Rss

Senin, 21 Juli 2014

Part 6: Big Problem

Hari sebenarnya sudah sangat. Sangat. Sangat. Sore. Bahkan hampir mau malam. Padahal ketika Abang Amal bilang untuk kami shalat dulu di masjid terdekat, aku kira bahasan yang tak mau kudengarkan itu akan habis. Ternyata perkiraanku salah. Ajakan Abang Amal shalat yaitu untuk menyegerakannya bukan untuk mengakhiri perbincangan mereka berdua. Dan aku tak tahu sampai kapan aku akan terjebak dalam percakapan mereka yang sepertinya sangat penting. Sialnya lagi Abang tidak memiliki inisiatif yang cepat untuk mengantarkanku pulang terlebih dahulu. 


Disinilah kami sekarang. Di salah satu restoran fast food hanya untuk mengobrol dengan memesan satu minuman. Sudah. Sedangkan aku hanya mengikuti dengan terpaksa. Sepertinya juga Abang sudah melupakan aku. Berbeda dengan seseorang yang sedari tadi berusaha mencuri waktu hanya untuk menatapku sebentar. Aku hanya bisa memasang wajah terbete yang kupunya. Agar Abang bisa mengerti bahwa aku hampir saja mati karena bosan yang berkepanjangan dan tidak juga berhenti. 

Aku memperhatikan apa saja yang ada dalam ruang lingkup penglihatanku sambil menumpukkan daguku di tangan kananku. Bahkan satu keluarga yang baru saja keluar dari mobil Kijang Innova silver milik mereka sepertinya, tak luput dari perhatianku. Bukan untuk referensi imajinasiku selanjutnya. Tapi karena aku memang tengah bosan dan bingung harus melakukan apa. 

Tak sengaja aku mendengarkan percakapan antara Abang dan si Fian-Fian ini. 

"Jadi, kenapa kamu tiba-tiba pindah kuliah ke Bandung??" suara Abang Amal yang memang terdengar bijaksana kembali terdengar meluncur dengan satu pertanyaan. 

Aku tak melihat bagaimana reaksi si Fian-Fian ini. Karena aku terlalu malas untuk memasang wajah yang baik sekarang. 

"Hmm, sebenarnya aku ga pindah kok, Kak. Hanya menetap. Untuk mencari pasangan jiwa." kudengar kekehan kecil yang tidak terdengar keras setelah jawaban itu. 

Huh, please jangan katakan kalau itu adalah aku. 

"Wah,, baru 18 tahun tapi sudah bertekad mencari pasangan jiwa aja ni,," kata Abang yang kudengar bersama nada kagumnya. 

Kenapa harus kagum? Bukankah seharusnya Abang kaget kemudian bilang 'kamu itu baru 18 tahun, seharusnya matangkan dulu syarat-syarat sebagai imam. Agar nanti kamu mendapatkan istri yang juga matang'. Harusnya seperti itu. Tapi Abang tidak mengeluarkan kata-kata yang mirip seperti itu. Memang setahu apa sih Abang tentang Fian ini sampai tidak meragukan kemampuannya sebagai seorang imam? 

"Ahahaha. Iya ni. Mama lagi cerewet minta menantu. Padahal susah nyarinya." masih ada kesan senyum di nada suaranya. "Dikira nyari menantu yang sholehah gampang kayak nyari uang apa,, tapi yaudah. Aku udah dapet kok targetnya. Tinggal tagih janjinya." aku diam. Maksudnya aku bingung harus bagaimana. Bukankah tadi Fian sedang membicarakan tentang aku? Bukankah dosa membicarakan orang? Ghibah itu namanya. Tambah lagi objek pembicaraannya ada di dekatnya. Tapi, bukankah semua itu benar? 

"Yaaah, udah dapet. Tet, udah dapet katanya." tiba-tiba Abang bilang seperti itu dengan nada kecewa sambil menepuk kepalaku. Lalu mengusap dengan nyata. Menghancurkan kerapihan kerudungku. 

"Apaan sih?" kataku sambil menepis tangannya. Dan menatapnya tajam menandakan aku tidak suka namaku dibawa-bawa dalam pembicaraan mereka berdua. 

"Kenapa emang Kak?" Fian kenapa lagi harus dibawa serius kata-kata Abang tadi. Padahal jelas Abang cuma bercanda. 

