Rss

Senin, 21 Juli 2014

Part 8: The Decision

Langit begitu cerah. Ya, masih cerah seperti yang kukatakan sampai mungkin bisa membuat orang malas untuk keluar rumah dan bermain. Tapi tidak untukku saat ini. Karena saat ini, di jam setengah 11 ini, aku sudah berada di lokasi pertandingan voli. Bahkan masih di lokasi walau tadi sahabat-sahabatku telah pergi dari sini. Dengan alasan 'untuk apa bertahan di lokasi kalau niat awalnya buat lihat Utet main, tapi ga jadi main'. Begitulah. Dan karena satu alasan yang cukup pribadi, kuminta mereka pergi lebih dahulu. Meninggalkan aku, agar aku bisa menyusul mereka setelah keperluanku sekarang selesai. Mengingat aku begitu ingin menyelesaikan masalah yang kemarin-kemarin mencekik leherku. Dengan menemui Fian dan menyelesaikan semua masalah ini. Agar aku terbebas tanpa masalah lagi. 


Aku kembali duduk ditempat awal aku duduk sebelum aku tadi pergi dan duduk bersama sahabat-sahabatku. Ya, aku duduk disamping Fian. Jelas berbeda 2 bangku denganku. 

"Aku sudah tidak peduli apakah kamu setuju atau tidak sekarang ini. Yang penting aku sudah menggenggam 2 persetujuan dari Abang-Abang kamu. Walau Kak Minhaj sama sekali ga ngasih izin." aku mendengarkan kalimat itu tepat setelah aku duduk. Bahkan aku belum melihat kearahnya dan mengatakan keputusanku. 


Kak Minhaj maksudnya adalah Abang terakhirku yang biasa aku panggil dengan sebutan Abang Dhillah.

"Dan Insya Allah, minggu depan aku akan pergi ke Malingping untuk meminta izin dari Ayah kamu." 

Aku menghembuskan nafasku. Entah itu nafas lega atau malah nafas yang menandakan aku berusaha tegar dan tidak terlihat tegang. Aku tidak tahu. Karena menurutku yang terpenting sekarang adalah bagaimana aku bisa mengatakan keputusanku. Jika aku mengatakannya sekarang, aku rasa itu bukan waktu yang tepat. Mengingat Fian baru mengatakan rencananya. Bukan menanyakan keputusanku. Okay. Tunggu waktu yang tepat, Utet. Jangan asal bicara. 

"Karena entah kenapa, hatiku yakin, kamu akan menyetujuinya nanti diakhir, Utet. Aku berharap itu benar-benar terjadi." aku menoleh dan melirik Fian yang kutangkap diapun sedang menatapku dengan,, harap?. Aku tidak tahu tatapan itu. Yang jelas ada perasaan aneh saat aku melihat tatapannya. Tapi aku tidak tahu pasti arti tatapan itu. 

Mataku kembali lurus menatap pertandingan antara anak laki-laki semester 6 melawan anak laki-laki semester 8. Aku tidak mau menatap mata Fian lebih lama. Karena aku tidak mau memberikan harapan yang belum pasti seperti ini. Itu terlalu sakit sepertinya jika aku memberikan harapan tidak pasti. 

Bukannya aku berniat untuk menolak niat baik Fian. Maksudku, dengan keadaan fisik Fian yang begitu menonjol. Wajahnya yang kurasa tampan yang dikelilingi aura dewasa yang menguar kemana-mana. Lalu, kegigihannya dalam menyakinkan aku, dan beberapa hal kecil lainnya yang kutahu. Tidak mungkin aku tidak menjatuhkan kata suka terhadap makhluk Allah yang masuk ranking 1 manusia beserta sikapnya yang ajaib ini. Apalagi sikap protektif seakan aku ini miliknya itu menjadi satu kelebihan bagiku namun menyebalkan. 

Well, aku belum juga jadi milik dia. Tapi dia bersikap seakan aku miliknya itu terasa sangat suck?? 

