Rss

Senin, 21 Juli 2014

Bab 7: Kiss On My Head

kecuali karena satu hal.
Abang berharap aku mengikuti apa yang Ia rasa baik untukku. Walau aku tak yakin apakah itu baik atau tidak. Tapi jika mengingat kejadian yang sama saat Abang Amal mengecup singkat dahiku, itu membuatku menjadi sedikit ragu akan keputusan yang akan aku buat. Aku akui, aku akan membuat keputusan tanpa harus membuatku berubah pikiran lagi. Karena aku benar-benar belum siap untuk menikah di usia yang sangat muda seperti ini. Aku memiliki target usia sendiri. Dan 19 bukanlah target usia menikah untukku.



Tapi,,
Apa yang harus aku lakukan setelah mendapatkan kecupan singkat di dahi dari Abang Amal? Aku pernah sekali mengabaikan kecupan itu. Dan aku mendapatkan hasil yang cukup buruk menurutku. Maksudku, bukannya aku mempercayai bahwa kecupan didahi dari Abang itu adalah satu hal yang harus kupercayai dapat memberikan kebaikan. Bukan itu. Tapi aku, hanya merasa bahwa Abang ingin memberikan yang terbaik untukku. Makanya Ia mengatakan hal itu dan memberikan kecupan karena Ia percaya bahwa aku bisa mengambil keputusan yang terbaik tanpa harus ada penyesalan. Hanya itu. Intinya Abang adalah yang terbaik untukku. Setelah Mama dan Ayah pastinya.

###############

Hari pertandingan voli akhirnya datang. Aku berjalan menuju lapangan voli yang khusus dipakai untuk perlombaan ini. Teman-teman kelasku juga datang memberi dukungan. Aku tersenyum melihat semangat mereka. Membuatku juga bertambah semangat untuk main. Kulihat juga 4 sahabatku duduk di bangku pendukung. Tidak ada yang istimewa dengan mereka.Tidak ada tulisan penyemangat seperti angkatan lain. Tidak ada sorak soraiseperti yang lainnya. Hanya lambaian tangan lalu mengepalkan tangan mereka seakan mengatakan 'semangat' kepada kami.

Saat ini, yang main adalah semester 6 lawan semester 2.

Mereka main dengan bagus. Kadang aku iri melihat permainan voli anak laki-laki. Bagus-bagus. Tidak seperti permainan anak perempuan. Tidak sebagus itu. Atau karena 'bagus' itu tergantung objeknya?

Mulai kudengar teriakan-teriakan bersemangat dari bangku penonton.Selain karena permainannya semakin seru, juga karena satu Tim semester 6 tertinggal angka di babak pertama. Jaraknya cukup jauh. 6-18. Tim semester 2 jauh mendahului.

Kudengar kalimat Coach Tim semester 6 saat time out.

"Biarkan mereka mengambil babak pertama. Untuk babak kedua dan ketiga, kita rebut angka telak. Okay??" Tanya Coach. Dan kulihat mereka menumpukkan tangan mereka bersama lalu berseru 'menang'.

Kaget. Sepertinya tidak ada kata lain selain 'menang' ya di teriakan tadi.

Aku masih duduk di bangku penonton saat babak kedua dimulai. Masih mengagumi betapa hebat mereka main. Dan betapa hebat Allah dalam memberikan kelebihan di setiap orang. Dengan kelebihan yang berbeda. Aku dengan kelebihanku. Mereka dengan kelebihan mereka.

"Kamu lebih baik jangan main, Utet." aku menoleh saat ada orang yang mengucapkan namaku.

Astaga! Itu Fian. Kenapa dia sampai ada disini?? Siapa yang memberitahunya?

Oh. Aku lupa. Dia selalu tahu segalanya tentangku. Aku kuliah dimana, dia tahu. Padahal dulu aku hanya bilang kalau aku seorang mahasiswi tanpa memberitahunya dimana aku kuliah. Jadi seharusnya aku sudah bisa memprediksikan bagaimana dia tahu. Dia mungkin seorang cenayang. Tapi aku tidak percaya dengan hal seperti itu.

"Aku sungguh-sungguh, Utet." aku tak mau menatapnya. Tak mau melihat wajahnya yang tampan itu bergaya cool. Dan tak pernah menghilang gaya itu.

Aku tetap memfokuskan mataku melihat pertandingan setelah melihat siapa yang tadi berbicara.

"Kalau kamu tetep maen, kamu harus loncat-loncat buat oper bola, terus kerudung kamu berkibar ngeliatin bagian yang harusnya kamu tutupi, terus yang liat ga cuma perempuan gini, aku ga mau. Aku ga mau calon istriku diliat bagian tertentu itu oleh laki-laki lain."

Aishh. Kata 'calon istri' itu kayaknya tidak perlu dikeluarkan deh. Tapi yang dia katakan sepenuhnya benar. Karena alasan itu juga yang selalu membuatku menghentikan niatku untuk ikut pertandingan seperti ini. Yang lihat bukan hanya perempuan. Jika aku berlari atau melompat, akibatnya kerudungku akan berkibar dan bagian yang memang kututupi malah terlihat.

