Rss

Senin, 21 Juli 2014

April Yang Selalu Hujan (Selesai)

Serang, April 2004... 
Langit menjadi mendung dan tak lama hujan mulai mengguyur tanah yang baru saja kering. Karena hujan kemarin benar-benar telah membuat kota menjadi basah kuyup. Jika saja kota ini mempunyai payung atau jas hujan dan sejenisnya, mungkin ia tidak akan basah kuyup seperti sekarang ini. Dan entah yang keberapa kalinya, kota diguyur hujan deras dan lebih lama. 


Aku memang tidak mengerti mengapa hujan harus datang kala hatiku sedang galau jua gelisah, memikirkan seseorang yang telah lama menempati hatiku dan tak pernah mau pergi. Karena aku tak menginginkannya. Mungkin inilah takdir tuhan. Dan mungkin juga karena para petani berdoa’ dengan sungguh agar hujan turun agar padi menjadi segara. Tapi jika hujan terus turun, padi pasti tenggelam dimakan air hujan yang mengenang di perpetakan sawah. 


Aku memang baru berudia 15 tahun. Dan aku sekarang hendak menginjakkan kaki di kelas XII SMA. Tapi pada penghujung tahun ini aku akan genap 16 tahun. Beginilah aku. Mungkin aku terlalu dini memang, untuk seumuran aku memikirkan lawan jenis. Yang tak jelas sekarang ada dimana. Walau kemarin aku diberi kabar oleh Anggi, seorang mahasiswi UHAMKA dan alumni sekolahku, yang mengetahui hatiku yang tertambat pada siapa. Teh Anggi, biasa aku memanggilnya mengatakan bahwa laki-laki yang menghuni hatiku saat ini adalah seorang siswa STM Telkom di kota asalnya. Sudah 3 tahun, aku tidak mengetahui kabarnya, dan aku baru tahu bahwa dia seorang siswa STM? 


Mungkin karena gosip terlalu cepat menyebar atau memang perasaanku terhadap dia terlalu terlihat dari luar? Aku tidak tahu. Yang jelas saat Teh Anggi menyerahkan secarik kertas berisikan nomor handphone milik dia kepadaku, aku terkejut kaget. Ya, awalnya aku kaget darimana Teh Anggi tahu aku menyukai laki-laki itu. Sedangkan aku tidak pernah bercerita kepada siapapun tentang ini. Walaupun ujungnya aku tidak bisa mengelak pembicaraan ini. 


Lalu, apa yang akan kulakukan dengan nomor handphone itu? Haruskah kuhubungi dia dengan nomor handphone itu? Menyatakan perasaan? Tidak mungkin. Itu bukan tipeku. Lagipula, benda hasil teknologi itu kan haram untu aku pegang sebagai salah satu penghuni sekolah asrama. 


Aku jadi kebingungan memikirkannya. Dan aku tidak tahu apa jawaban yang harus kutemukan. 
Dhita, temanku tiba-tiba membincangkan tentang orang yang kusukai, hingga berakhir,,, 


“Ya udah. Kamu nikah aja sama dia??” kupukul bahunya dengan cukup keras. Dan Dhita hanya tersenyum jenaka padaku saat kumunculkan wajah kesalku padanya. 


“Buat orang yang mengerti, pasti tahu. Aku tidak mau menikah dengan orang yang bukan se-tarbiyah denganku.” Jawabku tegas. Ya, aku tidak berpasangan dengan orang yang tidak sepaham denganku. 
Percakapan kamipun berhenti dengan konyol. Percakapan yang jarang terlontar dari murid SMA negeri di luar sana. Jawabannyapun tak ditemukan hingga percakapan berakhir. Namun, dengan tekad yang nekat, kuputuskan untuk mengirimnya pesan: ‘Aku datang untuk mengubahmu’. Tanpa pengenal yang jelas. 

Serang, April 2002... 

Hujan, kulihat langit mendung dan menangis. Dia begitu memahami hatiku kala ini. Aku mungkin sedang menangis. Ya, hatiku menangis. Menangisi apa yang telah terjadi tak lama sebelum ini. Mungkin jika aku menangis, langitpun akan menangis menyertaiku. Aku senang, langitpun mendukungku. 


