Rss

Senin, 21 Juli 2014

Hujan Di Bulan Januari II: Kenangan Terindah

Baru tiga hari ini, pembagian raport di sekolah terlewati. Dan telah tiga hari ini pula dia belum menemuiku. Rindu juga jika tak bertemu dan memikirkannya seperti ini. Terkadang aku bingung bagaimana caranya agar walaupun aku rindu, selalu ada yang bisa mengobati. Menelponnya atau memberinya teks pendek yang mengatakan aku rindu padanya?. Oh tidak. Itu bukan pilihan yang tepat. Karena yang ku inginkan adalah dapat melihat wajahnya yang selalu penuh dengan senyuman manis. Apalagi jika itu di tujukan padaku. Dan aku sangat bersyukur tuhan memberiku dia yang begitu dapat mengerti aku. Apapun itu keadaannya, dia selalu mengerti apa yang harus dia lakukan.


Dan saat ini karena aku begitu dilanda rindu yang besar, aku hanya bisa menatap keluar jendela yang tengah dilanda hujan januari yang tak pernah berubah. Semakin tua januari tahun ini, semakin lama juga waktu musim hujan pergi. Entah mengapa sudah beberapa tahun ini, januari selalu menjadi salah satu anggota list musim hujan yang biasanya hanya sampai di akhir desember. Januari ini baru memasuki tanggal mudanya. Karena sekolahpun libur semester ganjil, jadilah aku mendekam di rumah tanpa rencana yang pasti. Aku bingung sebenarnya kemana teman-temanku yang biasanya selalu datang ke rumahku untuk merencanakan kekosongan liburan ini. Tapi sudahlah, masih ada hujan yang menemaniku di rumah. Walaupun yang kulakukan hanya menatap satu persatu titik-titik hujan yang jatuh di daun tanaman Ayah. Itu cukup menghibur ternyata.

Hujan yang turun hari ini cukup deras dengan durasi yang tiada berhenti dari tadi shubuh. Warna langitpun tetap dengan kelabunya yang kadang selalu membuatku takut. Karena selain warnanya yang kejam berwarna kelabu juga tidak sedikit warna itu di iringi oleh kilatan petir juga suara yang menggelegar menghentak gendang telinga. Air-air hujan yang terperangkap di daun-daun tanaman Ayah perlahan jatuh satu persatu. Jatuh di tanah merah yang rajin di beri pupuk oleh Ayah. Terkadang angin yang berhembus mengguncang jatuhan air hujan dan akhirnya tidak jatuh di tempat yang sama. Namun jatuh di tempat berbeda yang tidak jauh dari sana. Terkadang juga angin mengibas-ngibas ujung daun-daun tanaman Ayah yang membendung air hujan dengan kuat. Apalagi angin hari ini juga cukup kencang dan rapat terasa dikulit.

Aku duduk di kursi belajar kamarku dan menghadapkannya ke depan jendela. Agar aku dapat melihat jatuhan air hujan dengan jelas di depan mataku. Kulihat kibaran daun-daun di depan mataku. Kulihat pula jatuhan air hujan yang tak dapat kuhitung satu persatu. Yang dapat kutebak adalah bahwa jatuhan air hujan itu tidak hanya berkisar ribuan tetes air yang jatuh, namun melebihi angka itu. Kulihat juga beberapa daun dari pohon jambu batu yang jatuh tepat di dekat batang pusatnya. Kulihat pula beberapa buah jambu batu yang belum besar dan matang bergelantung seperti hendak jatuh. Dan juga kulihat lambaian tangan yang sepertinya di tujukan padaku. Ah, aku serasa akan tersipu jika itu benar untukku,,

“Ah,,” kataku kaget sambil berdiri berusaha untuk meyakinkan lambaian tangan itu. Kulihat wajah yang sangat familiar di pandanganku. Wajah yang sekarang basah oleh guyuran hujan.

“Aris!”

Aku berlari meninggalkan kursi yang masih setia berdiri di depan jendela. Ku buka pintu depan. Kucari payung yang biasanya selalu didirikan tak jauh dari dekat pintu utama. Kubentangkan lebar payung dan kubawa untuk memayungi diriku yang membawa satu lagi payung yang masih tertutup. Kudekati laki-laki yang mengejutkanku di siang hari hujan seperti ini.

“Aris. Kamu ngapain ujan-ujan kayak gini,,” ujarku sambil membentangkan satu payung yang tadi kubawa dan kupayungi tubuh Aris yang sudah basah kuyup.

