Rss

Senin, 21 Juli 2014

My New Life Story: Chapter 1

Warna oren keemasan langit mulai semakin terlihat pekat. Namun warna abu-abu kehitaman juga mulai mengiringi. Menandakan bahwa sore mulai beranjak malam. Mataku terus menerus menatap langit tanpa mempedulikan situasi ramai sekitarku. Karena biasanya di waktu sore menjelang malam seperti ini, jalanan Bandung mulai memadat. Apalagi mengingat hari ini yang termasuk kedalam 'weekend'. Jelas sekali jalanan Bandung semacet itu. Tapi aku benar-benar tidak mempedulikan itu. Aku merasa lelah dengan kegiatan tambahan yang kumulai bulan lalu. Pergi pagi untuk masuk kelas kuliahku hingga siang. Dan setelah dzuhur aku akan bergegas mencari Abang Alvi didepan kampus. Menuju tujuan selanjutnya. Begitu saja kegiatanku selama hampir sebulan ini. Demi apa yang kuharapkan tercapai.


Tiba-tiba saat aku masih menatap serius langit, aku dikagetkan oleh suara beserta getaran yang cukup keras dari kantong rok yang kupakai.

Aku menghela nafas cukup keras saat kutahu apa yang terjadi dengan getaran panjang beserta suara itu. Panggilan Dari editor gantengku yang cerewet. Dan aku malas untuk meresponnya.

"Ya? Hallo? Assalamu'alaikum?" aku berusaha bersikap biasa saja. Memunculkan nada suara yang tidak akan menimbulkan rasa penasaran editorku ini.

"Wa'alaikumsalam. Ini aku Fi. Aku. Aku. Afdzal."suara berisik dengan semangat membaranya mulai mengganggu pendengaranku.

"Ya. Aku tau itu kamu, Afdzal. Jadi ada apa?" tanyaku langsung mengingat aku sedang malas untuk mengeluarkan energi lebih setelah beribu energi yang kukeluarkan hari ini.

"Bagaimana dengan novelmu? Deadlinenya dua hari lagi, Fi." Afdzal. Sang Editor Ganteng-ku ini cukup cerewet jika sudah membahas mengenai deadline tulisanku. Padahal dia seorang laki-laki yang cukup tulen menurutku. Tapi sifat cerewetnya cukup meragukan pikiranku kembali.

"Iya. Aku tahu. Hmm,, afdzal, bisa tidak, jadwal deadline dimundurin seminggu lagi?" tawarku saat aku ingat bahwa draft novelku belum rampung 100%. Baru sekitar 70%. Mengingat aku begitu sibuk dengan kegiatan baruku. Jadi membuatku tak bisa menulis sesering dulu.

"Dimundurin? Tumben. Biasanya kamu lebih sering ngirim draft lebih awal. Emang kenapa?" sedikit kurasakan ada nada kecewa namun tertutupi dengan rasa penasarannya.

"Aku punya bulan yang cukup berat dibulan ini. Bisa?"

"Ceritakan padaku sebenarnya ada apa dengan bulan ini. Soalnya beberapa kali aku sering mendengar suara lesu ini saat menelponmu semenjak 2 minggu yang lalu. Ada apa Fi? Kamu sakit?"

"Gak.  Aku gak sakit, Dzal. Sungguh. Aku sehat. Sangat sehat. Hanya hari ini, aku merasa cukup lelah." pandanganku teralihkan saat melihat mobil Avanza hitam Abang Alvi berhenti tepat didepanku.

Kulihat bayangan Abang Alvi yang menatap untuk menyuruhku naik. Dan kubalas dengan anggukan.

"Cerita padaku, Fi. Apa yang membuatku lelah seperti itu??" suara Afdzal membuatku kembali teringat bahwa handphoneku masih tersambung dengannya.

"Okay. Nanti kalo aku udah dapet apa yang aku mau, aku pasti cerita kok Dzal. Jadi gimna? Bisa dimundurin seminggu deadlinenya?" tanyaku berburu waktu. Aku tidak ingin setelah masuk mobil pembicaraan ini masih berlanjut.

"Okay, setelah kamu dapet apa yang kamu mau, kamu harus cerita."

"jadi bagaimana? Bisa?" tanyaku ulang.

"Bisa. Seminggu. Gak lebih dan jangan telat. Kuberikan ini,,,"langsung kutekan tombol end setelah mendapatkan izinnya mengenai tawaranku. Setelah salam juga. Aku langsung mengucapkan salam saat Afdzal masih berbicara. Tak apa. Nanti kubicarakan kembali dengannya tentang hal ini.

Aku melangkahkan kaki dan membuka pintu mobil penumpang tepat samping Abang Alvi duduk.