Berjam-jam sebelum ini, aku sempat memakai handphone seorang teman lelaki sekelasku, yang memang kami nakal saat-saat kelas X ini. Kuhubungi sebuah nomor yang memaksaku untuk membuka segala kerinduan yang sempat terjalin dan teranyam dengan rapat. Sebuah suara yang menyapaku lembut. Suara yang dulu tak pernah sekalipun aku mendengarnya seperti ini. Suara yang selalu kurindukan selain hanya untuk menyahut panggilan tanpa tujuan-ku. Suara yang selalu membuatku penasaran selain hanya untuk menjawab semua pertanyaan tak berartiku, yang berasal dari salah satu temanku. Sungguh suatu keajaiban kala ia menyahut salamku dengan lembut. Namun, kuurungkan untuk mendengarnya lebih lama lagi dan mendengar kata-katanya sebelum aku bertanya. Tapi,,, 


Aku terhenyak saa membaca panjang yang telah ia singkat. Inilah kebodohanku yang kulakukan saat itu, bertanya: 


‘Apa maksudmu?’ 

‘Pahami dulu apa yang tadi aku katakan.’ 


‘Aku tidak mengerti maksudmu,’ 


‘Okay. Aku to the point aja. Aku tahu, ini kamu. Kamu yang selalu menyukaiku. Dari dulu. Hingga kamu selalu tersenyum kala bertemu denganku. Ketidaksengajaan yang tercipta diantara kita. Lalu, coklat yang kau berikan padaku, hingga tiga kali itu, aku tahu kamu menyukaiku.’ 


Aku tahu. Tapi keterlalu jika ia bilang aku memberinya tiga kali. Memang, dulu aku pernah memberi coklat kue buatan tanganku. Itupun hanya sekali. Selebihnya karena akupun memberikan coklat kue buatan tanganku pula kepada teman-teman sekelasku yang lain di tempat yang berbeda. Karena aku ingin semua merasakan coklat kue buatan tanganku. Dan untuk senyuman itu, bukankah kala kami bertemu, bukan senyuman yang kulontarkan? Melainkan tunduk kepala yang malu bertemu dengannya karena aku takut ia mengetahui apa yang kucoba sembunyikan darinya. 


Segalanya berakhir dengan pengorbanan air mataku yang jatuh, aku menangis. Aku menangis. Karena aku takut ia benar-benar mengetahui perasaanku. Perbuatan bodoh, konyol. Tapi beginilah aku yang terlalu bodoh dalam percintaan. Konyol dalam memberlakukan cinta yang datang. Terlalu lemah memang aku dalam bercinta. 


Malampun menangis, melihat aku menangis. Langit yang semula cerah kini menjadi buram, mengetahui kesedihanku yang terlihat... 


Hujan turun dengan derasnya bagaimana aku menangis dengan deras dalam kesendirian...



Bandung, April 2006... 
Malam yang gelap. Bulan yang terang. Juga bintang yang berkelip riang. Dengan menatap layar handphone, mataku meneteskan sungainya perlahan. Kaget memang mendengar kabar darinya langsung bahwa ia menerima setiap kata yang kucantumkan dalam kotak pesannya. Dan aku menangis senang. Senang sekali bahwa ia menerima budaya dulu yang kukagumi selama 3 tahun belakangan ini. Tapi, aku harus bisa mempengaruhinya pada yang lain. Niatku dulu sangat harus kusesalkan. Hanya demi otang yang terkasih untukku. Tapi, semua telah berubah kala aku tak mendapat respon darinya, orang yang terkasih. Kini niatpun hanya untuk Sang Pemilik dan Pemimpin Budaya. 


Kutulis satu kalimat pertama padanya. 


‘Pengenalan Tokoh Nyata. 20:14’ 


Hanya itu. Dan dia menerima apa yang kutulisi sekarang. Kutatap bulan yang mendukungku. Handphone-ku bergetar. Ia menelpon. 