"Mungkin, kalo kamu mainnya di dalem ruangan, terus yang main perempuan doang. yang hadir perempuan doang. Bakal aku bolehin kok."

Ish. Siapa yang perlu izinnya emang? Tapi kalau aku memang akan menjadi istrinya, aku perlu izinnya bukan? Tidak. Tidak. Aku tidak akan menjadi istrinya.

"Utet,,"

Biarkan.

"Utet,," sepertinya Ia mempunyai keperluan jika memanggil lebih dari satu kali.

"Hmmm,," jawabku dengan gumaman tanpa menoleh.

"Itu. Yang manggil temen kamu bukan??"

Aku refleks menatapnya sebentar, lalu pandanganku mengikuti arah yang Fian tuju. Teman? Itu keempat sahabatku. Dan aku tidak mendengarkan panggilan mereka itu? Kenapa aku jadi mendadak tuli seperti ini?

"Iya. Aku kesana dulu." kataku tanpa mendengarkan jawabannya. Lagipula aku tidak membutuhkan jawabannya.

Sambil menenteng tas ranselku, aku berjalan meninggalkan Fian. Biarkan saja dia disana. Lagipula siapa yang menyuruhnya untuk datang kesini. Bukan aku. Dan aku yakin, bukan teman-temanku juga. Karena mereka belum dan tidak akan pernah mengenal Fian.

Aku tersenyum saat melihat lambaian tangan Senja padaku meminta untuk berjalan lebih cepat. Aku duduk tepat diujung setelah Umi.

"Kalian dateng juga. Padahal minggu kemarin ga liat aku latihan." ujarku walau sedikit kecewa karena mereka tidak ada minggu lalu.

"Ga penting ah kalo itu mah. Lagian kan kita punya kesibukan juga." Senja memajukan bibirnya. "ngomong-ngomong tuh cowo cakep yang tadi duduk disamping kamu siapa?"

"Bukan duduk disamping ya, beda 2 bangku tau." bantahku saat mendengarnya.

"Yayaya, jadi? Siapa?"

"Siapa??" aku malas jika harus membahas tentang Fian. Jadi aku pura-pura tidak tahu. Nanti ujungnya aku alihkan topik utamanya. Gampang kan?

"Siapa?? Padahal tadi ngomong 'bukan duduk disamping, tapi beda duabangku tau'. Alesan aja kamu ini." Yang ini bukan Senja. Tapi Shiro yang bicara sambil mencoba menirukan suaraku. Dan itu terdengar lucu.

"Siapa?" aku menatap wajah Nja sebentar lalu mengalihkan mataku untuk menatap wajah Umi.

"Kemarin kemana Mi? Kok ga dateng pas latihan? Padahal aku nungguin lho,,"

"Kemarin?? Aku kemarin pergi ke Padalarang. Ada keperluan. Maaf ya.Lagian kan gantinya, aku dateng pas tanding. Si Widi juga bakal jadi anggota futsal tuh." info baru yang aku dengar.

"Iya Wid? Kamu main di futsal lagi?" kudengar gerutuan Senja dan Shiro saat aku tak menjawab pertanyaan mereka. Biarkan saja. Lagipula sepertinya aku lebih baik pulang.

"Yoo. Kenapa emang? Lu mau ikut? Kalo mau, mainnya nanti 2 hari lagi." dengan cuek Widi menjawab pertanyaanku.

"Oowh. Yaudah atuh, mending pulang yuk." ajakku pada mereka.

"Lho? Kenapa? Emang ga main?" Tanya Umi.

"Engga. Penontonnya bukan cuma perempuan. Tadi berubah pikiran. Kayaknya kalo mau main, nanti aja sewa gor buat main bareng. Ayo"

"Owh, kamu berubah pikiran gara-gara tadi bukan?"

"Tadi apa?" aku tidak mengerti arah penbicaraan Umi. Aku mengerutkan kening menanyakan detailnya.

"Itu si Fian-Fian itu bukan? Terus tadi dia ngedatangin kamu buat bilang jangan main gitu bukan?" okay. Aku diam dibuatnya. Harus jawab apa aku sekarang?.

"Oh!! Beneran Tet? Itu si Fian-Fian yang kata lu ganteng itu bukan??" aku mengalihkan mataku.

"Beneran?? Cakep banget laah,,"

"Inget Bebe kali Nja.." ingat Shiro pada Nja.

"Inget kok. Tenang aja, Bebe tetap yang Utama kok." belanya.

"Jadi, bakal ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya??" ini celetukkan Widi.

"Iiiish. Bukan. Maksudnya, ya wajarlah kalo ada cowo ganteng, terusaku bilang ganteng kan? Lagian emang nyatanya gitu juga. Jadi, walau banyak cowo ganteng. Yang terganteng tetep Bebe, keleus" Okay. Si Nja mulai lebay.