Bukankah seharusnya dia bisa menempatkan sikap yang dibutuhkan dibeberapa keadaan. Bukan di asal keadaan. Maksudku, dia bisa bersikap seperti bahkan diwajibkan, tapi itupun setelah aku benar-benar menjadi miliknya secara sah. Bukan hanya secara satu pihak. 

Okay. Mungkin ini waktu yang tepat untukku berhenti berbicara dengan diri sendiri dan membiarkan Fian berbicara dengan patung. Aku harus mengatakan keputusanku sebelum terlambat dan memperparah keadaan. 

Namun, entah mengapa, maksudku, Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku saat Aku menengok untuk mengatakan hasil keputusanku, Aku malah menggerakkan kepalaku lagi mengembalikan pandanganku ke semula. Maksudku, benarkah Aku telah memilih keputusan yang tepat, hingga Aku tidak berani untuk mengungkapkannya pada Fian sekarang juga? 

Aku menghembuskan nafas frustasiku sekarang. Berharap Fian tak melihat tingkahku ini. Aku tidak mau Fian tahu kalau Aku sangat memikirkan permintaannya? Atau persetujuan kami?? Yang jelas, Aku terlalu memikirkan kata-kata Fian dari awal. Merusak sistem kerja otakku sekarang ini. Walaupun kemarin Aku memikirkannya, tapi tidak serusak ini. Apalagi setelah yang dikatakan Ka Ros. Aku tidak mungkin tetap seperti ini. Dan tidak mungkin Aku tidak memikirkannya seremeh itu. 

Mulutku juga seakan tidak ingin mengatakannya. Berkali-kali Aku membuka mulutku tapi berkali-kali itu pula tidak ada kata bahkan suara dari mulutku kecuali helaan nafas yang terdengar cukup keras sepertinya. Dan parahnya, kenapa mataku malah fokus pada pertandingan voli antara semester 6 dan semester 8. Aku bahkan sekarang jadi lebih tahu bahwa pertandingan tengah seimbang. Yang jelas siapapun yang bisa merebut kemenangan di putaran ketiga inilah yang akan menang. Aku juga bahkan melihat jelas smash keras dari Kino, teman sekelasku. 

Oh My to the God. What happen to me?? Is there something wrong with me now?? 

Mana palu? Mana palu? Perlu pukulan cukup keras sepertinya pada kepalaku ini. Tapi mana? Aku tidak melihat apapun selain kursi penonton di sekelilingku. 

"Kamu kenapa?" 

Ow. Ada yang bertanyaku padaku sepertinya. Lebih tepatnya menanyakan kelakuan aneh yang baru saja kuakhiri saat mendengar pertanyaan itu. 

Aku mengangkat kepalaku dan menoleh pada Fian. Menempelkan senyuman standarku. 

Aku menggelengkan kepalaku untuk menjawab pertanyaannya. 

"Ada apa dengamu?" kulihat kerutan di dahinya. Aku tak menjawab pertanyaannya kali ini. 

Sepertinya Aku begitu aneh hari ini. Harus Aku hentikan keanehan yang kulakukan dari tadi. Seperti berbicara sendiri dengan hati dan otakku. Mencari palu untuk menghentikan prilaku anehku ini. Aku harus benar-benar berhenti sekarang juga. Sekarang juga. 

Dan Aku harus mengatakan keputusanku. Semoga keputusanku tidak salah. Aku bergantung pada-Mu, Allah. 

"Kamu tau, Utet?" 

Aku menoleh tepat saat Fian kembali bersuara. Dan kulihat matanya tepat tengah menatapku. Satu kata yang kurasakan. Kaget. Karena entah mengapa ada sesuatu yang aneh memukul dadaku. 

"Apa?" hilang sudah sifat yang dingin yang dari awal kucoba perlihatkan padanya. Aku seakan seekor kambing dicucuk yang mengangguk dan meng-iya-kan begitu saja. 