“Siapa sebenarnya nama kamu? Mengapa kamu selalu mengelak saat aku mendesakmu?” 


“Sudah kukatakan, tidak penting kamu mengetahui namaku.” 


“Who say? Aku pasti akan merasa sangat berbalas budi padamu. Kumohon beritahu aku.” 


“Siapa yang peduli? Aku tidak peduli,,” 


“Tapi aku peduli. Jangan buat aku penasaran padamu. Please,,” ia memintaku dengan nada yang cukup memprihatinkan menurutku. 


“Hei! Kamu itu mahasiswa Telkom. Tidak baik merengek seperti itu,,” 


“Aku tidak peduli. Yang terpenting aku mengetahui namamu.” 


“I don’t care too. Yang terpenting kamu tidak mengetahui namaku. Hanya itu.” 


Dan hubungan telekomunikasipun terputus. Usahanya juga tak berpengaruh padaku. Aku tetap tak akan memberitahukan namaku. Lagipula, dia kan mempunyai teman seorang hacker handal. Masa tidak bisa melacakku. Okay. Abaikan tentang itu. Karena aku yakin itu tidak akan terjadi padaku. 


Aku menatap bulan, ia tersenyum. Yang aku tahu sekarang adalah bahwa Sang Pemilik pun tersenyum padaku. Dengan begitu pasti Dia menyetujui apa yang kulakukan. Aku hanya bisa menatapnya dalam diam. 


Tubuhku bergerak, melakukan ritualnya pada malam hari. Walaupun bukanlah sebuah kewajiban, hanya ingin melengkapai hidup. Khusyu’ aku dalam duduk setelah sujudku, dengan tangan yang menengadah. Meminta. Begitu indah jika dirasakan dengan nikmat. Tanpa ada yang akan mengganggu. Hatiku melayang mendapat layanan indah yang tak mungkin didapatkan dimana aku hidup. Sebuah getaran yang cukup keras membuatku terbelalak kaget. Tanpa melepas kain yang menempel ditubuhku, aku berjalan dan mengambil benda yang tadi bergetar. Dan kulihat layar handphone itu. 


‘Aku tahu siapa namamu. Harapan.’ 


Aku terkesiap. Darimana dia mengetahuinya? Hatiku bergejolak. Mengapa dalam sehari ia bisa mengetahuiku? Benda itu bergetar lagi. Bertuliskan pesan: 


Iya. Nama panggilanmu yang bermakna ‘harapan’. Aku tahu itu.’ 


Arti nama itu, namaku. 


‘Roja!!’ 


Mataku terbelalak tak percaya dengan apa yang kubaca. Ketakutanku akan ketahuan, terbukti benar. Air mataku jatuh mengalir menghiasi kedua pipiku. Membasahi kainku. Aku tenggelam dalam kesedihan tangis ketakutanku. Dan entah mengapa, lagi-lagi petir menggelegar diiingi oleh suara air hujan yang berjatuhan dengan keras. Kegalauan dan kesedihan kini menyatu. air mataku dan air hujan yang tengah diiringi petirpun menyatu. Hujan turun benar-benar dengan tiba-tiba. Padahal langit malam semula cerah dan tidak ada tanda-tanda hendak hujan. 


Biarlah Sang Pemimpin menuliskan naskah sandiwara ini dengan sebaiknya. 


Bandung, April 2008... 
Matahari terik tengah menyertai langkahku memasuki area lokasi kampus ITT (Institute Teknik Telkom). Hari ini aku akan menemui kakakku yang menjadi Pembimbing Pribadiku. Aku harus bertemu dengannya sekarang. Karena jika tidak, dia tidak akan memberikan waktu luang lagi untuk dia bimbing. Ia telah menyempatkan dirinya untuk membimbingku sebelum ia masuk kuliah. Ia benar-benar sibuk tahun ini dalam meneruskan S2 nya. 


Hari ia akan meneruskan tema yang minggu kemarin sempat tertunda oleh datangnya Dosen abang lebih cepat dari waktu yang ditentukan untuk memberikan materi kuliah. Dan seperti biasa ditempat yang sama juga dengan jam yang sama layaknya kemarin. Abang menerangkan semua tentang tema-tema yang dulu pernah dibahas hanya saja, disinilah penjelasan dan juga pendalamannya. 


