Rss

Senin, 21 Juli 2014

Part 4: Marry You?

Angin hari ini terasa begitu kencang. Namun tetap, Ia menyamankan aku sekarang. Jadi membuat kedua mataku mengantuk walau hanya dengan termenung sambil merasakan alur angin yang masuk lewat jendela kelas.



Aku tak bisa lagi mendengarkan apa yang harus kudengarkan sekarang. Karena aku ingin tidur saat ini. Bahkan detik ini juga. Dengan dielus lembut oleh tangan angin yang nyaman. Apalagi jika aku harus ingat pertemuanku dengan Fian sebelum dzuhur tadi. Membuatku benar-benar membutuhkan tidur. Aku ingin melupakan pembicaraanku dan Fian sebelum dzuhur. Benar-benar ingin melupakan kejadian tersebut. Apalagi kalau aku juga boleh menambahkan hal apa yang ingin kulupakan adalah keisenganku waktu mencoba berseluncur didalam Omegle.com. Aku ingin melupakannya mulai dari sana. Dan menciptakan ingatan baru bahwa setelah aku membaca cerita @Oddusticat, aku langsung tertidur diatas kasur tanpa tangan jahilku yang bermain diatas keyboard notebook. Menjelajahi Omegle.com. Namun tidur. Mencoba menghilangkan lelah setelah kegiatan seharian di kampus. Hanya itu.

#Flashback

Aku menyebrangi jalan menuju warung nasi padang dimana Fian benar-benar berdiri. Tapi sebelum aku berada didepan Fian, dia sudah lebih dahulu masuk warung nasi padang dan duduk di salah satu kursi. Lalu, dia memberikan isyarat untukku mengikutinya duduk. Aku duduk tepat didepannya. 

"Mbak!" itu suara Fian lhoo. Nadanya terdengar tegas. Tak ada nada-nada seperti anak remaja zaman sekarang yang sedikit,,, rrr,, haruskan kukatakan??

Aku mengalihkan pandangan menuju arah pandangan Fian. Seorang perempuan dengan sebuah nampan mendatangi meja kami, aku dan Fian. okay. Kata 'kami' tidak pantas sepertinya, jadi aku akan memakai kata 'aku dan Fian'. Itu terdengar lebih nyaman.

"Pesen dua teh manis hangat." hanya satu kalimat itu. Kulihat perempuan didepan masih terdiam setelah mencatat yang tadi dipesan Fian.

"itu aja?" tanyaku sambil menatap Fian. Dan dia hanya mengangguk sekali. SEKALI. Bahkan tanpa ada kata-kata tambahan seperti 'ya, itu aja dulu untuk sekarang' atau ' ya, emang mau apa lagi? Kamu mau makan?' Apa gitu? Yang penting ada tambahan kalimat yang setidaknya tidak akan membuat si Mbak-Mbak yang masih menunggu ini terus menunggu.

"Itu aja dulu, Mbak." ujarku sambil menatapnya sebentar.

Lalu perempuan yang tadi dipanggil Fian meninggalkan aku dan Fian setelah kalimatku keluar.

Harus ada yang dibenarkan sekarang. Ini itu. Warung. Nasi. Padang. Dan jelas sekali setiap yang datang kesini pasti untuk makan. Maksudku bukan hanya untuk memesan dua teh manis hangat. Seperti yang dipesan Fian tadi.  Kalau memang hanya ingin memesan dua teh manis hangat, bisa kali ya bukan di warung nasi padang. Tidak jauh dari warung nasi padang ini, ada cafe Planet. Seharusnya kita bisa memesan dua teh hangat tanpa ada niatan makan. Apalagi sekarang aku tidak ada niat untuk makan. Walau sebenarnya aku belum sempat makan tadi pagi.

Sekarang aku menatap Fian lurus. Aku harus mengatakan ini. Bukankah ini tak penting?