"Niatku untuk menjadikan kamu sebagai istriku hanya satu. Membangun rumah tangga yang diridhai Allah. Karena Aku yakin, jika niatku benar-benar ikhlas untuk itu, Allah akan membimbing rumah tanggaku menuju rumah tangga yang sakinah, mawwadah, dan warahmah. Hanya itu. Tidak kuutamakan perasaan pribadi untuk memulai rumah tangga. Aku hanya butuh rasa saling bertanggung jawab dan rasa saling menghormati untuk memulainya. Juga berusaha untuk menjadikan keluargaku senyaman mungkin agar bisa menjadi rumah untuk pulang. Kalau kita saling hormat menghormati, saling menghargai, saling menyempurnakan, dan saling mengingatkan akan kesalahan yang kita buat, juga menjadikan rumah penuh cahaya iman, mungkin kita bisa berkumpul kembali di syurga. Aku ingin bidadariku di syurga nanti tetap istriku, bukan yang lain. Hanya itu." Fian menambahkan senyum ikhlas yang sangat menawan diakhir kalimat panjangnya. Dan pukulan aneh di dadaku semakin kuat. Mulai terasa sangat sakit dadaku sekarang ini. 

Ini terlalu berbahaya. Aku harus memalingkan mataku sekarang juga. Ini sangat bahaya. Karena entah mengapa, dengan pendeskripsian keingina Fian yang begitu menggiurkan dan wajahnya yang begitu bercahaya seakan pendeskripsiannya itu terlihat jelas didalam otaknya. Hingga senyumannya semenarik itu. Semempesona itu. Se-amazing itu. Dan membuat dadaku sakit saat membayangkannya kembali. 

Mataku masih terpaku akan yang terlihat olehku. Aku tidak bisa memalingkannya. Seharusnya ini tidak bisa dibiarkan. Aku tidak bisa berbuat dosa hanya Karena Aku tidak bisa memalingkan wajahku. Tanganku. Aku bisa memakai tanganku untuk menutupi mataku. Tapi, mengapa seluruh tubuhku seakan lumpuh dengan tiba-tiba. Aku tidak bisa menggerakkan satu bagian tubuhku sekalipun. 

Saat sorak sorai pemberi semangat begitu jelas terdengar, Aku malah masih terpaku dengan pesona Fian. Kemana konsentrasi yang tadi tidak kuinginkan saat Aku ingin mengatakan keputusanku? Bukankah tadi Aku masih fokus pada pertandingan? Tapi mengapa sekarang Aku terfokus pada wajah Fian? 

"Kamu liat tadi? Itu tadi parah banget dong. Masa orang yang berdiri didepan net itu, yang tepat ditengah itu bisa tabrakan pas lagi loncat buat nge-smash bola dan orang dibelakangnya juga mau smash bolanya? Kan mereka punya wilayah masing-masing kan?" Fian tiba-tiba menoleh padaku. Dan saat itu juga, lumpuhku hilang. Alhamdulillah. Aku mengembalikan wajahku untuk melihat pertandingan. Semoga Fian tidak melihat sikap anehku tadi. 

Orang yang ditengah dan tepat didepan net itu kan disebut set upper atau tosser. Sedangkan yang dibelakangnya set upper itu disebut libero. Karena ucapan Fian barusan juga, Aku masih sempat lihat sang pemain yang tadi jadi set upper masih terduduk sambil meringis kesakitan memegang puncak kepalanya. Sepertinya Aku tahu persis seperti apa peristiwa tadi yang dikatakan Fian. 

Aku terkikik geli membayangkan peristiwa yang terjadi tadi. Dan sejenak Aku bisa melupakan peristiwa memalukan yang menimpaku sebelum Aku tahu peristiwa yang menimpa pemain voli di lapangan. Saat Aku menoleh kearah Fian, tak sengaja Aku melihat senyuman lembut Fian yang sepertinya ditujukan padaku. Sontak, segera Aku meluruhkan kikikan geli yang tadi kukeluarkan. Aku menunduk malu. 