“Ada yang mau kamu tanyakan padaku lagi?” 


“Aku tidak tahu. Tapi mungkin tidak,,,” 


“Kalau begitu, aku harus pergi.. oh ya, jika ada yang mau kamu tanyakan, silahkan datang pada acaraku dan teman-temanku, temanya hampir sama dengan yang kita bahas hari ini.” 


Lalu ia pergi setelah mengucapkan salam. Dan akupun bangkit untuk pulang. Tapi, ketika aku berdiri... 
Sesosok tubuh yang tegap berdiri didepanku dengan wajah yang kaget karenaku. Aku mundur beberapa langkah ke belakang. Wajah lelaki didepanku ini, sangat aku kenal. Tidak berani menatap, kepalaku menundukkan menatap lantai. Terpaksa. 


“Sorry...” lirihnya pelan tapi terdengar oleh telingaku yang tertutup tudung. 


Tak kudengar ia berkata lagi. 


“Maaf, permisi.” 


Kutinggalkan ia dengan sebuah salam yang harus ia jawab setelah ketika aku melontarkannya. Aku tak suka ditatap seperti itu. Aku tahu ia menatapku kaget. Karena ini adalah kali pertamanya ia bertemu denganku. Akupun kaget dan juga kecewa. Ingatanku masih kuat ketika memori lalu muncul di sekitar kepalaku. Aku masih ingat ketika ia tak lagi menerima apa yang kuberikan. Pesan-pesan yang akan merubahnya. Aku gagal. Aku tahu aku kalah. Kalah karena sebuah nama. Entah mengapa ia memutuskan komunikasi denganku setelah ketika dia mengetahui namaku. Dia terlalu pengecut. 


Dua minggu berlalu. Aku harus bertemu dengan abang, Pembimbing Pribadiku, dengan tema yang sedikit berbeda. Tema yang sebelumnya selesai kulahap dengan nikmat diantara acara para aktifis dari antah berantah mereka datang. Aku tidak tahu. Seperti biasa, ditempat yang sama, juga jam yang sama, Abang menungguku. Tapi kali ini, ia tidak tengah dikejar jam mata kuliah. Ia santai hari ini tanpa ada pengejar dibelakang waktu membimbingku. Dengan wajah berseri abang menjelaskannya padaku. 


“Ingat. Dia tidak memaksa semua orang memasuki rumahnya kan?” 


“Iya. Aku ingat kok. Tenang aja. Aku juga ingat beserta teorinya. Jadi jangan khawatir.” 


“Okay. Sepertinya kamu sudah benar-benar mengerti. Jadi, bagaimana kuliahmu?” 


“Sedikit baik. Aku sedang kebanyakan tugas. Tapi tenang, aku tidak keberatan dengan semuanya kok...” abang melihat jam pada handphone-nya. 


“Aku harus pergi...” 


“Bukannya kau sedang santai?” 


“Ya. Tapi aku kebagian tugas. Ok! Aku pergi. Oh ya, ini ada pesan dari juniorku untukmu. Namanya, Harits. Dia anak bimbinganku juga.” Aku terhenyak. Bimbingan? 


“Memang,,,” 


“Iya. Dari dia. Harits. “ 


“Bimbingan? Bimbingan seperti ini? 


“Bukan. Aku jadi pembimbingnya buat skripsi. Dia yang minta. Bukan keputusan dari Universitas.” Aku kecewa. 


“Oh,,” kuterima surat beramplopkan biasa itu. 


“Hei, jangan-jangan,, kamu?” 


“Ayolah,, jangan berprasangka buruk padaku. Aku tidak tahu. Lagipula abang pasti tahu kan bagaimana aku,,” 


“OK. Ok. Ok. Ok. Aku harus pergi.” Ujarnya lalu berjalan meninggalkan aku. 


“Oh,,” ia kembali. “Coba saja kamu ajak dia datang ke acara yang seperti biasa itu. Yang kemarin kamu datangin itu.” 