"Tadinya kalau kamu belum dapet, mau aku kasihin ni si Utet buat kamu." aku berang. 

"Enak aja. Emang Utet apaan Bang? Utet bukan barang ya, yang bisa dikasihin ke orang gitu aja. Lagian Ayah lebih berhak kalo hal itu." untuk kalimat terakhir, sengaja kukecilkan. 

"Uhm,, okay." kualihkan wajahku dan menatap wajah Abang yang memasang wajah meremehkan menyebalkan milik Abang. 

"Jadi, kalau aku ketemu Ayah kamu, terus minta izin buat nikahin kamu. kamu mau nepatin janji waktu itu?" 

Oh My God. 

Kenapa aku harus membicarakan masalah ini tepat didepan Abang Amal? 

Aku panik. Jelas panik. Kulirik wajah Abang. Berharap tidak menemukan wajah penasaran milik Abang sepertin biasanya. Dan gawat. Wajah Abang berubah menjadi serius dan penasaran. Kutatap tajam wajah Fian yang sudah siap dengan segala keseriusannya. 

"Janji apa? Emang target kamu siapa?" Abang menanyakan hal itu dengan nada yang sangat berbeda. Jika tadi ketika membicarakan tentang kebutuhan agama Islam saat ini, Abang memasang wajah santai. Namun ini, wajahnya benar-benar serius. 

"Oh, Bang. Mending pulang yuk. Ini udah mau isya bentar lagi. Anterin Utet pulang yaaa,," bujukku berusaha mengalihkan bahasan ini. 

Awas kamu, Fian. Akan kusuruh Abang Dhillah untuk memukul wajah tampanmu itu. Eh?

"Gak bisa gitu Utet. Ada yang harus diselesaikan sepertinya disini." 

"Tapi Bang Mal. Besok itu Utet banyak tugas yang harus dikumpulin. Apalagi ada presentasi besok. Jadi Utet harus cepet pulang." aku masih berusaha untuk mengalihkan atau lebih tepatnya menghentikan pembicaraan ini. 

Aku tidak mau menatap wajah Fian yang sudah mengundang tema bahasan yang seharusnya tidak dibicarakan disini. Aku juga tidak mau tahu seberapa penasaran dia dengan jawaban akan pertanyaannya. Lagipula aku tidak mau jawab. 

"Tugas? Bukannya itu udah tanggung jawabmu. Lagipula, Abang yakin, kamu ga mungkin nyelesein itu tugas sekarang. Paling juga nanti tengah malem. Sekalian begadang bukan? Jangan coba buat ngibulin Abang, Utet " aku kena sial hari ini. Abang tahu kebiasaanku yang paling malas untuk menyelesaikan tugas lebih awal. Lebih suka menyelesaikannya diakhir ketika otaknya sudah berada diantara keributan dan kekacauan. Aku bisa berpikir cepat disaat-saat waktu sempit. 

"Ya, Utet cuma ga mau, nanti malah ketiduran terus ga ngerjain." kataku hampir seperti berbisik. Aku sudah tidak mau membalas perkataan Abang sebenarnya. aku tidak mau jauh berbohong. Karena ini bukan karakterku. 

"Utet kenapa sih? Kok jadi ngehindar kayak begini? Bukannya Utet selalu nyelesein masalah? Bukannya langsung menghindar begini." telak. Aku tidak mungkin berbohong. 

"Utet udah menyelesain masalah sama Fian Abang. Utet udah bilang itu. Tapi dia yang,," aku tak sanggup melanjutkan. Karena aku tidak tahu harus bilang apa. 

"Nyelesein masalah yang mana? Tapi Fiannya kenapa?" 

Aku tetap terdiam sambil menundukkan wajahku. Tak menjawab. 

"Apa yang sebenarnya udah terjadi sih?" 

"Biar aku yang jelasin deh Kak" Fian main serobot. Ia mengambil alih hak jawab akan pertanyaan Abang Amal. "Sebenarnya aku memang lagi dalam masa mencari pasangan hidup. Sudah beberapa kali aku bertemu perempuan dengan niat ini. mereka tidak tahu bagian ini. Karena aku, entah mengapa tidak terlalu yakin untuk langsung mengajak mereka menikah. Hingga, tanpa sengaja aku membuka web Omegle.com. Dan ketemu Utet." 

