Rss

Senin, 21 Juli 2014

Hujan Di Bulan Januari I: Reality

Gelap malam terlihat begitu kejam. Gelap kelam di saat hujan seperti inilah yang selalu memperlihatkan kejamnya malam dengan warna hitam kelamnya. Seakan memperlihatkan bahwa musim hujan hanya datang untuk membawa kepahitan dalam hidup. Terkadang hanya melihat hitamnya kelam malam, dapat membuatku enggan untuk melihat dan menatapnya indahnya bintang gemintang yang biasa aku lihat di gelapnya malam langit Bandung. Namun, saat aku berada di kota ini, terkadang ketika aku pulang mataku tak dapat melihat indahnya bintang gemintang itu. Karena kota ini, sering diguyur hujan walau bukan di musimnya.

            Saat hendak menutup jendela, tangan-tangan angin lembut menyapa wajahku. Terasa sejuk dengan kenyamanan yang tak dapat di lukiskan. Malam ini adalah malam kedua setelah aku menginjakkan kembali kakiku di tanah kelahiranku. Dan belum lama ini juga aku mulai merasakan helaian-helaian tangan angin yang ramah menyapa kulit wajahku ketika aku menghadap jendela. Kaca 3 inchi ini tak cukup untuk menahan angin masuk. Dengan ketebalan itu, angin selalu dapat masuk. Dan itu juga dapat membuatku merasakan nyamannya angin malam. Walau terkadang angin terasa lebih dingin dari biasanya karena musim hujan tengah menghampiri di bulan ini.

            Kututup tirai jendela dengan sempurna setelah jendela tertutup. Aku melangkah keluar dari kamar untuk dapat berkumpul bersama adik terkecilku yang tengah seru menonton film spongebob squerpants di ruang keluarga. Terkadang dia tertawa saat melihat tingkah pattrick yang lucu, dan aku hanya tersenyum melihatnya sambil membelai rambutnya yang pendek dan tipis. Tak sengaja pula aku menatap tangan kiriku.Terdapat sebuah cincin yang tersematkan di sana tepat di jari manisku. Cincin perak yang selalu mengingatkan aku pada sebuah janji yang tak pernah dapat ditepatinya. Seseorang yang telah menyematkan cincin itu.

Hufft.

            Cukup. Aku tak perlu untuk mengingat kembali masa 2 tahun yang lalu itu. Cukup hanya menjadi sebuah kenangan kecil yang ketika aku ingat, aku cukup tersenyum tanpa harus ku reka ulang kembali cerita lama. Karena itu hanyalah kenangan kecil yang ku buat bersama seseorang di masa lalu. Hanya masa lalu.

            “Na,,, “ sebuah suara memanggilku. Berhasil membuatku kehilangan lamunan kecil di malam hari ini. Mama memanggil namaku.

            “Ya, Ma?” tanyaku begitu panggilan Mama selesai.

            “Shani pengen martabak spesial katanya. Bisa beliin ga?”

            “Martabak spesial?”

            “Itu lho, martabak yang suka jualan di deket alun-alun. Bisa ga?”

            “Oh, martabak yang dulu Ayah suka beli itu bukan?” aku mengelus kepalaku yang tak gatal. Padahal aku selalu pulang di setiap liburan. Tapi aku selalu saja melupakan hal kecil yang sebenarnya penting. Dan salah satunya ini. Kebiasaan adikku yang suka makan martabak manis spesial.

            “Iya. Tolong yaa,,” ujar Mama sambil mendekatiku dan memberikan selembar uang berwarna biru dengan angka 50 disertai angka nol-nya tiga.

            Setelah mengangguk aku mengambil kunci motor. Dan berjalan menuju garasi untuk membawa motor itu keluar dari ruang garasi. Perjalanan menuju alun-alun itu jaraknya cukup jauh. Jadi, aku tidak berusaha untuk mempercepat jalannya motor. Aku berusaha untuk santai danmerasakan dinginnya angin malam. Namun dinginnya malam tidak senyaman yang aku bayangkan. Dan sialnya aku sama sekali tidak ingat untuk mempertebal pakaian yang ku pakai. Tubuhku hanya di balut oleh sehelai baju T-shirt pendek dan celana panjang. Dan itu jelas membuat tubuhku kedinginan. Solusinya aku tidakakan mempercepat perjalananku lebih dari ini.

            Walau lambat namun tetap sampai pada tujuan dengan selamat. Dan benar saja, yang berjualan martabak spesial kesukaan adikku tidak pernah pindah walaupun hanya satu meter. Tetap pada wilayahnya yang lama.