"Kenapa?" tanyaku untuk memastikan apa yang membuatnya tersenyum sambil menatapku itu. 

"Tidak. Hanya berpikir, lebih baik kamu tersenyum atau tertawa seperti itu daripada bersikap dingin seperti biasanya." jawabnya. Entah dengan sadar atau tidak. Karena Fian masih menatapku dengan senyuman itu. 

Sedangkan Aku? Aku semakin menundukan wajahku menahan malu Karena Fian melihat perubahan sikapku yang biasanya dingin padanya. 

"O? Maaf. Maaf, Utet. Aku tidak bermaksud jelek dengan kata-kataku. Lupakan saja." sepertinya Fian baru tersadar dengan kata-katanya. Kalimatnya barusan membuktikan bahwa Ia tak percaya dengan kalimat yang Ia katakan sebelum ini. Tapi, kalimatnya kan sudah terucapkan dengan Aku yang mendengarkannya jelas. Aku tidak bisa begitu saja mengabaikannya. 

Dan kembali kudengar sorak sorai penonton yang mendukung pahlawan mereka. Pertandingan voli dimulai lagi walau tadi sempat ada insiden kecil. 

"Ehm,, Maafkan Aku, Utet. Aku hanya tidak ingin kamu bosan mendengarkan Aku yang selalu dan hanya membahas ini." kulihat ada sedikit rasa bersalah dimatanya saat mengatakan kalimat tadi. Tapi, Aku tidak merasa bosan dengan percakapan ini. Aku hanya kesal. Karena Aku tidak bisa lebih tegas lagi dalam menyatakan keputusanku. Aku terbayang rasa bersalah yang akan meneror kehidupanku dimasa mendatang. 

"Aku ingin menunjukkan padamu, bahwa Aku serius dengan keputusanku untuk menjadikan kamu istriku. Mungkin, Aku hanya mahasiswa semester 2 yang katanya masih labil atau sebagainya. Seperti kata Kak Minhaj, kalau Aku mungkin masih labil juga belum dewasa dan dia tidak bisa mempercayakan kamu kepadaku. Makanya dia menolak memberiku izin untuk menjadikan kamu sebagai istriku. Tapi Aku tidak bercanda saat Aku bilang kalau Aku benar-benar ingin membangun rumah tangga yang diridhai Allah. Kalau tentang dewasa atau tidaknya, itu kan tergantung keadaan. Lagipula dewasa atau tidaknya seseorang tidak bisa dijadikan tolak ukur seseorang sudah bisa menikah atau belum. Yang penting bagaimana dia bisa bertanggung jawab akan amanah yang akan diembannya. Karena pernikahan bukan permainan, bukan?" seperti biasa Fian menambahkan senyum yang sangat menawan itu diakhir kalimatnya. Aku tidak tahu alasan apa yang membuatnya semakin sering tersenyum padaku hari ini. Yang jelas, senyuman itu merusak sistem kerja otakku. Ada banyak bahan keputusanku yang kini dirombak dalam otakku. Seakan slide show dari Powerpoint kini selesai dengan mantap tanpa perlu perombakan ulang. Setelah tadi membutuhkan waktu 5 menit untuk memperbaiki bahan-bahan slide show yang salah. 

Kurasa sistem kerja otakku hari ini, bekerja dengan sedikit berbeda sepertinya. Dan alasannya Karena Muhammad Alvian Qusyairi?? 

"Kamu tahu, Utet? Kak Minhaj,," 

"Kamu tahu, Fian?? Aku akan tetap menerimamu walau Bang Dhillah tidak memberikan izin padamu." potongku sekaligus mengeluarkan keputusan mantapku dengan cepat dan tenang. 

Kulihat ada kilasan kaget yang tergambar dari raut wajah Fian saat mendengar kalimatku setelah diam berlama-lama didepannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Disaat itu juga kudengar teriakan bahagia Omon, diantara teriakan kemenangan untuk semester 6. 

Aku tersenyum tulus padanya. 

0 komentar:

Posting Komentar