagi apa yang kita omongin tadi." 

Aku kembali pada dunia nyataku. 

Aku meringis mendengar kata-kata Widi yang cukup menyindirku. Aku menelan ludahku dengan susah payah. 

"Maaf. Maaf." pintaku pada mereka. 

"Jadi?" 

"Jadi?" ulangku mendengar kalimat Tanya dari Widi. 

"Jadi? Apa yang buat kamu ngelamun, Utet?" 

Oh? 

Oh? 

Aku tidak mau menceritakannya. Itu memalukan bagiku. Tidak mungkin Aku mau memberitahu mereka kalimat itu. Betapa mengagumkannya Fian dengan tujuannya yang tulus. Dan itu membuatku meleleh. Tidak mungkin Aku mau menceritakannya. 

"Kak Ross??" kutatap mata Kak Ross meminta bantuan. Tapi orang yang kutatap hanya menaikan alis kirinya sambil bertanya "apa?" padaku. Oh. Kak Ross berpura-pura tidak mengerti sinyalku. Aku tidak mungkin mempermalukan diriku sendiri. 

Getaran yang cukup kuat kurasakan dari saku kanan rok panjangku. Cukup membuatku terperanjat kaget dan merogoh saku kanan rok panjangku. Berterimakasih dengan sangat besar pada my life-saver. mungkin jika Ia perempuan, Aku akan memeluknya sekarang juga. Karena telah menyelamatkanku dari penjelasan memalukan yang akan Aku ceritakan. 

Abang Dhillah F 

Abang Dhillah menelpon!! Yeay!! Aku tetap bisa memeluknya jika itu abangku sendiri. 

Ah? Aku ingat kalau hari ini Aku punya janji untuk bertemu dengan Abang di warung nasi padang depan kampusku. 

Kutekan tombol jawab. 

"Assalamu'alaikum, Abang?" 

"Waalaikumsalam. Kamu dimana sih? Abang udah nunggu setengah jam nih." 

Kudengar jelas nada kesalnya. Aku yakin dahinya sekarang memiliki beberapa kerutan khasnya kalau sedang kesal. 

"Iya. Maaf. Bentar lagi Utet sampe deh. Lagi di jalan mau kesana kok. Sabar ya Abang,," kataku tanpa mengahpuskan senyum senangku antara sudah diselamatkan akan cerita yang akan mempermalukanku dan ingat wajah kesal Abang Dhillah. 

"Yaudah. Cepetan ya. Wasalamu'alaikum." 

"Wa'alaikumsalam." telepon terputus. Saatnya berpamitan. 

Kulihat keempat sahabatku yang masih setia menatapku. Kukeluarkan wajah menyesal yang paling menyesal milikku. 

"Aku minta maaf. Nanti kapan-kapan Aku cerita deh. Sekarang Aku harus ketemu Abang Dhillah dulu nih di warung nasi padang depan Kampus. Maaf yaa,,," Aku terdiam masih dengan wajah menyesalku sambil menunggu respon dari keempat sahabatku yang kini tengah berdiskusi apakah mereka mengijinkan Aku untuk lepas atau tidak hari ini. Kulihat beberapa kali wajah tidak setuju dari wajah Widi. Kenapa dia kayaknya penasaran banget dengan ceritaku? 

Tapi,, 

"Yaudahlah ya,, bisa lain waktu. Awas lho,, nanti cerita detailnya." kata Senja dengan wajah lesu yang langsung tertutupi dengan wajah mengancamnya. 

"Ya. Iya. Aku janji bakal cerita." OH, Ya Allah, Aku tidak berbohong. Aku akan menceritakannya setelah Aku resmi jadi istri Fian. Lho? Kenapa Aku jadi seakan mengharapkan Fian ya? 

Ah lupakan. Lupakan. 

"Yaudah. See you tomorrow. Bye bye." Aku berjalan melangkah meninggalkan mereka yang kupastikan akan langsung pulang. 

Dengan semangat Aku berjalan untuk bertemu Abang Dhillah yang jarang sangat Aku temui. Mengingat Abang Dhillah memiliki sejuta kegiatan. Entah karena dosennya yang meminta untuk mengurusi project baru ataupun project milik Abang Dhillah sendiri. Kadang Aku juga merasa aneh dengan Abang. Aku tahu, sangat tahu, kalau dia masuk jurusan Agroteknologi prodi perkebunan. Tapi entah mengapa, Ia memiliki seribu urusan bisnis. Entah bisnis sendiri, entah bisnis dengan beberapa mitranya. Yang jelas dompetnya selalu tebal. 

Okay lupakan kalimatku diatas. 

Sesampainya di warung nasi padang depan kampus, Aku langsung masuk dan mencari wajah Abang Dhillah diantara semua pengunjung. Dan kudapati Abang yang duduk di pojok ruangan dengan piring kotor yang sepertinya Abang baru habis makan. 

Tapi ada yang aneh. 

Kenapa wajahnya begitu menakutkan? Wajahnya yang menahan amarah. Kenapa Abang perlihatkan disini? Saat akan bertemu denganku? Atau Aku punya salah yang lebih besar dari telat datangnya Aku? 

Ada apa?? 

################ 

0 komentar:

Posting Komentar