"Kamu tau? Kalau emang kamu hanya ingin pesen dua teh manis hangat, kamu bisa masuk ke cafe samping. Bukan di warung nasi makan yang pengunjungnya jelas masuk sini untuk makan."

"Dan minum. Tempat seperti ini pasti menyediakan minuman juga bukan?" dia menambahkan kalimatku.

Oh. Oh. Ada yang berani beradu mulut denganku. Orang asing pula.

"Okay. Lupakan. Jadi?"

"Jadi apa?" tanyanya.

Apakah dia lupa dengan tujuannya menemuiku? Menemui perempuan yang dua minggu lalu kamu lamar begitu saja di situs 'Omegle.com'.

"Untuk apa menemuiku?" akhirnya kukeluarkan juga apa yang menganggu pikiranku dari kemarin. Walaupun sebenarnya aku tahu. Tapi, aku tidak dapat menahan diri untuk bertanya bukan?

"Apa salah jika aku datang menemuimu? Menemui calon istriku?"

Oh. My. God.

Calon istri????

"Sepertinya harus ada yang diluruskan disini."

"Apa yang perlu diluruskan?"

"Maksudku, siapa yang mau jadi calon istrimu?"

"Bukankah kamu udah menyetujui permintaanku dua minggu yang lalu?" kulihat Ia mengerutkan dahinya. Sudahkan kukatakan bahwa laki-laki dihadapanku sekarang begitu tampan tanpa ada kerutan yang mengatakan bahwa Ia baru berumur 18 tahun?

"Maaf? Bukankah itu hanya candaan biasa dari stranger Omegle? Kukira itu hanya candaan.." bagaimana aku harus menggambarkan perasaanku sekarang.?

"Tidak ada candaan dari kata-kataku, Nona."

Tidak ada candaan? Berarti dia serius ingin menikahiku? Biarkan aku pingsan sekarang dan bangun seperti biasa diatas kasur kosanku. Karena aku benar-benar tidak ingin mendengar kalimat tadi. Sekarang kupejamkan kedua mataku berharap ketika membuka mata, aku benar memang masih di kosan dalam keadaan diatas kasur kosanku. Lengkap dengan baju tidurku. Itu akan cukup untuk membuatku lega bahwa apa yang kudengar barusan hanyalah suara Fian 'fiksi' yang muncul dari mimpi. Kuatur pelan nafasku agar lebih tenang dan relaks mengajakku kembali bagaimana keadaan saat sedang terbangun dari mimpi yang cukup membuatku terjengkang jatuh menuju jurang.

Oh, ingatkan aku bahwa mimpi yang kudapat begitu buruk. Karena sebosan apapun aku dengan kehidupanku sekarang, bukan berarti aku menginginkan kehidupan rumah tangga secepat ini.
  
"Mau berapa lama kamu memejamkan mata? Apa kamu kurang tidur semalam?" suara itu. Suara yang kudengar barusan dalam alam mimpiku kini kembali. Sekarang aku harus bangun.

Tapi tunggu. Suara berisik ini,, dentingan sendok yang bertabrakan dengan piring. Lalu, ada juga suara-suara orang yang tengah berbicara. Tidak sedikit suara itu bahkan banyak. Lalu, tak jauh juga terdengar suara motor yang seperti berlaju kencang. Ini,, 

Aku membuka mataku perlahan.

Ini benar-benar nyata. Bukan alam mimpi seperti yang kuharapkan. Kubuang nafas sekeras-kerasnya. Berharap rasa depresi ini pergi secepat aku membuang nafas barusan.

"Kamu beneran kurang tidur? Wajahmu menandakan kalau kamu lelah tau".

Ya. Wajahku terlihat lelah. Memang. Aku lelah mengapa harus menjalani kehidupan yang seperti ini.