"Abis nelpon siapa?" Abang bersuara tepat setelah aku menutup pintu mobil.

Aku memasang safebelt dan menengok kearahnya.

"Bukan nelpon. Tapi ditelpon." mobil mulai bergerak. "Dari Afdzal, editor Fia."

"Owh. Okay." jawaban singkat tanpa mengundang pertanyaan lain.

Lalu kami terdiam. Menghadapi waktu dalam perjalanan tanpa berbicara lebih. Walau aku tahu, Abang pasti memiliki banyak hal yang perlu Ia pastikan lagi tentang tindakanku selama ini. Mengingat Abang Alvi yang selalu mengantar-jemput aku ke tempat tujuan. Jadi, Abang lebih tahu tentang tindakanku ini daripada Abang-Abangku yang lain.

"Oh ya, tadi kok tumben telat jemputnya?" tanyaku berusaha untuk mencairkan Hawa dingin yang mulai terasa. Bukan hawa dingin yang keluar dari AC mobil. Melainkan situasi yang menjadi dingin karena keadaan yang cukup tidak nyaman.

"Maaf. Tadi Abang abis ngobrol bentar ma Abang Kiki. Terus sempet debat yang ujungnya dia malah pulang gitu aja tanpa nyelesein pembicaraan kami." aku tahu. Aku tahu perdebatan yang terjadi karena tindakanku selama hampir sebulan ini. Aku mengambil keputusan yang Abang Kiki tidak suka. Dia bilang bahwa keputusan yang aku ambil itu
akan menjadi beban untukku. Beban yang sangat berat. Tapi itu tidak masalah. Karena niatku sudah benar-benar bulat.

Aku menatap Abang Alvi dengan perasaan menyesal yang sangat tinggi.

"Maafin, Fia ya Bang. Tapi Fia ga bakal nyerah mengenai hal ini. Maaf." aku menundukkan kepalaku tanpa berani untuk menatap mata Abang Alvi.

"Ga apa-apa kok. Abang bilang begitu bukan buat bikin Fia jadi begini tau. Lagian Abang tau kalo Fia ga bakal ambil keputusan tanpa alasan yang matang kan? Jangan khawatir." lalu kurasakan tangan Abang Alvi mengusap kepalau yang tertutup kerudung, lembut. Hanya sebentar. Karena Abang memerlukan tangan kirinya untuk memegang porseneling.

Aku tersenyum membalas tindakan Abang Alvi tadi. Lalu perjalanan benar-benar tenggelam dalam kesunyian yang tercipta antara aku dan Abang Alvi. Aku dengan pikiranku. Sedangkan Abang Alvi dengan jalanan.

Bahkan walau otakku tetap memikirkan bagaimana untuk mengubah keputusan Abang KiKi, dan mengapa Abang Alvi tetap diam padahal aku tahu dia memiliki sejuta pertanyaan atau apalah. Tapi mataku tetap menghadap jalanan. Memperhatikan lalu lintas Bandung yang entah mengapa hampir menyamai Jakarta dalam hal kemacetan. Tapi untuk kali ini, keadaan Bandung akan kuanggap wajar mengingap tadi siang sampai sore sempat hujan deras. Jadi tidak aneh jika ada beberapa ruas jalan yang lumpuh karena banjir seperti Bale Endah, Bojong Soang dan sebagainya. Ujung Berung juga mulai memprotes jalan dengan
mengeluarkan aliran sungai atau comberan dari tempat asalnya. Yang letaknya tepat didepan Kepolisian Ujung Berung. Beserta banjir Gede Bage yang tak kunjung hilang walaupun jalanan sudah diperbaiki dengan meninggikan ruas jalan.

Aku capek. Mungkin lebih baik aku istirahat sebentar. Apalagi jaraknya masih panjang untuk sampai di kosanku. Tidur lebih menyenangkan untuk sekarang ini.

###########

Aku membuka mataku saat kurasakan ada yang berhenti dan membuatku sedikit terhentak. Kulihat sekelilingku. Ternyata sudah sampai didepan kosanku. Tapi, kulirik Abang Amal. Kenapa tadi guncangannya cukup keras sampai aku terhentak? Walau hanya sedikit. Mungkin Abang masih tak mahir dalam mengendarai mobil. Abaikan saja.

"Udah sampai ternyata,," aku malah mengulang kembali apa yang tadi kupikirkan secara lisan.

Abang Alvi menoleh dan menatapku. Apakah tadi kata-kataku salah?

"Ada apa Bang?" berharap aku tidak melakukan kesalahan.

"Kamu beneran serius mau ngelakuin ini semua?" aku menghembuskan nafas lega. Tidak seperti dugaanku. Tapi ini pertanyaan yang sama yang hampir selalu Abang Alvi tanyakan setelah mengantarku pulang.