“Aku datang buat liat kamu, Na. Aku kangen banget sih..” dia tetap berada di atas motornya walau aku telah datang dengan membawa payung.

“Ayo masuk ke dalam. Nanti kamu kena flu lho,,” keberikan payung itu pada Aris. Dan menarik tangannya untuk turun dari motor.

“Mama kamu ada?” bukannya turun dari motor, Aris melainkan memberiku pertanyaan.

“Ga ada. Emang kenapa?”

Bukannya menjawab. Aris malah menarik tanganku yang memegang payung hingga payung yang ku pegang jatuh. Payung yang tadi dia pegang juga kini tidak lagi memayungi keberadaan dirinya yang sudah basah kuyup oleh air hujan.

“Naik, Na.”

“Mau kemana?” tanyaku yang mulai basah oleh hujan.

“Naik aja dulu. Nanti juga kamu tau,,” jawabnya dengan tetap menarik tanganku agar aku menaiki motornya.

Tanpa banyak tanya lagi aku menaiki motornya. Payung yang tadi hendak ku ambil lagi, tak jadi kuambil. Kubiarkan dua payung terbuka terlantar di depan gerbang pintu rumahku. Sedangkan pemiliknya tengah pergi di belakang seorang pengendara motor yang mengacu motornya dengan kecepatan penuh.

Dengan kecepatan penuh seperti ini cukup membutuhkan 10 detik untukku basah kuyup. Walaupun itu hanya beberapa tempat yang tidak tertutup tubuh Aris. Namun tetap saja itu membuat badan depanku basah. Karena badan Aris cukup basah ketika tiba di depan rumahku. Itu menjelaskan bahwa jarak yang di tempuh Aris cukup jauh. Di tambah lagi dengan hujan lebat seperti ini. Kuraba jaket yang melekat di tubuh Aris. Sangat basah. Kulingkarkan tanganku memeluk perut Aris untuk mendapatkan keamanan yang cukup ditengah kecepatan motor Aris yang sangat di bawah batas maksimum. Walau itu tetap menjadi alasan kedua untukku beralasaan saat memeluk tubuh Aris. Aku terlalu rindu padanya. Tanpa ada keberadaannya itu cukup membuatku menderita.Dan saat ini ketika aku telah bertemu muka dengannya, aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk menyentuh tubuhnya yang cukup kekar. Kupejamkan mataku untuk merasakan keberadaan tubuh ini dan menghilangkan perasaan dingin yang sebenarnya tengah melanda kesensitifan kulitku. Apalagi tubuhku hanya di lapisi satu T-shirt bertangan pendek dan celana levi’s tak terlalu panjang untuk menutupi seluruh kaki panjangku. Tentu membuatku memeluk tubuh Aris dengan sangat erat. Mungkin suatu saat nanti aku akan merindukan di saat seperti ini. Dan saat ini tentu aku belum menyadarinya sebelum terjadi sesuatu yang tak terduga.

Tanpa kusadari ternyata motor telah berhenti. Kubuka mataku lalu kugeserkan kepalaku agar dapat melihat wajah Aris. Dan bertanya,

“Ada apa?” tanyaku tanpa curiga. Tapi kulihat wajah Aris yang sedikit panik.

“Kamu,, kamu kedinginan?” tanyanya sambil membalikkan badannya dan memegang wajahku. Aku cukup gugup di perlakukan seperti ini. Mendengar pertanyaan Aris membuatku sadar saat aku menyentuh tangan dan wajahku yang sekarang di pegang oleh Aris.

“Ga kok,, aku ga papa. Ga usah khawatir” ucapku berusaha menenangkan perasaan Aris yang sepertinya masih khawatir akan keadaanku.

“Tapi badan kamu dingin banget, Na. Aku ga bisa tenang gini,,” Aris melepaskan tanganya dari wajahku. Dia juga melepaskan tanganku yang masih memeluk perut Aris. Tangannya sibuk membuka tasnya yang tahan air, berakhir dengan mengeluarkan sebuah jaket berbahan parasut dari tas yang di bawa.

“Turun yuk, kita berteduh dulu..”Aris menuntun tanganku untuk menuruni motor. Tepat kami berteduh di depan gerbang sekolah SMA kami. Ini suatu keberuntungan. Karena gerbang sekolah kami memiliki atap yang cukup lebar dan luas untuk menampung beberapa orang saat berteduh.