"Sedikit. Abaikan saja. Yang jelas sekarang ini, kepada Tuan Fian yang terhormat. Aku minta maaf sebelumnya karena harus mengecewakan anda. Aku tidak bisa menikah begitu saja dengan anda. Karena, pertama, aku hanya orang asing yang baru anda kenal 2 minggu yang lalu lewat situs aneh itu. Anda pasti mengerti maksud aku." aku menghentikan ocehanku sebentar. Dan memperhatikan respon seperti apa yang ditunjukan Fian padaku ketika mendengar kata-kataku.

Oh. Dia cukup tenang. Tak ada rasa kaget.

"Yang kedua. Aku hanya menganggap ucapan anda waktu itu hanyalah ocehan pasien rumah sakit jiwa yang kabur dan nyasar di salah satu warnet terdekat. Jadi, aku hanya menganggap kata-kata anda waktu itu bukanlah hal yang serius. Jadi maaf yang sebesar-besarnya,,"

"Maaf,," aku menoleh pada asal suara. Ah, teh manis hangat aku dan Fian telah datang. Aku sentuh gelasnya, lalu aku genggam, dan membawanya menuju ujung bibirku. Aku meminumnya sedikit untuk melegakan tenggorokanku yang sedikit penuh oleh rasa nervous. 

Aku melirik Fian. Ah, dia tetap santai walau aku telah mengatakan hal tersebut.

"Oh, minuman ini? Aku bayar sendiri bukan?" tanyaku sambil menunjukan gelas yang masih digenggamanku.

"Biar aku yang membayarnya." begitu jawabnya. Dan aku tidak akan ambil pusing. Karena yang kupikirkan sekarang, aku harus cepat memikirkan strategi agar bisa keluar dari situasi gila ini.

"Dan yang ketiga, aku tidak akan begitu bodohnya terjebak dalam permainan lamaran anda hanya dengan berani menemui aku disini. Maaf yang sebesar-besarnya. Karena aku tidak bisa menerima anda begitu saja. Terima kasih. Saya harus kembali. Karena setelah ini, aku harus kuliah. Assalamu'alaikum." ucapku sambil melihat jam dipergelangan tanganku. Lalu beranjak dari tempat dudukku.

"Oh ya, dan terimakasih atas teh manis hangatnya." tambahku sebelum benar-benar pergi.

"Apa aku terlihat main-main sekarang?" tiba-tiba aku mendengar Fian berucap saat aku baru satu langkah hendak meninggalkannya.

"Aku serius ingin menikahimu, Utet. Karena aku yakin, aku tidak akan salah dengan yang satu ini." Ia terdiam. Dan akupun terdiam masih dengan keadaan berdiri. "Sebelum ini, aku telah bertemu dengan beberapa perempuan. Namun, entah mengapa aku tidak pernah seyakin ini. Aku tidak tahu apa yang membuatku begitu yakin akanmu. Padahal aku sama sekali tidak mengenalmu, Utet.."

"Aku tidak tahu apa yang ada dipikiranmu sekarang ini setelah mengatakan ketiga alasan itu. Yang jelas, aku benar-benar serius sekarang. Dan aku tidak akan menyerah begitu saja.." dia terdiam lagi.

"Untuk minumannya, Sama-Sama. Dan terimakasih juga sudah meluangkan waktumu yang berharga untuk bertemu denganku. Wa'alaikumsalam."setelah mendengar jawaban dari salamku, aku benar-benar meninggalkan warung nasi padang itu. Entah mengapa saat ini, aku berjanji untuk tidak membeli nasi padang lagi
mulai saat ini.

Aku meninggalkan warung nasi padang itu tanpa mau bersusah payah untuk menengok ke belakang dan melihat ekspresi wajah Fian. Karena aku tidak mau.

#Flashback End.

"Tet, Utet." ada yang memanggilku saat jiwaku saat ini jelas tak ditempat. Dan panggilan itu berupa bisikan. Sepertinya tepat tak jauh dari telinga kananku.

"Tet, Utet, Utet." panggilan itu makin berisik.

Aku terpaksa mengembalikan jiwaku yang tengah melayang tanpa tujuan balik ketempat awal. Aku membuka mata dan menghembuskan nafas perlahan. Entah mengapa itu, cukup membuat perasaanku menjadi sedikit lega.

