Rss

Senin, 21 Juli 2014

Part 5: Annoying

"Dia serius tuh kayaknya, Tet. Kenapa ga diterima aja sih?"

"Kenapa harus aku terima??"

Aku sempat kaget mendengar kalimatnya barusan. Tapi aku juga ingat, bahwa Widi itu orangnya kan kayak minyak yang suka ngelemparin diri ke api. Jadi tambah gede apinya.

"Tet, aku ga mungkin bilang gitu tanpa mikir. Maksud aku, bayangin aja. Ntar, aku Tanya, si Fian asli mana sih??"



"Jakarta katanya sih. Tapi ga tau. Bisa jadi kalo dia itu orang Bandung gitu."

"Untuk sementara kita ambil kesimpulan kalo si Fian anak Jakarta yang umurnya baru 18 taun dan nekat ke Bandung nyari orang yang namanya Utet." Widi menyimpulkan sendiri. Padahal Fian itu selain anak Jakarta yang berumur 18 tahun. Dia juga anak kuliahan yang baru semester 2. Aku tahu itu saat percakapan lanjutan setelah aku dan Fian bertemu di Omegle.com. Dan Fian berinisiatif untuk meneruskannya di email.

Dan ya. Sekarang aku bersama keempat sahabat-sahabatku duduk santai di salah satu Cafe yang berada tepat di depan Kampus. Aku juga aneh mengapa kami berlima bisa mampir di tempat ini. Apalagi Shiro juga duduk santai di samping Senja. Bukankah tadi dia yang bilang duluan untuk ngobrol sambil jalan karena dia takut ketinggalan bus?

"Itu, si Fian-Fian yang kamu bilang baru dewasa kemaren, dateng jauh-jauh dari Jakarta buat nemuin calon istrinya yang kata Fian sendiri udah nyetujuin permintaannya tapi kamu sendiri yang menganggap itu hanya lelucon belaka. Terus kamu juga tadi sempat bilang kalo si Fian juga bilang kalo sebelumnya, dia udah ketemu Sama beberapa perempuan tapi ga pernah seyakin waktu Sama kamu?. Bukankah itu jelas kalo dia emang beneran serius Sama kamu Tet." aku hanya diam menanggapi ucapan Widi.

"Dan gue juga yakin kalo si Fian itu serius ampe beratus-ratus rius." tanggap Senja yang dapet jitakan dari Widi. "Ishhh! Apa sih?? Gue aduin lho ke Bebe."

"Gue belon selese ngomong. Sok aduin sana. Bebe doang." cibir Widi sambil menantang Senja untuk mengadukan perbuatannya ke Kosma kelasku. Si Bebe, pacar Senja.

Kulihat Senja hanya cemberut sambil memanyunkan bibirnya yang entah mengapa membuatku ingin menarik itu bibirnya.

"Terus juga. Kalo misalkan niat awalnya dia cuma pengen liat elu dulu, terus kalo sesuai selera dia. Kata gue itu ga mungkin. Nginget kata lu si Fian ini ganteng. Gue rasa selera dia ga serendah itu." Cara ngomong Widi mulai berubah. Dia beneran ngajak berantem sekarang. Apalagi tadi, apa katanya? 'Gue rasa selera dia ga serendah itu'. Jadi maksudnya aku jelek gitu? Emang aku sejelek itu ya sampe Widi bilang kayak gitu.

"Jangan diladenin kalo yang ga enaknya Tet," bisik Umi yang berusaha membesarkan hatiku.

"iyalah. Ga salah kan gue. Jadi, kalo misalkan si Fian ga liat wujud yang kata lu dulu itu. Berarti dia emang serius kan ma lu? Jadi, kenapa ga lu terima aja?"

"Bukan gitu masalahnya Wid. Kalo misalkan Fian itu pilihan orangtua gue, ato Abang, mungkin bakal gue terima. Tapi ini lhoo. Dia itu Fian orang asing yang baru gue temuin tadi pagi dan baru kenal 2 minggu yang lalu. Masa dia segitu yakinnya Sama gue yang baru banget dia kenal? Dia ga tau sifat gue kayak gimana? Keluarga gue kayak gimana? Berapa banyak saudara gue? Dan yang paling gue takutin itu, gimana kalo misalnya ternyata bokap gue ga setuju karena si Fian terlalu muda dan bokap gue ga liat dia bisa ngehidupin gue? Gimana? Lagian gue juga pengen nyelesein kuliah dulu, kerja dulu. Sukses dulu gitu. Soalnya gue kalo nikah pengen fokus jadi Ibu rumah tangga." akhirnya aku keluarkan semua yang mengganjal dipikiranku semenjak Fian dengan nekat
mengajakku menikah.