“Okay. Akan aku coba untuk mengajaknya. Insya allah.” Setelah itu, ia benar-benar pergi. Aku sendiri. 
Mengajaknya ke acara yang seperti itu. Dekat saja, tidak. Tapi berani mengajaknya ke acara asing baginya. Aku jadi tidak sanggup untuk bertatap muka dengannya jika bertemu lelaki bernama Harits ini. Lelaki yang pernah menjadi seseorang yang kurindukan. Yang selalu memenuhi ruang hatiku kala aku sendiri. Wajahnya yang selalu menemani hari sepiku dimanapun aku merasakannya. Tapi sekarang, ia hanyalah orang yang telah menggagalkan usahaku dalam merubah seseorang itu. Aku kalah dalan pertempuran yang baru saja dimulai. Mungkin, memang harus dipendam saja keinginan seperti itu. 
Malam terlihat berkabut, pertanda apakah ini? Apakah ia pun akan menangis? Tapi aku tidak menangis sekarang. Tapi masih kulihat satu bintang yang paling bersinar, karena memang tengah tidak ada bintang. Dan ia berada dekat dengan sang bulan. Kurasa ia sebuah planet. Bukan hanya meteor begitu. Tapi planet apa? Aku tidak tahu. Aku bukan pakar astronomi. 


Aku teringat surat yang diberikan abang tadi siang. Dan juga pesan yang abang berikan dari seseorang. Yang kubaca disana hanya permintaan maaf karena kemarin. Padahal perbuatannya kemarin adalah hal yang sangat wajar. Tapi tidak tahu untuk orang lain. Hanya satu yang kutulis dalam pesan untuknya: 


‘satu permintaan untuk mendatangi acara yang cukup penting bagimu di masjid Salman.’ 

Hanya itu dan dia tidak membalas. 


Dan tiga hari kemudian tak kutemukan sosoknya diantara para peserta yang hadir. Kekecewaaan itu benar-benar menumpuk. Gelisah aku tak menemukannya, apalagi ketika abang menanyakannya. aku tidak tahu, kegagalan benar-benar berpaling kearahku. Terlalu ironis. Kulirik kaca jendela. Gerimis hujan mulai membasahi bumi. Tak lama hujan menggantikan posisi gerimis. Hujan menemani hatiku yang gelisah. Lagi. Sepertinya hujan takkan bisa menjauh dari hidupku. Dan sepertinya juga hujan telah merenggut hatiku yang gelisah... 


Setelah itu, aku mengajaknya lagi. Tak pernah sama sekali aku menemukannya. Komunikasipun terputus lagi tanpa pernah ai menjawab ajakanku. Dan langit malampun memperlihatkan kabut hitam andalannya. Sama sekali tak ada bintang yang menghiasi. Syairpun terlantun: 


‘Tiadakah ruang dihatimu untukku... yang mungkin bisa ku tuk singgahi... hanya sekedar penyejuk di saat ku layu.. ku stia menantimu.. hingga akhir masa...’ 


Adakah itu??? 


Bandung, April 2009 
Matahari benar-benar menyengat siang ini. Peluh keringat mengalir di pelipis kepala. Kulihat didahi abang. Keringat bermunculan dari pori-pori kulitnya. Tapi, sama sekali ia berhenti menjelaskan pengetahuannya padaku. Akupun tidak akan lelah mendengarkan segala kata yang keluar dari mulutnya. Berkali-kali ia menyuruhku untuk membuka kita pedomanku dan itupun kulakukan. 


“Apa sih akibat yang akan diterima jika kita lebih memilih duniawi daripada alam keabadian?” 


“Tak akan tertolong dari siksa-Nya. Tertulis dalam kitab-Nya kan?” 


“Lalu? Apa yang akan dialami oleh seorang pengkhianat yang mengingkari-Nya dan bagi orang yang memusuhi-Nya?” 


“2:98 dan 99. Ada yang kurang?” 


“Ok saja lah. Aku capek.” 


“Setelah ini kamu mau pergi?” 