Menengokkan sedikit wajahku menuju asal suara.

"Apa?" tanyaku dengan malas.

Si Senja Nja.

"Lu kenapa? Tumben amat lemes? Ga fokus lagi. Kena damprat Pak Farid tau rasa lu." perkataan Senja mengingatkanku akan kemampuan Pak Farid dalam berceramah pedas. Ya. Beliau dosen yang paling menyebalkan menurutku. Cerewetnya dalam artian menyedihkan dan menyesakkan. Bagaimana tidak, beliau tidak akan pernah segan untuk menendang keluar mahasiswanya yang terlambat lebih dari 15 menit. Maksudku, saat ada mahasiswa yang melengokkan wajahnya di pintu untuk meminta izin masuk ke kelas, Pak Farid akan melihat jamnya, dan jika jarak antara si mahasiswa masuk dengan waktu Pak Farid masuk itu 15 menit, Maka dengan tidak ragu Pak Farid akan menggeleng dan menyuruh si mahasiswa untuk menunggu di luar. Setelah itu, beliau akan bilang "Kalian kan tau, ini mata kuliah Statistika yang banyak rumusnya. Jadi daripada kalian masuk tapi tidak mengerti, lebih baik tidak usah masuk. Seharusnya dari awal jangan sampai ada yang terlambat. Karena itu bisa menghambat pemahaman mahasiswa lain. Tapi yasudah, waktu 15 menit cukup untuk pendahuluan. Jadi tidak akan tertinggal materi." Dan yang lebih parahnya, beliau akan meninggalkan pemahaman sang mahasiswa begitu saja tanpa ada niat untuk menjelaskan ulang sedikit. Apalagi mengingat cara mengajarnya yang cepat seperti shinkansen. Tak ada celah untuk bertanya kesamping sedikitpun jika tak ingin tertinggal apa yang beliau jelaskan. Kadang, akan sangat merugikan untuk mahasiswa yang tidak cepat tanggap. Dan bersyukurlah aku bukan termasuk kedalam mahasiwa tidak cepat tanggap juga tidak pernah terlambat masuk jadwal mata kuliahnya.

"Lagi ga mood aja. Iya. Tenang aja. Ga bakal kena damprat kok." ujarku dengan santai bagai di pantai. Karena aku sudah memiliki sedikit strategi untuk membuatnya mengerti bahwa aku mendengarkan penjelasaan
beliau.

"Ga mood sih. Tapi ga harus ngelamun sampe tidur juga kalii,," itu si Widi. Dia mulai lagi mode perangnya. Sedihnya, karena aku tidak dalam mode membalas lemparan granatnya.

"Kalo ga tau, mending diem aja deh lu, Wid." ujarku santai demi menutup kata-kata provokasi darinya itu.

"Jangan digangguin napa Wid. Kasian dia. Kayaknya beneran lagi ga mood." beruntung Kak Rose yang biasa aku panggil 'Umi' ini berada dipihakku.

Dan kulirik sedikit samping Senja, keberadaan Shiro hanya menatapku entah dengan pandangan seperti apa.

"Ada yang mau dipertanyakan??" yang ini, suara Pak Farid. Kayaknya udah mau selesai deh. "Yang dibelakang,,," dia mengarah pada kursi-kursi dimana aku dan sahabat-sahabatku duduk. "Ada yang mau ditanyakan? Dari tadi sepertinya agak ribut,,"

"Tuh kaaann" si Nja mulai parno kayaknya.

"Pak," panggilku sambil mengangkat tangan.

"Ya?"

"Saya masih tidak mengerti bagaimana saya bisa membedakan pertanyaan-pertanyaan yang seperti apa yang mengharuskan saya memakai Uji Chi Kuadrat dan Uji yang lainnya?" tanyaku untuk mengalihkan pikirannya yang mengatakan barisan belakang sepertinya berisik.