            Setelah memarkirkan di jarak yang bisa ku jangkau dan dapat ku lihat dengan bebas, aku memesan satu paket martabak spesial dengan taburan coklat juga keju di atasnya. Lalu duduk menunggu pesananku selesai. Melihat banyaknya pelanggan yang datang, kurasa itu tidak mungkin dalam waktu yang singkat. Jadi ku coba untuk menyamankan diri ini duduk di atas motor yang kuparkir tak jauh dari tempat martabak.

            Ku lihat suasana malam alun-alun yang jarang sekali aku singgahi semenjak aku kuliah di Bandung. Karena semenjak itu pula, aku lebih sering mengurung diriku di dalam rumah. Apalagi jika rumah kosong, aku akan mengurung diriku di dalam kamar dengan bertatap wajah langsung dengan notebook kesayanganku. Aku lebih suka berselancar di dunia teknologi dengan tangan yang selalu bermain di atas keyboard daripada bermain di jalanan bersama orang yang tak terlalu aku kenal. Karena yang aku tahu, teman-teman sebayaku pun pergi merantau ke kota lain untuk mencari pendidikan yang baik. Apalagi setelah kejadian di saat dia membuat janji yang belum pernah ia tepati,aku semakin malas untuk keluar seperti ini. Aku malas berinteraksi dengan orang lain lagi.

            Kuamati langit malam ini. Bulan sama sekali tidak menampakkan wajahnya. Bintang pun melakukan hal yang sama. Jadi, kelamnya malam ini membuatku takut. Apalagi saat kulihat kilatan petir disertai suara gemuruhnya. Aku yakin, malam ini, hujan pasti akan turun. Aku berdo’a agar hujan tak turun saat aku sebenarnya belum sampai di rumah dengan selamat. Hari ini aku malas untuk berbasah-basahan. Walau aku tak marah bila hujan turun. Tapi aku tak mau tubuhku basah oleh hujan. Apalagi dengan udara yang sedingin dan pakaian yang setipis ini. Aku tidak mau itu terjadi. 

            “Ah!,,” setitik air jatuh tepat dipipi kananku.

            Ku tengadahkan kepalaku. Saat itu juga titik demi titik air jatuh mengguyur wajahku, kepalaku, dan tubuhku. Gerimis malam mulai turun. Sepertinya tuhan tidak mendengarkan do’aku. Atau karena aku hanya meminta lewat hati kecilku? Padahal aku tahu tuhan pasti mendengar sekecil apapun suara itu. Aku memang bodoh.

            Ku pindahkan letak motorku ke sebuah warung yang tidak jauh jaraknya dari tempat dimana aku membeli martabak. Aku tidak bisa berteduh di tenda yang sama. Karena tenda itu telah di penuhi oleh pelanggan yang juga berniat membeli martabak yang terlanjur terkenal didaerahku. Aku berteduh tepat di samping motor kesayanganku. Dengan mata yang tetap melihat tertuju pada tenda martabak itu. Aku tidak mau ketinggalan pesananku. Dan karena itu juga, sebelum aku benar-benar memindahkan letak motorku, aku menyempatkan diri untuk mengatakan bahwa aku akan berteduh didepan warung ini.

            Mataku tetap ingin berkeliaran menatap bangunan lain selain tenda martabak. Menatap bangunan kantor kecamatan yang keadaannya sudah berubah dari waktu 2 tahun yang lalu. Aku baru ingat bahwa aku tidak pernah lagi memperhatikan hal kecil seperti ini. Padahal hal kecil ini dapat kujadikan referensi kecil saat aku akan menarikan kedua tanganku di sebuah notebook kesayangan. Tepat di sebelahnya adalah gedung bangunan sekolah SMA yang dulu menjadi tempat aku belajar. Memikirkan gedung sekolah SMA ini, aku teringat dengan berbagai kenangan yang ku buat dengan dia.Di ruang kelas, di ruang UKS saat aku dengan dia berusaha untuk membolos karena mata pelajarannya yang tidak mengasyikkan bagiku, ruang perpustakaan saat kami berusaha mencuri keadaan sunyi untuk saling tatap menatap dan merencanakan waktu kosong yang akan di pakai. Dan juga ruang-ruang lainnya. Namun, gerbang sekolah juga menjadi saksi bisu kepahitan dan kesedihan yang terjadi didepannya. Dimana dia memutuskan untuk meninggalkan aku setelah setengah tahun kami melakukan hubungan jarak jauh.

            Dengan ingatan itu, aku kembali mereka ulang kenangan pahit yang sebenarnya ingin kuhapus. Tapi kenangan pahit itu selalu di iringi oleh kenangan manis yang pernah terjalin di benak ini.
***

0 komentar:

Posting Komentar