Aris memakaikan jaket parasutnya padaku. Aku tidak bisa menolak saat Aris melakukan hal itu. Karena dingin itu mulai terasa sangat dingin di kulitku.

“Maafin aku, Na. Aku kira aku bisa bawa kamu ketempat yang lebih indah daripada ini. Aku ingin bawa kamu ke tempat yang indah. Agar kamu tau bahwa aku sebenarnya serius tentang hubungan ini..”kulihat Aris menghembuskan nafasnya yang berat.

“Ga kok, Ris. Aku ga apa-apa. Kamu yang terlalu paranoid. Jadi jangan minta maaf begitu padaku. Kamu ga melakukan kesalahan apa-apa kok. Please,,” pintaku. Aku tidak mau Aris merasa bersalah dengan yang terjadi padaku. Karena aku tidak begitu merasa dingin walaupun memang keadaan dan udaranya begitu dingin. Melainkan sebaliknya. Aku takut Aris kedinginan dengan melakukan hal ini. “Kamu pasti kedinginan juga,,” ku lepaskan salah satu lengan jaket yang ada padaku agar Aris bisa merasakan hangatnya jaket ini. Aku tidak mau hanya aku yang merasakannya.

“Na, aku,,”

Aku cepat menggeleng dan memakaikannya pada Aris. Setelah memakaikannya aku hanya bisa terdiam. Aku bingung apa yang harus aku katakan di dalam suasana yang mencanggungkan ini. Akhirnya yang terjadi hanyalah aksi diam yang kujalankan.

Sambil menatap langit yang terasa gelap dengan warna kelabunya. Dan sebelah tangan yang terbebas, aku mencoba merasakan kenyaman yang luar biasa akan hujan. Tetesannya yang jatuh dari atap gerbang sekolah yang cukup lebar ini ditelapak tanganku terasa nyaman. Lalu menghirup angin hujan di bulan januari seakan angin di bulan januari bersama Aris tak akan pernah datang kembali. Aku mengosongkan paru-paruku dengan menghembuskan nafas keras lalu tersenyum senang. Kulirik Aris untuk mengetahui apa yang ia lakukan. Dan kutemukan wajah Aris yang tengah tersenyum bahagia menatapku lekat.

“Ada apa? Kenapa kamu tersenyum?” Kutanyakan hal itu sambil kembali menatap langit yang masih terlihat sama. Gelap kelabu bersama tetesan hujan yang sepertinya tidak memiliki jadwal berhenti dimenit terdekat.

“Aku bahagia kalau kamu bahagia, Na. Sungguh. Dan aku begitu senang melihat senyummu yang lebar seperti itu. Berharap Tuhan tidak akan memberikan kepahitan dalam kehidupanmu.” Aku kembali menatap wajah Aris yang tetap memiliki aura tersenyum namun serius. Kulihat ia merogoh saku jaket basah yang masih melekat dibadannya. Lalu tak lama,

“Aku tidak tahu apakah ini waktu yang tepat atau bukan. Karena yang jelas, aku ingin memberikanmu ini.” Aris membuka genggaman tangannya. Aku terperangah dibuatnya.

“Aku ingin kamu selalu menjadi Ratu di hatiku, Na. kumohon pakailah cincin ini di jari manis tangan kirimu. Sebagai bukti bahwa kamu akan selalu percaya, kamulah sang Ratu di hati aku ini, Na.” lalu tanpa menunggu persetujuanku, Aris menyematkan cincin itu di jari manis tangan kiriku. Mencium cincin itu sekali, lalu mencium tanganku dengan perlahan. Aku ingin menangis dibuatnya.

Aku menatap Aris dengan haru. Menggigit bibir bawahku agar tak mengeluarkan isakan kecil. Karena aku sudah tak tahan untuk menahan air mata yang sepertinya hendak meluncur dipipiku. Aris menatap lekat dengan senyum mengembang yang tak juga luntur dari wajahnya. Aku bahagia, Tuhan. Aku berhambur kedalam pelukan Aris dan terisak-isak. Tak berniat untuk mengangkat wajahku untuk dekat-dekat ini. Biarkan Aris tahu bahwa aku begitu bahagia hingga air matapun tak ingin berhenti.

Kurasakan elusan pelan di kepalaku. Tangan kanan Aris mengelus kepalaku pelan untuk meredakan tangisku. Dan tangan satunya dengan posesif memeluk pinggangku erat.Sedangkan aku tetap memeluk badan Aris dengan erat sambil menyembunyikan tangisku.