Lalu, tak lama, kudengar lagi suara Pak Farid yang kembali menjelaskan sesuatu. Tapi sepertinya sesuatu itu adalah jawaban dari pertanyaanku. Sedangkan aku? Aku kembali tak mendengarkan penjelasannya. Buktinya aku tidak tahu dengan jelas apa yang Pak Farid jelaskan.

Abaikan bagaimana tidak sopannya diriku kepada para Bapak Dosen yang Terhormat.


############

Kulihat jam dipergelangan tanganku. Pukul 17:23. Masih sedikit sore. maksudkua masih jauh dari kata maghrib. Dan sepertinya aku belum pernah mengatakan bahwa semua jam tangan yang kupunyai memiliki sedikit perbedaan dengan jam tangan normalnya. Jam tanganku kulebihkan 20 menit. Jadi, kalau sekarang jam tanganku mengatakan jam 17:23, maka sebenarnya jam masih menunjukan pukul 17:03. Begitulah mengapa aku mengatakan masih sedikit sore dan masih jauh dari kata maghrib.

Pak Romel, dosen mata kuliah Jurnalistik Online, sudah keluar kelas lebih dari 3 menit yang lalu. Sedangkan aku masih duduk nyaman seperti bagaimana aku masuk kedalam kelas ini untuk mengikuti jadwal mata kuliah Jurnalistik Online. Tanpa ada buku binder di mejaku. Dan masih dengan tas yang dari tadi santai dibalik pundakku. Entah mengapa rasanya aku tak berniat untuk mendengarkan ceramah dosen hari ini setelah mendengar penjelasan diakhir pertemuan yang kupaksa untuk berakhir. Ya. My thought is stuck there. Pikiranku terhenti disana. Dan terus-terusan tentang itu yang kupikirkan. Aku bingung bagaimana bisa aku menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk memikirkan hal simpel. 

"Apa aku terlihat main-main sekarang?"

Kata-kata itu. Dan,,,

"Aku serius ingin menikahimu, Utet. Karena aku yakin, aku tidak akan salah dengan yang satu ini."

Pikiranku terusan mengulang 2 kalimat yang begitu dahsyat efeknya. Aku sudah tahu bagaimana aku bisa menghilangkan efek tersebut. Bahkan aku masih ingat bagaimana pelupanya aku saat adzan dzuhur dan asar lewat begitu saja. Beruntung aku tidak sedang di kosan sendirian. Mungkin aku telah melupakan 2 hal itu. Dan lebih beruntungnya lagi, teman dan sahabatku tidak lupa untuk mengingatkanku akan 2 hal tersebut.

Okay. Sebut aku lebay atau apalah. Aku tidak akan marah. Tapi itulah kenyataannya. kenyataan yang kualami dari tadi siang.

"Uteeeeettttt!!!!" satu suara keras hampir saja merusak gendang telingaku. Sontak aku menoleh pada asal suara.

Senja Khairunnisa.

"Apa sih??" tanyaku garang sambil menutup telingaku yang tadi menjadi korban teriakan Senja. Hampir saja telingaku berbaring diruang mayat. Kalau iya, mungkin setelah sore ini, aku tidak akan memiliki sepasang telinga
yang utuh.

"Ya abis.. Dari tadi aku panggilin, ga jawab-jawab. Lu itu kalo mau ga mood, jangan kayak orang galau gitu deh. Bisa???" lihat wajah Senja. Ia terlihat sangat kesal sepertinya. "lu mau pulang ga?" itu terusan
kalimatnya tadi.

"Ya, maaf. Gue mau pulang kok." jawabku sambil berdiri dari dudukku.

"Kamu kenapa sih Tet??" aku menoleh pada Rosse yang memunculkan kerutan didahinya. Menandakan kalau dia merasa bingung padaku. Aku juga bingung padanya.

"Apanya yang kenapa?" tanyaku balik.