"Ya, Tet, kalo bagian itu kan bisa nanti dipikirinnya. Sekarang kamunya gimana? Mau nerima ato engga. Dan alesan yang lebih pribadinya kayak gimana? Itu kan alesan kamu karena keluarga kamu. Maksudnya karena kamu mikirin keluarga kamu. Kalo misalnya keluarga kamu nerima gimana? Apa kamu masih mau nolak?" kutatap wajah Umi. Sepertinya Ia bisa tahu kalau aku menolak bukan hanya karena yang kusebut tadi. Tapi ada faktor lain.

"aku ga mau dibilang pedofil."kataku dengan suara kecil. Bahkan mirip bisikan. 

"Bukan itu." kompak Widi dan Umi menyanggah jawabanku.

Apakah aku harus mengakuinya kalau saat ini aku masih memikirkan perasaanku sendiri? Maksudku, aku masih memikirkan cinta. Aku tidak mencintai Fian. Itulah alasan terdalamku kenapa aku menolak Fian begitu saja. Ah, Allah maafkan aku. Aku telah melenceng sepertinya. Seharusnya menikah itu karena mencari ridha Allah. Untuk menyempurnakan separuh. SEPARUH. Agama. Siapa yang tidak tergiur coba kalau hanya dengan menikah, kita bisa menyempurnakan agama kita sendiri. Dan akupun begitu. Tapi, kata cinta selalu mengiang-ngiang dikepalaku semenjak Fian mengajakku menikah. Perasaan yang sama saat Tirta bilang Ia serius denganku dan mau mengajakku menikah. Akupun menolaknya dengan alasan yang sama. Ingin menyelesaikan kuliah dan sukses dulu.

"Kamu beneran mikir pengen ada cinta gitu?" tebakan tepat dari Umi. Aku mengangguk tanpa sadar.

"Beneran???"

"Eh?? Apa yang beneran?" aku malah bertanya.

"Kamu beneran berharap cinta??"

"Aa? Engga. Engga-engga kok."

"Kamu udah jawab barusan kalo itu bener Utet." aku meringis mendengar kalimat Shiro. Aku meliriknya sekilas yang tengah menatapku dengan senyuman, apa ya namanya? Misterius??

"Kamu yang suka bilang bukan ke Nja, kalo Cinta setelah menikah itu lebih indah?" aku menggigit bibirku. Tak tahukah Umi jika melakukan lebih susah daripada berbicara??

"Kamu ingat kalimat ini engga? Kalo cinta itu tumbuh karena terbiasa? Kenapa ga Coba dulu??" Umi berdiri dari duduknya lalu berjalan menuju kasir untuk membayar minuman kami yang dipesan saat masuk ke Cafe ini.

"Ayo pulang. Kamu juga Shiro. Nanti keabisan bus lhoo,," serentak semua berdiri. Shiro juga yang langsung menjawab ajakan Umi dengan cengiran.

"Lu ga mau pulang?"

"Pulang kok Wid." akupun juga berdiri. Tapi mengingat kalimat Umi, ada kata 'Coba aja dulu' bukan diakhirnya?

Emang menikah itu percobaan apa?

###########

Abang kemana sih???

Ditelpon dari tadi, tapi yang jawab malah operator yang kayaknya cantik tapi malah jawab kalau 'nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi'. Jadi pengen banting apa gitu biar hilang keselnya. Kalau yang dibanting HP, nanti aku terusin nelponnya pakai apa dong? Wartel? Udah tidak jaman bukan?

Maghrib baru masuk saat aku sampai di kosan dengan selamat. Karena aku jalan seperti biasa. Tenang. Walau pikiran tak tenang. Dan aku baru ingat kalau aku memiliki janji untuk menelpon Abang pada Mama tadi pagi. Yang akhirnya aku tepati setelah shalat maghrib.