"Tunggu. Tunggu. Omegle.com? Web apaan tuh?" sepertinya penjelasan ini akan memakan waktu yang sangat panjang. 

"Bang, kalo Abang pengen tahu tentang Omegle.com, Abang bisa buka tuh laci lemari mbah Google." ucapku asal. Sengaja mengatakannya agar Abang tak bertanya lebih banyak. 

"Aish,, Utet ni kenapa sih? Kok sensitif banget??" Uggh!. Aku tidak mau mendengarkan percakapan ini. 

Kulihat kerutan didahi Abang yang menandakan bahwa aku terlihat aneh dengan sikap yang seperti ini. Memang aku tidak pernah seperti ini. Biasanya aku akan lebih sopan dalam berinteraksi dengan Abang. Setidaknya Ayah tidak pernah mengajarkan anak-anaknya sikap yang sangat tidak sopan seperti aku sekarang ini. 

"Maaf." ucapku. Setelah itu aku diam. Menundukkan kepalaku dalam. Menginginkan untuk segera pergi dan berharap untuk tak bertemu lagi dengan Fian di masa mendatang. 

Aku tidak mendengarkan terusan dari percakapan Abang dengan Fian. Walau sesekali entah mengapa aku seperti mendapat pandangan tidak percaya atau pandangan apalah yang ditujukan jelas padaku. Aku terlalu terhanyut dengan pembicaraan singkat dengan hatiku yang ujungnya membuat aku termenung tak jelas. Bahkan aku tidak menyadari kalau tadi ada beberapa pertanyaan yang Abang lontarkan kepadaku namun tak mendapat respon. Hingga aku tahu itu saat sampai kosan. 

Kami, aku dan Abang Amal pulang sepertinya setelah percakapan itu selesai. Entah dengan wajah seperti apa aku mengucapkan salam yang tak kusadari jelas. Aku tak peduli. 

########### 

Udara malam Bandung terasa menusuk. Apalagi aku masih memakai pakaian yang aku pakai untuk latihan voli. Cukup tipis menurutku. Tidak memakai jaket. Alhasil yang dapat kulakukan hanya memeluk perut Abang Amal dengan erat untuk mendapatkan kehangatan. Tapi kepalaku terasa berbeda dengan badanku. Saat badanku terasa dingin, otak kepalaku terasa sangat Panas memikirkan apa yang akan Abang Amal katakan tentang permasalahanku dengan Fian. 

Aku menghembuskan nafas dengan keras. Berusaha mengeluarkan beban berat di otak kepalaku. 

Aku tahu beberapa bulan yang lalu, aku mengatakan bahwa aku bosan dengan kehidupanku sekarang. Dan mengharapkan sedikit perubahan akan kehidupanku yang membosankan. Tapi bukan kehidupan yang seperti ini yang kuharapkan. Tapi aku tetap harus bersyukur dengan yang kudapatkan. 

"Kenapa Utet ga cerita ma Abang?" aku terkejut saat mendengar pertanyaan dari Abang. Bukan karena isi pertanyaannya. Tapi karena mesin motor telah mati dan kulihat sekelilingku yang ternyata sudah sampai didepan kosan. 

"Cerita apa?" tanyaku tanpa harus bersusah payah turun dari atas motor. Entah mengapa rasa malas tiba-tiba datang. 

"Cerita masalah Utet. Ini entah yang keberapa kalinya Utet ga cerita masalah Utet sama Abang. Dan Abang yakin, Utet juga ga cerita sama Mama." saat mengutarakan kalimat ini, kepala Abang Amal menoleh berusaha melihat aku. 

Aku turun juga dari atas motor mengabaikan rasa malasku yang tak beralasan. 

"Harus ya Utet cerita?" 

"Ya haruslah, Utet. Ini masalah penting." kulihat wajah Abang yang terlihat putus asa. "Kamu ini kebiasaan ga pernah cerita masalah penting kamu. Abang Ihsan tau ga masalah ini??" 

Aku terdiam tak menjawab. Jelas aku menolak menjawab karena jawabannya sudah terlihat dari responku yang memilih untuk diam. Abang Ihsan juga tidak tahu menahu mengenai masalahku yang ini. 

Kulihat Abang mengusap wajahnya kasar. Tak lagi kulihat wajah bercanda Abang Amal. Yang ada hanya wajah serius yang disertai wajah putus asa karena kelakuanku. 