“Yaa, aku mau pulang. Lagipula kamu harus menyelesaikan skripsimu kan?” 


“Waah, Abang tertinggal jauh ni. KKN-ku sudah selesai dari kemarin. Trus skripsiku juga sudah selesai lhoo,, jadi aku bebas hari ini.” 


“Jadi kapan mau sidangnya?” 


“Mungkin dekat-dekat ini. Hehehe.” 


“Kukira saat kamu bilang sudah selesai, semuanya sudah selesai. Ternyata belum. Yasudahlah. Aku harus pulang. Pegal badanku. Aku belum tidur dari semalam.” Ia beranjak dari duduknya setelah mengatakan kalimat tadi. Dan aku hanya bisa tertawa geli mendengar kata-katanya. Pegal? Heh? 


Santai. Aku masih termangu sendiri disini. Di area ITT. Padahal aku bukan salah satu mahasiswa sini. Tapi biarlah. Aku masih ingin merasakan suasana disini, besok-besok mungkin saja aku tak akan dapat menjenguk kampus ini, seperti biasa aku mendatangi kampus ini untuk bimbingan. Aku masih melihat suasana ramai yang biasa ku lihat saat termenung sejenak di tempat ini. Entah kapan akan berpendar keramaian ini. Walau matahari menyengat kulit, mereka tetap berjalan mengejar target yang entah kapan dapat selesai. Tidak ada hujan atau gerimis yang tampak hari ini. Lambat-lambat aku jadi merindukan sepercik air hujan dan gerimis yang selalu mengguyur benda di luar. Teduh dan nyaman rasanya. Hari ini yang kutahu hanya semilir angin yang menyapa kulit wajahku juga polusi udara yang terlihat jelas berterbangan dimana-mana. Bumi takkan sehat jika polusi udara tetap menjiwa. 


Dalam waktu yang bersamaan kulihat sesosok tubuh yang tegap melintasi pandanganku. Dan tak sadar mataku mengekori langkah kakinya. Tepat. Ia duduk diebrang meja-ku dimana aku duduk. 


“aku datang untuk menggenggam dan lebih mencintaimu.” Ujarnya tiba-tiba. Entah mengapa hatiku bergejolak marah. Masih tersimpan mempri kala aku tak melihat wajahnya diantara para peserta dalam acara yang selalu diselenggarakan oleh para aktivis dan juga tempat yang selalu aku katakan padanya kala aku mengajaknya ikut. 


“Dengan alasan apa kau datang untuk menggenggamku?” 


“Alasannya? Perlukah?” 


“Untukku? Perlu.” 


“Dorongan hati.” 


“Kukatakan padamu, aku takkan pernah tertarik dengan yang tidak sepaham dengaku.” 


“Pentingkah alasan itu untukmu?” 


“Sangat penting. Karena itu menyangkut hidupku.” Aku benar-benar kaget dengan tujuannya datang padaku. Terlalu cepat. Aku tak pernah tahu itu. Dan akupun tak pernah menginginkannya. Apalagi ketika aku ingat bahwa ia tidak pernah sama sekali mengindahkan apa yang ku pesankan. 
Kulihat wajahnya tertunduk. 


“Lalu bagaimanakah caranya agar aku bisa membuatmu tertarik dan sepaham denganmu?”


“Aku tidak pernah tahu caranya. Hanya kamu yang tahu cara itu. Coba temukan.” Kuucapkan salam lalu pergi meninggalkannya disana. 


Di malam yang penuh bintang, aku terduduk menengadah meminta. Airmataku bergulir. Bagaimana bisa aku bersanding dengan orang yang selalu menolak ajakanku pada kebenaran. Padahal aku selalu memimpikannya agar ia mau menghadiri acara-acara yang kusodorkan. Aku menangis mengingat segala yang menyangkut tentangnya. Dari awal ketika aku memerinya pesan, dan ternyata keberadaanku tak berpengaruh untuknya. Sang Pemimpin pasti sedang merancang naskah sandiwaraku selanjutnya. Aku hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi padaku. Karena beginilah takdirku. 