"Ya Elu! Elu kenapa dari mata kuliah Pak Farid kerjaannya ngelamun mulu??" suara yang ngajak perang mulai lagi.

"Apa? Terserah gue mau ngelamun ato kaga." issh. Kesal kan jadinya.

Aku berjalan meninggalkan kelas dan 4 orang sahabatku yang sepertinya tadi menungguku untuk pulang bersama. Tapi aku sudah dalam mode 'kesal'. Jadi aku tidak yakin apa aku bisa diajak teman ngobrol atau tidak.

"Yaaaah, jalan duluan dia." kudengar keluhan Shiro. Apa yang dia keluhkan kalau aku jalan duluan?

"Ditungguin buat cerita malah jalan duluan. Gimana sih?"

"Bisa ga Wid? Ga ngajak berantem dulu gitu?" sekarang aku berbalik badan Dan menantang matanya.

"Udah. Udah. Kenapa sih Sama kalian berdua??" tiba-tiba Umi menutupi arah mataku tadi memandang mata Widi. "Kalo ketemu, beraanteem aja kerjaannya. Emang ga capek apa?" Umi menatap mataku sekarang. Wajahnya juga jadi melembut padaku.

"Kamu lagi kenapa Tet? Kok kayaknya lagi ada masalah? Ga mau cerita ni?" aku terdiam mendengar pertanyaan beruntun Umi. Kulihat Shiro dan Senja menganggukkan kepalanya juga menyetujui pertanyaan Umi.

Hufftt!!!
Kuhembuskan nafasku dengan sedikit kasar. Berharap perasaanku bisa lebih dari kata lega seperti saat mata kuliah Statistika. 

"Aku ketemu Fian tadi sebelum dzuhur."

"Hahhh???" satu kalimat dariku ternyata dapat memancing satu ekspresi yang Sama.

"Kamu seriusan Tet? Terus gimana?" Tanya Umi.

"Iya, iya. Gimana? Cakep ga?"

"Nja, kamu berubah alur tuh,," Shiro menatap heran kearah Senja.

"Yaaa, kan Sama aja. Lagian ga berubah alur kok. Tetap dengan tema tentang Fian. Jadi gimana?"

"Aish dibilanginnya."

"Udahalah Shiro. Anaknya ganteng. Ga keliatan umur 18. Tapi Umi, dia kayaknya serius banget deh Sama apa yang kemarin dia bilang," sekarang aku sudah seperti anak yang mengadu pada mamanya karena ada temennya yang nakal. Sambil menatap Umi dengan tatapan memelas ala Utet.

"Emang gimana ceritanya?" aku langsung menceritakan semua yang kualami tadi sebelum dzuhur saat bertemu dengan Fian. Tanpa ada yang kulebih-lebihkan dan kukurang-kurangkan. Kuperhatian ekspresi keempat sahabatku. Bagaimana mengernyitkan dahi secara bersamaan saat aku menceritakan kata-kata Fian sebelum aku pergi. Dan kernyitan itu berubah menjadi wajah serius masih dengan kata-kata Fian diakhir pertemuan aku dan Fian.

"Terus? Terus?"

"Yaudah Nja. Segitu doang. Ga da terusannya." aku menyandarkan punggungku kedinding sambil mading gedung jurusan. Yep. Kami masih setia berdiri tanpa lelah sambil mendengarkan ceritaku. Tak ada yang mengambil inisiatif untuk bercerita sambil jalan ke gerbang kampus. Apalagi melihat langit yang sudah mulai menggelap.

"Sambil kalan deh. Nanti aku keburu keabisan bus ni,," aku menatap Shiro. Benar sekali.

Kami mulai berjalan mengikuti permintaan Shiro. Tapi, satu kalimat dari orang yang tak kusangka menghentikan langkahku.

"Dia serius tuh. Terima aja kali."

Aku benar-benar berhenti dari langkahku saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Widi-Ku yang suka melempar granat permusuhan.

0 komentar:

Posting Komentar