"Ugh! Abang harus gimana biar kamu mau cerita sih?" 

Kutatap wajah Abang dengan penuh penyesalan. Aku tidak pernah bermaksud untuk membuatnya seperti ini. 

"Maafin Utet. Untuk masalah ini, Abang ga usah pusing. Bakal Utet selesein kok." 

"Okay. Maafin Abang. Abang ga maksud buat ikut campur urusan Utet. Abang cuma mau bantu. Menurut Abang, Fian masuk kok kedalam kategori sebagai imam." kedua mata Abang Amal tepat menatap kedua belah mataku. Menelusuri jauh kedalam hatiku. "Jangan ragu. Allah yang bakal jamin. Lagipula Abang belum lupa sama kata-kata kamu ke Abang dulu. Kalo Utet bakal nerima siapa aja yang pertama ngelamar Utet langsung ke Ayah dan Ayah nerima dia. Bukan begitu??" ujung bibir Abang Amal sedikit terangkat. 

Oh. Ada rencana kecil yang sedang dia pikirkan. Semoga bukan hal yang aneh. 

Lama-lama tarikan ujung bibir Abang menjadi senyuman sempurna. Abang tersenyum tulus. Pandangan matanya pun kini melembut. Tak ada lagi pandangan putus asa dari Abang. Tak ada pandangan depresi itu. Karena kini Abang mengangkat tangan kanannya berusaha menggapai kepalaku. Kuharap bukan usapan kasar yang menghancurkan kerapihan kerudungku saat ini. Karena aku masih dalam keadaan malas untuk menepis tangan Abang untuk menjauh. 

"Abang percaya Utet bakal ambil keputusan yang bagus. Bukan keputusan tanpa alasan." katanya sambil mengusap kepalaku. Makin lama usapannya makin kencang. Dan kerudungku mulai menampakkan efek sampingnya. Lipatannya kini jadi berantakan. Tak menampilkan lipatan lagi, melainkan hanya kehancuran bagi kerudungku. Dan aku membiarkannya. 

Senyuman Abang tak juga kunjung hilang. Dan makin lama senyuman tulus itu berusaha menjadi senyuman jahil yang selalu kudapatkan. Aku sangat hafal senyuman itu. 

Tangan Abang yang satu lagi ikut mengusap dan menghancurkan kerapihan kerudungku. Makin kencang bahkan kepalaku ikut bergerak menyebalkan. Aku tak tahan. 

"Bang Mal!!" seruku sambil menepis kedua tangan Abang Amal dengan kasar. Bahkan kupukul kedua tangannya yang tadi masih bertengger di kepalaku. 

Abang Amal terkekeh hebat. Bahkan kekehannya kini berubah menjadi tawa keras. Kuharap ketawanya tak mengundang satpan komplek datang dan meringkus Abang Amal. Lalu melemparnya ke jalanan karena sudah mengganggu kenyamanan masyarakat komplek. 

"Udah deh,," kataku merajuk. 

"iya. Iya." katanya dengan kedua tangan yang memegang perutnya. Kutebak perutnya sakit karena terlalu banyak tertawa. 

"Mati hati lhoo kalo kebanyakan ketawa" asalku. 

Refleks Abang Amal terdiam. Sepertinya Ia baru teringat hal itu. Bahwa banyak tertawa dapat mematikan hati. 

Abang Amal mengusap wajahnya lalu kepalanya. "Iya deh. Makasih udah ngingetin" 

"Sama2" 

"Yaudah deh, Abang pulang. Inget, lakuin apa yang harus Utet lakuin." tangannya terulur yang kubalas ulurannya untuk kucium punggung tangannya. 

Lalu Abang mengusap kecil dan pelan kepalaku yang tertutup kerudung. Kerudung yang masih tetap dengan keadaan berantakan yang Abang Amal buat. 

Tanpa kusangka Abang Amal mengecup dahiku. 

"Assalamu'alaikum." 

"Wa'alaikumsalam." balasku sambil memegang dahiku. Masih dengan wajah kaget tak terkira. 

Abang membelokkan motornya dan berlalu dari hadapanku. Meninggalkan kekagetanku akan kecupan singkat dari Abang di dahiku. Karena jarang sekali Abang melakukan itu. 

Kecuali Karena satu hal. 

############ 

0 komentar:

Posting Komentar