Kuusahakan memberinya senyuman.

"Fia serius Bang. Abang udah tau itu dari sebulan yang lalu bukan? Makanya Abang selalu nganter-jemput Fia. Percaya deh sama Fia, kalo Fia bakal jaga amanah ini." aku tak hendak menghilangkan senyumku ini. Agar Abang tahu kalau aku benar-benar serius dengan keputusanku kali ini. Tidak akan ada penyesalan.

"Iya, Abang tahu kok. Abang cuma mau mastiin Fia masih semangat. Soalnya kayaknya kamu capek banget ya?" Abang Alvi membalas senyumanku. Tapi ada nada cemas diakhir kalimatnya.

"Sedikit. Cuma sedikit. Fia cuma kurang makan buah sama sayur kemarin-kemarin ini. Hehehe" kutambahkan kekehan kecil diakhir kalimatku agar Abang tak terlalu khawatir tentang keadaanku yang memang terasa sedikit capek.

"Okay. Abang percaya. Berarti besok-besok pas Abang anter kamu, kita makan dulu ya? Biar Abang tau kalo kamu makannya teratur. Okay?" ada nada lega dalam kalimat Abang. Tapi tidak ada nada becanda saat mengatakannya dan membuatku mengangguk semangat.

"Iya dong. Harusnya gitu. Bagi-bagi hasil gaji bulanan. Hehehehe" Abang tertawa mendengar kalimatku.

"Oh ya, Apartemen gimana? Udah?"

"Apartemen? Udah kok."

"Ngambil yang dimana?"

Aku berpikir sebentar. Aku ga terlalu hafal apartemen yang kucicil.

"Dijalan Buah Batu kok. Deketlah ke kantor Abang. Biar enak kalo mau minta tolongnya." kububuhkan senyuman bercanda diakhir kalimatku.

"Kalo ga salah yang di Buah Batu mah. Namanya Buah Batu Park bukan?"

"Iya kayaknya itu. Yang deket sama kampus Telkom."

"Iya itu."

Lalu kami terdiam. Bingung untuk membicarakan hal apa lagi.

"Fi, kalo kamu butuh Uang, bilang aja ya sama Abang. Abang bisa bantu kok buat lunasin cicilan kamu itu."

Aku tersenyum mendengar perkataan Abang. Aku tahu kalau Abang berusaha untuk membantuku. Tapi aku hanya ingin bagian internal biar aku yang menanggung. Aku ingin menjadi perempuan yang bisa bertanggung jawab akan amanah yang siap kutanggung. Hanya itu.

Bukannya aku menolak bantuannya. Aku akan sangat sangat senang jika dibantu. Hanya saja, ada batasan yang kubangun saat hendak membantuku. Selagi aku mampu, untuk apa aku mencari bantuan bukan? Lebih baik membantu yang lebih membutuhkan daripada aku. Yang jelas-jelas masih sangat mampu.

"Iya Abang. Tapi Fia masih sanggup kok. Tinggal nunggu royalti novel kali ini, Beres deh. Lagian juga, Fia udah bayar setengahnya kok. Bukan cuma DP doang. Jadi agak nyantai. Abang lupa kalo Fia jadi penulis tetap sekarang?. Tapi makasih udah mau bantu."

"Tapi Fi,,"

"Abang traktir Fia tiap siang sama Antar jemput gini aja udah cukup buat Fia, Bang. Dan yang penting, pas Fia minta tolong Abang ada. Itu udah saaaangat cukup buat Fia. Hehehe" Abang tertawa kecil mendengar penuturanku. Sepertinya Abang dapat pesannya.

"Kalo tiap kamu minta tolong Abang harus ada sih, namanya bukan Abang lagi dong." wajah Abang memberenggut.

"Wah? Terus jadi apa dong??" kataku sambil menampilkan wajah polosku.

"Jadi pembantu dong. Kan Abang ga mungkin bisa bantu Fia tiap waktu. Abang kan harus kerja juga." aku ingin tertawa saat melihat ekspresi wajah Abang yang menampilkan wajah memelasnya. Sakit perutku menahan tawa seperti ini.

"Hftt. Maaf. Maaf, Bang. Ga kok. Becanda. Fia cuma becanda doang. Beneran. Hft. Jadi, bisa ga jangan nampilin wajah melasnya? Ga enak tau ngeliatnya." kataku sambil menutup mulutku agar tidak tertawa.

"Okay."

Aku lega saat melihat Abang melepaskan topeng wajah melasnya. Aku hembuskan nafas dengan cukup berat mengingat tadi aku menahan rasa tawaku.