Tapi,,, lihatlah jam. Sekarang sudah jam 8 malam semenjak aku menelponnya berulang kali yang tidak dijawab sama sekali. Aku harus bilang apa sama Mama kalu seperti ini?

Tiba-tiba HP yang masih digenggaman aku bergetar panjang. Tanda kalau ada yang menelpon. Tanpa pikir panjang, aku menekan tombol terima. 

"Hallo. Assalamu'alaikum?"

"Wa'alaikumsalam. Ada apa Tet??" itu suara Abang Dhillah! Alhamdulillah, ditelpon balik juga.

"Abang dimana?"

"Abang lagi dirumah temen. Kenapa?"

"Utet telpon kok, ga aktif-aktif sih?"

"Ga da sinyal disininya. Kenapa?"

"ditanyain Mama tuh. Diminum ga obatnya? Makannya rajin ga? Istirahat yang cukup ga?" aku ulangin daftar pertanyaan yang ingin Mama kemukakan tadi pagi.

"Iya. Iya. Diminum kok obatnya. Tadi juga Abang udah telpon Mama. Udah ya,," Abang berusaha mengakhiri sambungan ini. Dan entah darimana, aku berani bertanya pada Abang mengingat Abang memiliki banyak teman termasuk di Jakarta.

"Abang,,"

"Apa?"

"Abang kenal ga sama yang namanya Fian?"

"Fian?"

"iya. Fian. Muhammad Alvian Qusyairi. Kenal?" Abang terdiam tidak menjawab. Sepertinya Ia tengah berusaha mengingat-ingat siapa Fian-Fian ini?

"Anak Jakarta bukan?"

Tuh kan?

"Iya. Kenal?"

"Tanya Abang Amal deh. Kayaknya Abang Amal kenal tuh. Udah kan? Abang masih ada urusan ni. Assalamu'alaikum."

Terputus duluan.

"wa'alaikumsalam." jawabku walau sambungan sudah terputus dahulu.

Tanya Abang Amal?

Sudahlah. Biarkan. Aku membiarkan petunjuk mengenai Fian ini. Sepertinya tidak penting jika aku harus menyelidiki tentang Fian yang memang tidak kukenal ini.

#############

Entah mengapa setelah pertemuanku dengan Fian. Hidupku menjadi lebih indah dan nyaman. Karena tak ada lagi Fian-Fian yang menagih persetujuanku atas pemintaannya yang menginginkan aku menjadi istrinya. Dan itu sudah sebulan. Fian entah hilang kemana. Aku tak mengambil pusing kemana Ia menghilang. Karena itu tidak penting. Sangat sangat sangat tidak penting. Walau beribu-ribu kali, keempat sahabatku selalu menanyakan Fian hampir disetiap hariku. Sebenarnya apa yang istimewa dari Fian? Apalagi mereka yang tidak pernah melihat langsung Fian. Dan semua pertanyaan mereka selalu kujawab dengan 'aku tidak tahu'. Aku memang tidak tahu bukan? Aku tidak bohong.

Dan seminggu lagi, ada acara Aniv Jurusan yang diselenggarakan oleh BEM-J. Yang diawali dengn Pekan Olahraga. perlombaan olahraga mulai dari voli, basket, futsal, dan kegiatan olahraga lainnya. Lalu juga ada perlombaan lain yang mengangkat tema jurnalistik seperti lomba Film pendek yang dibuka untuk semua Universitas lain di Bandung.  Bukan aku yang mengurusnya. Aku hanya menjadi salah satu peserta. Ya, salah satu peserta dari Pekan Olahraga. Menjadi anggota voli. Aku udah janji pada teman-temanku tahun kemarin bahwa untuk tahun ini, aku akan turun jadi anggota olahraga. Karena sebenarnya aku malas jika harus ikut tapi harus melepas rok juga. Mereka menginginkan aku memakai celana. Padahal aku tetap memakasi celana panjang dibalik rok panjangku. 

Maka, untuk tahun ini, aku usahakan untuk turun menjadi peserta olahraga voli lawan setiap angkatan. Walau aku tetap memaksa memakai rok. Biarkan mereka berbicara apa. Karena aku akan tetap dengan prinsip aku.

Seperti yang terjadi hari ini, aku datang ke arena lapangan untuk latihan dengan memakai rok hitam yang bawahnya lebih lebar dari rok yang biasa kupakai. Dipadu dengan baju lengan panjangn berwarna putih yang dimix dengan warna hijau muda. Sedangkan kerudung, aku memakai kerudung yang tidak perlu membuatku menusuk sana dan sini. Sesimpel ketika aku memakainya.