Aku mengirim BM ke Dede mengatakan bahwa aku mundur jadi anggota lomba pertandingan voli. Dengan alasan aku tidak mau melepaskan rokku jika main. Jadi aku lebih baik mundur. Lagipula ada banyak melebihi kapasitas yang jadi anggota voli ini. Jadi Dede tidak usah merasa ditinggalkan olehku.

"Ayok lah. Kita pulang." ajakku ulang. Tapi kulihat mata Umi bukan melihatku. Kuikuti arah matanya memandang.

OH MY to the GOD.

Umi melihat Fian. Dan ternyata Fian sedang melihat kearahku. Entah dengan pandangan yang seperti apa. Aku tidak terlalu tahu. Karena Fian lebih sering memperlihatkan raut wajah datarnya yang ganteng itu.

"Kenapa Mi?" tanyaku menanyakan keadaannya. Atau kebingungannya??

"Lebih baik kamu terima deh Tet, sekarang kamu datengin dia, terus bilang kamu mau jadi istrinya. Kasian dia itu. Maksudku, kamu pasti capek juga kalo diginiin. Lagian aku tau kok, kamu pasti punya jawabannya kan?" aku kaget mendengar penuturan Kak Ros. Maksudku, kalau dia tiba-tiba serius seperti ini jadi membuatku bingung. Aku tahu maksud perkataannya. Karena aku juga punya jawabanku sendiri setelah berulang kali shalat istikharah tiap malam. Dan selalu dengan jawaban yang sama. di mimpi pula. Mimpi yang selalu sama. Aku hanya belum siap.

"Tapi aku belum siap Mi.." kataku dengan nada terkecilku. Menandakan bahwa aku tidak berani untuk mengambil keputusan itu. "Apalagi dia juga kenal Abang Amal."

"Tuh kan? Dia kenal Abang kamu terus gimana reaksi Abang kamu?"

"Ya gitu. Dia seneng-seneng aja kalo aku nerima Fian. Tapi kan aku punya jawaban sendiri." dengan kesal kukeluarkan unek-unek yang kumiliki. Kenapa tidak ada yang memihakku? Aku belum siap untuk mengalami hal pernikahan ini. Aku masih 19 tahun. Masih butuh bimbingan bagaimana menghadapi masalah kehidupan biasaku. Apalagi masalah yang nanti akan ada didalam pernikahan. Bimbingan untuk menjalani kehidupan biasa aja aku kadang masih kurang apalagi pernikahan. Bahkan aku belum tahu tentang itu. Bagaimana aku harus menghadapi masalah pernikahan ini. Intinya aku belum siap.

"Kalo kamu punya jawaban sendiri, kenapa engga kamu bilangin sama Fian dari kemarin. Aku tahu, aku ga tahu bagaimana Fian. Tapi aku tahu bagaimana kerasnya dia saat memilih. Buktinya dia ke Bandung buat ngejemput calon istrinya. Berarti dia serius bukan? Jadi kalo kamu punya jawaban sendiri kenapa ga kamu sampain ke Fian sekarang juga? Biar dia ga nunggu kamu terlalu lama. Kan kalo kamu nolak, dia bisa cari yang lain." pendapat panjang Kak Ross membuat hatiku mencelos. Benar kata Kak Ros. Aku seperti orang yang tidak bisa tegas dengan pilihanku sendiri. Dan betapa jahatnya aku yang membiarkan Fian tetap seperti ini.

"Tapi,,"

"Kamu jahat kalo gini terus. kamu ga liat apa gimana baiknya dia sampe ngingetin kamu buat ga main voli didepan laki-laki? Berarti dia bener-bener mau ngejaga kamu. Kalo ini terus-terusan begini, dia baikin kamu, tapi kamunya juga begini aja. PHP-in dia. Kamu bakal jadi perempuan jahat." aku makin yakin untuk mengatakan keputusanku sekarang.

"Apa susahnya sih tinggal bilang 'Fian, aku mau deh jadi istri kamu' kalo kamu nerima. Ato bilang 'Fian, aku ga mau jadi istri kamu' kalo kamu ga mau. Gampang kan?"

Benar. Apa susahnya. Aku harus bilang hari ini juga. Tidak ada kata mundur.

"Okay, aku akan bilang hari ini juga. Sekarang juga."

Kulihat senyuman Kak Ros saat mendengar kata-kataku barusan. Mungkin dia bangga akhirnya aku berani mengambil keputusan berat ini. Sekali seumur hidup.

"Good." katanya juga sambil menepuk punggungku.

"Kalian pulang aja duluan. Aku nanti nyusul." kataku kepada keempat sahabatku.

"Mau kemana kamu?" Tanya Shiro.

"Mau nentuin hidup matinya dia. Biarin dia. Ayok. Kitapulang." Kak Ros menarik tangan mereka untuk pulang meninggalkan akusekarang. Karena aku yakin, jika masih ada mereka, aku pasti malah memilih pulang tanpa menuntaskan masalahku ini.

Aku melangkah mantap untuk menentukan nasibku kedepannya. Menghadapi Fian.

###########

0 komentar:

Posting Komentar