"Oh ya Fi, buat masalah Bang Kiki, biar Abang sama Abang Ian yang urus. Kamu fokus aja ya sampe mereka bisa dibawa pulang. Lagian Kiki cuma khawatir kamu capek, atau lelah. Kiki terlalu sayang sama kamu. Jadi deh protektifnya muncul."

"Protektif?? Emang Fia lagi nentuin calon suami apa?" aku membereskan barang bawaanku. Memastikan tidak ada yang tertinggal. "Fia tau kok, Bang" tambahku sebelum membuka pintu mobil.

"Yaudah. Sana masuk rumah. Jangan lupa Shalat Magrib."

"Iya."

"Jangan mandi malem-malem. Nanti kena rematik." ingat Abang lagi. Dan ini baru poin kedua.

"Iya Abang. Fia inget semua poin-poin yang harus dilakuin abis ini, Dan yang ga boleh dilakuin." kataku panjang lebar sebelum Abang Alvi menambahkan poin-poinnya.

"Udah sana pulang. Abang pasti capek." kataku sambil menutup pintu mobil.

Aku berjalan menuju depan gerbang rumah kosanku dan berhenti. Membalikkan badan untuk melihat kepergian Abang.

Abang Alvi menurunkan kaca mobil. "Abang bakal jemput kamu minggu depan buat jemput mereka pulang. Assalamu'alaikum."

Aku mengangguk pasti. "Wa'alaikumsalam. " balasku lalu melambaikan tangan untuk mengirngi kepergian Abang.

Aku mendorong pintu kamar kosanku yang sedikit terbuka. Diana pasti sudah pulang. Buktinya pintu tidak terkunci. Terbuka pula. Kulongokkan kepalaku dan mengucap salam.

Kudengar balasan salam dari Diana. Dia ini juniorku di kampus. Kami cukup dekat mengingat kami tinggal dalam satu kamar di rumah kosan. Aku yang menginginkannya. Karena akan terlalu sepi jika aku mengambil kamar yang cukup luas ini sendirian.

Kulepaskan tas dan meletakkannya di meja belajar. Lalu membuka kerudung yang sudah kusut kupakai dari pagi. Dan kulihat noda berwarna krem di bagian dada kemejaku. Sudah hampir sebulan belakang, noda seperti ini selalu ada saat aku pulang dari bepergianku bersama Abang Alvi.

"Jadi Kak? kamu pindah?"

Sontak aku menoleh kearah Diana saat dia bertanya tanpa aba-aba seperti ini.

"Ya. Minggu depan. Sekitar hari rabu atau kamis. Nanti Abang Alvi yang bakal bantu" kataku sambil melepas rok panjangku. Meninggalkan celana bahan panjang. Lalu tanpa mengganti bajuku, aku ikut duduk disamping Diana yang sepertinya sedang fokus mengerjakan tugas.

"Kenapa? Kamu mau bantu?" kulihat isi notebooknya. Makalah. Tentang Sejarah Dunia.

"Engga tuh. Cuma nanya." katanya lagi tanpa menatapku. Tapi lidahnya terjulur mengejekku "Nanti sepi dong kamar."

"Kamarnya sih pasti sepi. Tapi kamu jangan lupa buat maen ya nanti ke tempatku." pintaku masih sambil menatap kerjaan Diana.

Kulihat Diana sekali melirik Isi buku yang disamping kanan notebooknya. Dan nanti menatap lama buku yang Ia letakkan disisi kiri notebooknya. Terkadang Ia akan mengerutkan dahinya dengan dalam saat menatap buku tebal yang dikiri notebooknya. Nanti sambil menggigit bibir bawahnya, Diana akan menatap kembali hasil kerjanya. Menscrolling mousenya keatas untuk melihat hasil kerjanya. Memeriksa apakah ada yang salah atau tidak. Tapi yang menarik perhatianku adalah kerutan dalam didahinya.

Aku menyentuh dengan sedikit menekan dahi Diana lalu berdiri.

"Ish, Kakak ni, bikin kacau konsentrasi aja." dumelnya sambil menatapku tajam.

"Jangan terlalu keras mikirnya." kataku.

"Ni makalah harus selesai malam ini, biar besok tinggal ngerjain soal UTS kemarin."

"Okay. Jangan lupa maen ya nanti. Aku mau ganti baju dulu." aku menyambar piyamaku yang ada diatas kasur. Lalu mengambil juga rok serta kerudungku tadi.

"Jangan lupa juga bawa mereka ketemu aku dulu ya sebelum pindah." kudengar kalimat Diana sebelum menutup pintu kamar untuk memasukkan baju kotor ke ember dan masuk kamar mandi untuk berganti pakaian.

########

0 komentar:

Posting Komentar