Tapi Dede sebagai salah satu koordinator lomba voli perempuan mengatakan padaku bahwa kalau ketika pertandingan lebih baik, aku melepas rok Ku. Aku tahu, niat Dede baik, karena tidak ingin menyusahkan aku. Dan aku juga tahu, bahwa Dede tidak memiliki niat jelek saat mengatakannya. Tapi tetap saja, aku sedikit kecewa. Karena apa yang kupakai adalah identitasku sendiri. Jadi jangan paksa aku untuk menggantinya.

Latihan hari ini berjalan lancar tanpa hambatan. Dedepun tidak membicarakan mengenai pakaianku lagi. Jadi, aku menikmati latihan ini. Apalagi mengingat aku yang menyukai segala bentuk olahraga.

"Seminggu lagi, kita tanding yaa,, lawan anak angkatan 2010." Dede mengingatkan jadwal pertandingan yang akan dilaksanakan minggu depan. Kalau tidak salah tepat setelah dzuhur.

"Kalau gitu, aku duluan yaaa,,," ujarku pada teman-teman angkatan yang datang untuk latihan. Dan aku tidak beruntung, tidak ada satupun dari sahabatku yang datang untuk ikut berlatih.

Aku berhenti berjalan saat mendengar suara ringtone yang kurasa aku mengenalnya. Aku membuka tasku. Benar saja HP Ku berbunyi.

Abang Amal

Abang. Segera kutekan tombol terima.

"ya? Assalamu'alaikum bang?"

"Wa'alaikumsalam. Abang didepan ni. Katanya tadi minta jemput?" aku terkekeh pelan tanpa suara. Aku tak menyangka Abang benar-benar menjemputku sore ini sehabis latihan.

"Iya. Tunggu bentar. Utet jalan kedepan". Lalu sambungan terputus setelah aku mengucapkan salam.

Aku menyelempangkan tas ranselku. Lalu berjalan lebih cepat agar bisa sampai didepan. Sudah sebulan lebih aku tidak bertemu dengan Abang Amal. Apalagi setelah kelulusannya setahun yang lalu membuatku semakin susah untuk bertemu dengannya. Setidaknya tidak sesusah ketika mau bertemu Abang Ihsan. Tapi walau begitu Abang Ihsan akan selalu datang ketika aku meminta jemput di suatu tempat saat aku tidak tahu harus naik apa.

"Udah lama nunggunya Bang?" tanyaku setelah sampai didepannya. Abang menoleh padaku lalu tersenyum sambil mengulurkan tangannya meminta untukku kucium. Dasar Abang ini.

Aku mencium tangannya.

"Engga sih. Cuma sepuluh menitan paling." katanya sambil melihat jamnya yang keliatan asing dimataku. Wah, jam baru kayaknya. 

"Dih? Jam baru?"kataku sedikit antusias. "Ga beliin buat Utet?" tanyaku sambil cemberut.

"Aishhh. Nanti deh Abang beliin. Lagian Utet ga bilang sih." ujarnya sambil mengusap pangkal kepalaku yang tertutup kerudung hitam. Tapi usapannya makin kencang dan cukup membuat kerudungku tidak rapi seperti tadi.

Kutepis tangannya. Lalu merapikan kembali kerudungku.

"Kebiasaan deh. Berantakan tuh kan,," Dan apa yang kulihat?? Abang hanya tertawa tertahan lalu berganti menjadi kekehan panjang. kenapa aku mempunyai Abang yang jahilnya kayak gini? Untung Abang Ihsan tidak mempunyai sifat jahil seperti Abang Amal. Dan itu aneh mengingat mereka itu Kembar tapi sifat dan segalanya berbeda kecuali wajah. Wajah mereka hampir sama. Terkadang kalau orang yang tidak mengenal Abang akan kesusahan untuk membedakannya.

"Jadi? Mau kemana nih??" Tanya Abangku.

"Makan dong. Hehehe. Utet laper abis latihan voli" kataku sambil naik lalu duduk di motor Abang yang bisa dibilang tinggi. Sebenarnya aku paling benci untuk duduk dibelakang motor Abang ini. Karena terlalu tinggi dan membuatku susah. Tapi mau diapakan lagi? Dimana lagi aku bisa dapat tumpangan gratis??