Aku terbangun. Entah mengapa ada sesuatu yang membangunkanku. Kulihat jendela kamar. Hujan deras mengguyur kota lagi. Kutatap setiap air yang jatuh. Entah mengapa itu mengingatkanku pada kejadian yang membawaku pada sebuah perjanjian yang harus selalu kutaati dan tak kulanggar. Ketika airmata bahagia benar-benar harus kujatuhkan. Indahnya setelah itu, bagaikan disiplin yang tak secar alangsung membuatku menikmati hidup hingga sekarang. Munajat-munajat yang tak pernah harus kuhentikan. Dengan setiap lembar do’a yang selalu kutebarkan agar aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Setiap rangkaian kata hidup masih juga tergantung menghubungkan aku dengan alam semesta. Aku benar-benar menikmati hidup karena-Nya. Targedi yang kusayangi hingga saat ini. 
Kuraih handphoneku. Kutuliskan satu kalimat. 


‘Kau akan dapat memahami cara pandangku jika kau lihat kitab pedomanku. 48:10’ 


Hujan menghiasi senyuman malamku. 


Malingping, April 2011 
Selalu kubutuhkan cara untuk menaklukkan anak berumur 12 tahun hingga 15 tahun. Sikap mereka yang masih terlhat kekanak-kanakan membuat mereka harus selalu menjadikannya anak nakal. Mungkin di area pendidikan mereka akan terlihat dewasa dan selalu patuh. Tapi mendengar informasi yang kudapat, anak remaja seperti mereka melakukan tawuran dengan anak remaja lainnya yang tidak diketahu asal usulnya. Akhirnya aku mengeluh dan meminta agar hujan selalu menghiasi hari yang biasanya cerah. Karena kadang kutahu hujan selalu bisa menghentikan setiap hati yang panas. Padahal sebentar lagi bulannya dimana bulan-bulan ujian diselenggrakan. Hanya do’a yang bisa kuhiasi hari sebagai pengganti nada mengeluh. 


Hari ini, rumah masih terlihat sama seperti hari yang lain. Itupun jika kulihat dari luar rumah. Dua motor dengan merek yang berbeda sudah bertengger di bagasi rumah, menemani motor bebek ayah yang jarang dipakai. Kedua kakaku telah pulang dari kerjanya. Cepat sekali. Jika diperhitungkan dengan waktu yang biasa mereka datangi rumah untuk pulang. Hati seseorang selalu susah untuk ditebak. 
Rumahku kedatangan tamu yang sebenarnya bertujuan kepadaku. Aku kaget setengah mati. Seorang laki-laki yang selalu aku impikan dan aku rindui, kini datang untuk kedua kalinya dengan tujuan yang sama. Ada sedikit perbedaan dengan dirinya. Tapi semua bergantung padaku. 


“Kuharap kamu bisa satu pandang denganku, Harits. Hanya itu,,,” kulantunkan namanya. 


“Aku dapat melakukannya, sungguh. Aku harapkan seperti itu. Insya allah.” Mantap kuterima tujuannya. 


Malam menangis kala akupun menangis berterima kasih. Do’aku dikabulkan. Dia menerima do’aku. Naskah sandiwara yang sekarang lengkap karena permintaanku. Sang Sutradara Teater mengabulkan permohonanku. Dengan senyuman bulan, aku merasa bahwa ia tersenyum padaku ketika melihatku menangis. Bahagia. Malampun akan selalu bahagia. Aku yakin itu. 


Bulan akan selalu hujan, jika aku meminta. Sang Bintang pun pasti berkelap-kelip menjalankan tugasnya. Bulan bersinar terang agar manusia merasa nyaman dengan lampu nyatanya. Langit pasti cerah kala bulan dan bintang berpaduan. Tapi, jika hujan, langit pasti berkabut hitam tanpa terlihat bintang. Anginpun menyertai hujan hingga daun-daunpun bernyanyi riang mendapatkan air untuk besok mereka berfotosintesis. Kehidupan akan indah. Bagaimana seseorang yang mengharapkan taman kehidupan yang indah. Roja Rohadatul Aisy... 
19 April 2010 

0 komentar:

Posting Komentar