“Terimakasih.” Ucapku ditengah tangis yang menyisakan isakan kecil. “Terima kasih banyak Aris. Kuharap Tuhan tidak dengan tega memisahkan aku dari kamu.”

“Sudahlah. Seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih. Karena kamu selalu menciptakan keajaiban disetiap detik hidupku, Na. Aku merasakan warna yang sangat pekat dari semenjak kamu memasuki kehidupanku, Na. Dan itu terasa sangat indah. Terima kasih.” Aris semakin mempererat pelukannya dipinggangku. Sedangkan aku semakin menekan wajahku didadanya yang bidang.

Kami tetap terdiam dalam keadaan masih saling berpelukan. Dan hujan tetap bertahan dengan prinsipnya. Tidak berhenti dimenit terdekat. Angin juga tetap setia menyempurnakan keadaan mendung yang sangat memberikan kebahagiaan bagiku. Ini bukan kejadian yang sangat romantis seperti dibawa Candle Light Dinner oleh sang pacar ataupun diberikan seribu bunga mawar oleh sang pacar. Ini hanyalah pernyataaan cinta yang tak terhitung lagi diantara aku dan Aris. Mencoba untuk tetap mempertahankan hubungan yang sebenarnya tak pernah goyah sedari awal kami membangunnya. Aris yang selalu mencoba mempercayaiku dan begitu sebaliknya. Aku mempercayai Aris apapun yang terjadi. Walaupun terkadang sifat cemburu-ku muncul, dan menghasilkan sedikit perdebatan kecil. Aris selalu bisa meredakannya kembali. Bukan dengan rayuan gombal ala Playboy yang biasa sepertiitu. Karena Aris selalu memiliki cara tersendiri untuk meredakan sifat labil milikku seperti sifat cemburu ini. Aris hanya memunculkan senyumannya yang memang menawan dihadapanku tanpa henti. Bukan senyuman lebar dengan aura genit. Hanya senyuman sederhana yang orang lainpun bisa tahu bahwa senyumannya adalah senyuman tulus ala malaikat bersayap. Dengan itupun aku tahu bahwa Aris tidak pernah mencoba mengajak aku berteka-teki dan berdebat yang cukup panjang. Aris tidak pernah berbohong padaku.

“Maaf ya, Na.” tiba-tiba Aris bersuara di keadaan kami yang masih saling berpelukan. Lalu Aris merenggangkan pelukannya dan hanya menyisakan tangan kirinya yang kini melingkar sukses dipundakku. Tapi mata Aris tak juga terlepas menatapku lekat. Membuatku juga melakukan tindakan yang sama. Membiarkan tangan kananku memeluk pinggang Aris dengan mata yang juga menatap lekat Aris.

“Kenapa meminta maaf?"

“Karena sebenarnya bukan seperti ini rencana yang kubuat.”kulihat Aris menggaruk kepala belakangnya yang kuyakini tidak gatal itu. “Rencananya aku mau membawamu kepantai. Bukan pantai yang biasa kamu datangi bersama teman-teman kamu lhoo, ini hanya pantai dengan banyaknya batu-batuan dan lebih enak untuk dinikmati pemandangannya. Kudengar juga sunset disana terlihat lebih indah. Tapi karena aku takut kamu kedinginan karena hujan, jadi rencananya gagal. Maaf ya, Na.”kulihat pandangan tanda penyesalan dari Aris.

“Tidak ada yang harus disesalkan bukan? Lagian aku juga ga marah kok. Begini saja sudah membuatku bahagia,,”ujarku sambil menatap cincin yang tersemat di jari manis tangan kiriku. Dengan tersenyum lebar kukatakan, “Dengan begini saja, aku sudah semakin cinta sama kamu, Ris. Apalagi kalau kamu bawa aku ke pantai. Aku pasti udah mengalami jatuh cinta yang kejutaan kali sama kamu, Ris,,”kutambahkan kekehan kecil diakhir kalimat.

Kulihat Aris tersenyum senang.

“Ada-ada aja kamu ni, Na..”ujarnya tapi Aris malah mengambilku kepelukannya. 

Kurasakan hembusan nafas dileherku dan ternyata cukup menggelitik. Tapi satu kalimat yang cukup membuatku menahan nafas saat Aris berucap. Dan meneruskan nafasku setelahnya dengan senyuman lebar yang semakin lebar.

 “Aku cinta kamu, Na”

0 komentar:

Posting Komentar