Tidak ada.

#############

Kami, aku dan Abang Amal sampai juga. Karena motornya berhenti dan mesinnya sudah mati. Tapi?

Kenapa harus di WARUNG NASI PADANG???

Jadi ingat Fian kan. Di warung nasi padang pertama kalinya aku bertemu dengan Fian.

"Kenapa harus nasi padang sih Bang??" tanyaku merajuk.

"Lho? Kenapa? Biasanya juga suka makan nasi padang bukan?" Abang menatapku heran.

Tidak mungkin kan aku menjelaskan apa yang membuatku muak dengan warung nasi padang?

"Yaudah deh,," aku turun dari atas motor. Lalu berjalan dibelakang Abang.

Setidaknya ini bukan warung nasi padang yang waktu itu. Karena sekarang aku Dan Abang berada di jalan Soekarno-Hatta. Tak jauh dari kampus ataupun kosanku. Setidaknya hanya berjarak 15 menit jika ditempuh dengan motor.

"Mau apa? Biasa?" aku mengangguk. Abang sudah tahu makanan apa yang kuinginkan jika masuk warung nasi padang. Walaupun sebenarnya untuk sekarang ini, aku sudah tidak terlalu antusias. 

Aku berjalan mencari meja kosong. aku cukup kesusahan mencarinya. Apalagi saat melihat pengunjung yang cukup ramai. Akhirnya aku mengambil meja yang cukup agak kepojok ruangan karena kebetulan pengunjung yang tadi duduk dimeja itu baru keluar.

Tak lama Abang datang membawa dua piring makanan setelah menunggu sedikit lama.

"Maaf. Agak penuh." ujarnya meminta maaf padaku. Aku hanya mengangkat bahu sambil menerima uluran piring yang sudah diisi dengan nasi beserta lauk kesukaanku. Rendang.

Cukup lama kami, aku dan Abang makan dalam diam. Sekitar 20 menit. Tapi hanya 10 menit untuk Abang menghabiskan makannya. Aku selalu bertanya jika melihat laki-laki makan. Kenapa mereka hanya membutuhkan waktu sedikit untuk makan?? Dan aku tidak pernah menemukan jawaban yang benar.

"Alhamdulillah. Kenyang." kata Abang saat aku menyedot air teh manis dingin dari gelas dengan sedotan.

Kulihat Abang menyenderkan bahunya kebelakang kursi.

"Abis ini mau kemana?"

"Kemana apanya? Baru juga selesai makan. Turunin dulu makanannya keperut.,," ucapku sambil cemberut. Tapi Abang malah menunjukan cengiran khasnya yang tidak pernah aku suka. Apalagi saat tangannya terulur. Sepertinya aku tahu apa yang akan dilakukannya. Aku bersiap menepis tangan usil Abang.
Tapi, 

"Eh, Hei, Fian!" Abang malah berseru memanggil seseorang masih dengan tangan yang melayang hendak menyentuh pangkal kepalaku.

Apa tadi?

'Fian'??

"Kak Amal?? Assalamu'alaikum." suara itu.

Aku tak berani untuk menatap siapa yang Abang panggil. Aku hanya melihat jabatan tangan Abang dan orang yang Abang panggil.

"Wa'alaikumsalam. Sedang apa? Mau makan juga?" itulah jawaban Abang saat aku masih saja terdiam membeku berharap bukan orang yang kutebak saat ini yang datang.

"Iya lah. Masa mau main?"

Kudengar kekehan kecil dari orang yang tadi Abang panggil.

"Duduk sini aja. Masih ada yang kosong kok." ajak Abang. "Oh iya, kenalin. Ini adikku. Utet." kulihat tangan Abang menunjukku. Dan aku juga melihat seseorang duduk disamping Abang. "Dan ini sepupu temennya temen Abang yang baru pindah kuliah dari Jakarta,,," kata-kata Abang terputus.

No. Aku tidak mau dengar.

"Fian."

Tapi Abang meneruskan dan tepat saat aku mengangkat kepala. Mengapa ini harus terjadi? Dan mengapa dunia harus sekecil ini??? 

Aku tidak percaya.

###############

0 komentar:

Posting Komentar